Seseorang dapat selingkuh karena kondisi otaknya, bukan semata meninggalkan pasangan demi perempuan yang lebih cantik atau laki-laki yang lebih mapan.
Menurut CEO Stress Management Indonesia Coach Pris menilai, adanya hubungan saling berkesinambungan antara perselingkuhan, kesehatan otak, dan kondisi mental seseorang. Terdapat empat alasan berbasis neurosains seseorang dapat berselingkuh.
Pertama, kecanduan euforia cinta. Pengalaman indah jatuh cinta dan tergila-gila dengan seseorang tidak bertahan selamanya. Ahli saraf menemukan setelah enam bulan hingga dua tahun, perasaan menggebu-gebu berubah menjadi cinta dan komitmen yang lebih dalam atau keputusan untuk berpisah dan melepaskan diri.
Perselingkuhan terjadi karena orang salah mengira kurangnya intensitas dan euforia sebagai tanda mereka telah putus cinta. Kurangnya euforia ini bisa mendorong seseorang mencari pasangan lain untuk mencoba menciptakan kembali intensitas cinta yang tinggi. Bagi sebagian orang, kebutuhan untuk merasakan aliran cinta baru membuat mereka terus mencari hubungan di luar nikah.
Kedua, kehilangan sirkuit kontrol diri. Sirkuit kontrol diri adalah sistem penyeimbang antara bagian otak limbik pendorong seseorang mencari aktivitas menyenangkan dan bagian otak korteks prefrontal (PFC) yang membuatnya berpikir dua kali sebelum terlibat dalam perilaku berisiko, seperti perselingkuhan.
Ketika sirkuit kontrol diri seimbang, kontrol impuls memadai menghentikan seseorang dari berselingkuh. Namun, ketika aktivitