Eksklusif

Distrik: Surga Kecil itu Bernama Puncak

Yopi Makdori — Asumsi.co

featured image
YouTube/Asumsi

Kawasan Puncak menjadi salah satu destinasi wisata, terutama bagi masyarakat Jakarta dan daerah penyangga. Puncak membentang di antara perbatasan Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Secara geografi, Puncak berada di antara kaki Pegunungan Gede-Pangrango di sebelah selatan dan Pegunungan Jonggol di sebelah utara. Kondisi itu membuat atmosfer Puncak khas seperti dataran tinggi lainnya. Kombinasi jarak yang tak terlampau jauh dari Ibu Kota, udara sejuk ditambah rimbunnya pepohonan, membuat Puncak punya daya tarik tersendiri.

Fenomena kawin kontrak

Namun, wajah Puncak bukan hanya lekat dengan citra destinasi wisata, kawin kontrak adalah frasa lain yang sering membuntuti ketika orang mendengar nama kawasan ini. Peminat kawin kontrak kebanyakan wisatawan pria asal Timur Tengah. Mereka mencari wanita lokal di sana demi mendampingi layaknya suami-istri di bawah janji kontrak.

Salah seorang tokoh masyarakat Puncak, Rofiqi membeberkan, wilayah Puncak telah mengalami tumpahan wisatawan sejak satu dekade terakhir. Namun, ia membayangkan, Puncak bukanlah surga bagi kawin kontrak. Sebab secara pribadi dia menentang praktik demikian yang terjadi di daerahnya.

“Saya tidak pernah melihat, karena mungkin saya juga kan ada di ‘barisan’ yang anti terhadap segala bentuk yang bermaksiat,” ujar Rofiqi.

Rofiqi memastikan bahwa perempuan yang melakukan kawin kontrak bukanlah wanita lokal asli Puncak. Mereka berasal dari sejumlah daerah di sekitar wilayah itu, seperti Cianjur. Sebab daerah itu menjadi kantung bekas pekerja migran Indonesia yang pernah ditempatkan di Arab Saudi.

Kawin kontrak menurut Rofiqi bukan melulu ijab kabul, kemudian berduaan layaknya suami-istri, kemudian selesai. Beberapa di antara mereka bahkan masih menjalin asmara kendati dilakukan secara jarak jauh. Sang pria yang asal Timur Tengah tak jarang masih memberikan jajan bagi si perempuan.

Feni, bukan nama sebenarnya, membagikan kisahnya tentang kawin kontrak. Menurut Feni, bagi mereka yang pernah melakukan praktik kawin kontrak, mereka akan kembali ke perempuan yang mereka ‘nikahi’ apabila kemudian hari berkunjung ke Puncak.

Perempuan berumur 25 tahun itu telah menjalani dua kali kawin kontrak dengan laki-laki berbeda.

Tahun 2018 menjadi pijakan pertama Feni terjerembap dengan praktik kawin kontrak ketika dirinya dikenalkan dengan seorang pria Timur Tengah lewat temannya. Dari sana dia ditawarkan untuk melakukan praktik kawin kontrak dengan pria Timur Tengah yang dikenalkan kepadanya.

“Mau neggak itu gak ada pemaksaan, kalau akunya mau ya,” kata Teh Feni.

Kawin kontrak pertama Teh Feni tak sampai satu pekan. Berselang sehari setelah kawin kontrak selesai, laki-laki Timur Tengah itu kembali ke kampung halamannya. Namun, meskipun tak bertemu secara fisik,  Feni masih menjalin kasih lewat ponselnya.

“Dia tetap ngasih uang nafkah lah,” katanya.

Kemudian Teh Feni juga kembali melakukan kawin kontrak dengan pria Timur Tengah berbeda pada 2019. Perkawinan kali kedua berlangsung cukup lama, yakni lebih dari dua pekan atau 15 hari. Sama seperti perkawinan pertama, perkawinan keduanya juga Feni masih menerima duit nafkah kendati sang pria telah kembali ke Timur Tengah.

“Dia nganggapnya kan kawin kontrak kata dia halal. Kalau di sini kawin kontrak enggak ada surat kan,” ujarnya.

Jalinan kasih jarak jauh antara Feni dengan dua laki-laki Timur Tengah itu ditunjang juga dengan kemampuannya yang telah memahami percakapan dalam Bahasa Arab.

Feni menggunakan bahasa itu untuk berkomunikasi dengan mereka, baik lewat sambungan telepon maupun pesan singkat. Kemampuan itu didapat Teh Feni berkat intensi mendengar percakapan suami kontraknya.

Sebab selama kawin kontrak berlangsung, Feni menjalin kasih layaknya pasangan suami-istri. Selain urusan ranjang, Feni juga menemani suami kontraknya untuk jalan-jalan.

Sekali melakukan praktik kawin kontrak Feni mengaku dibayar Rp15 juta. Duit itu di luar ganjaran Teh Feni dari suami kontraknya yang rutin dikirim kepada dirinya.

Rantai kawin kontrak ini difasilitasi juga oleh seorang makelar. Mereka berperan mencomblangkan wisatawan pria Timur Tengah yang berniat mencari perempuan Indonesia guna melakukan praktik kawin kontrak.

Kang Bono menjadi satu dari sekian makelar yang membantu pria Timur Tengah menemukan perempuan idaman di Indonesia. Menurut Kang Bono, biasanya sang pria meminta sopirnya untuk mencarikan wanita. Barulah sang sopir menemui dirinya untuk memfasilitasi permintaan laki-laki Timur Tengah itu.

Perjalanan Kang Bono menapaki profesi sebagai makelar bermula ketika dirinya menjadi sopir bagi wisatawan pria Timur Tengah. Dari sanalah ia mulai mengenal sejumlah perempuan yang siap menjadi pendamping laki-laki Timur Tengah di bawah ikatan kontrak.

“Awalnya saya pernah jadi sopir juga, kemudian coba sendiri kerja kayak begitu,” kata Kang Bono.

Menurut Kang Bono, kawin kontrak rata-rata hanya berlangsung 15 sampai dengan 20 hari. Sangat jarang ada yang sampai melebihi 20 hari.

Kang Bono berprasangka bahwa laki-laki asal Timur Tengah lebih memilih menjalin kawin kontrak ketimbang berhubungan badan satu malam lantaran praktik tersebut dianggap halal. Lagi pula menurut Kang Bono praktik kawin kontrak dirasa lebih menguntungkan bagi dirinya ketimbang menjajakan perempuan untuk sekali berhubungan.

Respons Pemerintah Provinsi

Sementara itu Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum memandang kawin kontrak dalam Islam dikenal dengan mutah. Uu memastikan bahwa dalam tradisi Islam di Indonesia praktik mutah haram dilakukan.

“Kami sebagai komunitas pesantren juga berbicara tentang masalah mutah ya gak boleh,” kata Uu.

Praktik mutah dilarang sebab ada kontrak yang berisi lamanya jalinan perkawinan yang mesti disepakati antara kedua belah pihak. Dan ketika kontrak itu habis, mereka kemudian saling berpisah.

“Yang dilarang itu adanya MoU [nota kesepahaman alias kontrak], ada kesepakatan bahwa kita kawin hanya tiga bulan, kita kawin hanya satu minggu. Nah itu yang dilarang menurut agama,” ujarnya.

Bencana Puncak

Selain kawin kontrak, Puncak juga menyimpan masalah mengenai kerusakan alam. Menjadi tujuan wisata bukan tanpa konsekuensi, pemodal berdatangan untuk ramai-ramai membangun vila dengan menumbalkan pepohonan.

Seorang perempuan warga lokal sebut saja namanya Tina, masih mengingat betul bagaimana dahsyatnya banjir bandang yang melibas daerahnya. Bencana yang tak pernah dirasakan olehnya dan warga lain juga itu terjadi di 2021 silam.

Tina menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kekuatan lumpur bercampur batuan melibas apa saja yang menghalangi jalannya. Mereka bak sekumpulan raksasa yang datang dari dataran lebih atas.

“Pertama pokoknya lumpur, sudah lumpur terus batu, sudah batu bersusulan kayu-kayu juga yang gede-gede. Pepohonan pada berjalan,” terang  Tina menguraikan horornya saat terjadi bencana di Puncak.

Dosen Planologi Universitas Trisakti Marselinus Nirwan Lurugh menjelaskan bahwa kawasan Puncak sejak semula didesain sebagai kawasan strategis lingkungan hidup dengan kegiatan andalannya pariwisata. Namun, kegiatan pariwisata di Puncak harus taat dengan kaidah-kaidah lingkungan atau populer dengan sebutan ekowisata.

“Jadi apa pun aktivitas wisatanya harus bersesuaian dan harus mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan,” ujar Nirwan.

Hal ini karena interdependensi kawasan Puncak dengan wilayah di sekitarnya yang memiliki topografi jauh lebih rendah, yakni wilayah Ibu Kota dan sekitarnya. Ketika alam di Puncak dirusak, maka bukan mustahil membuat bencana berduyun-duyun menyergap Jakarta dan wilayah sekitarnya.

“Dia [Puncak] punya potensi, dan potensinya itu apabila disentuh, apabila dirusak maka hubungan ketergantungan tadi akan menimbulkan dampak sekitarnya,” jelasnya.

Secara teori, dalam pembangunan sebuah wilayah, menurut Nirwan setidaknya 30 persen wilayah itu harus diisi ruang terbuka hijau (RTH). Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur sebagai pemerintah daerah yang bertanggung jawab atas kawasan Puncak justru lebih tinggi mematok luas RTH, yakni 33 persen.

Namun sangat disayangkan, menurut Nirwan dalam praktiknya tidak demikian. Banyak alih fungsi lahan yang terjadi di kawasan itu.

“Sehingga ruang terbuka hijaunya menipis, lalu kemudian terjadi degradasi ekosistem dan lain sebagainya. Yang kemudian kita lihat sekarang dampaknya seperti apa, akibat apa tadi? Termasuk vila tadi,” katanya.

Alih fungsi lahan yang masif membuat kawasan RTH di Puncak hanya tersisa 13 persen saja. Angka ini tentu terpaut amat jauh dengan yang dipatok pemerintah setempat, yakni 33 persen. Alih fungsi lahan yang begitu gencar selama beberapa tahun belakangan ini membuat Puncak makin rentan terhadap bencana.

Puncak secara historis

Ketenaran Puncak sebagai tempat wisata sudah terdengar sejak era kolonial Belanda. Kala itu, Puncak menjadi tempat peristirahatan para pejabat Belanda.

“Dahulu memang tidak terlalu banyak vila-vila itu. Ya memang mereka beli tanah cukup buat bikin vila, tanah juga tanah dekat-dekat gunung itu, tanah kehutanan,” terang Antropolog Universitas Indonesia (UI) Jajang Gunawijaya.

Puncak mengalami perkembangan yang cukup pesat saat penjajahan lengser dari bumi Indonesia. Pascakemerdekan, Puncak menjadi lahan empuk bagi pemodal untuk membuat sejumlah tempat peristirahatan.

Perbaikan Puncak

Pemerintah Kabupaten Bogor sebetulnya telah membuat aturan guna membendung masifnya alih fungsi lahan hijau di kawasan Puncak. Namun, aturan itu baru dibuat beberapa tahun lalu, sehingga menurut Uu tidak bisa mengembalikan lahan yang telah ditempati vila ataupun tempat usaha menjadi RTH. Aturan itu hanya mencegah supaya di masa yang akan datang para pengusaha tidak bisa mengalihfungsikan lahan RTH menjadi vila.

“Karena aturan tidak bisa berlaku surut, ditentukan 2020, yang 2019 nggak, tapi 2020 ke sini baru,” kata Uu.

Sebagai kawasan konservasi alam dan sumber air, Uu mengharapkan agar Puncak tetap menjadi mempertahankan ekowisatanya. Sebab dengan menjadi destinasi wisata efek ekonomi yang ditimbulkan terhadap warga sekitar begitu besar. Namun dia mengingatkan agar kerusakan alam di kawasan itu harus bisa diantisipasi.

“Termasuk juga rusaknya pepohonan dan tanaman, kemudian hal-hal moral dan akhlak. Termasuk juga tadi tentang kawin kontrak dan yang lainnya segera dirumuskan bersama supaya Puncak tetap bermanfaat untuk kita semua,” harapnya.

Sementara itu, Rofiqi bermimpi supaya kawasan Puncak bersih dari berbagai macam praktik kemaksiatan. Dia ingin Puncak kembali ke asalnya sebagai kawasan wisata alam, bukan wisata kemaksiatan. Dia sendiri mengaku tidak anti terhadap wisatawan dari luar negeri, mengingat peran mereka yang dapat menggerakkan roda perekonomian warga sekitar.

“Tapi yang saya tolak itu jenis-jenis seperti maksiatnya, jenis-jenis kemungkaran yang ditimbulkan oleh mereka [wisatawan luar] begitu,” ujar Rofiqi.

Baca Juga:

Polisi Tangkap 2 Ambulans Penerobos One Way Puncak yang Bawa Wisatawan

Hingga Pukul 12.00 WIB, Jalur Jakarta Menuju Puncak Ditutup

Ganjil Genap Tak Efektif, “4 in1” Bakal Diterapkan di Puncak

Share: Distrik: Surga Kecil itu Bernama Puncak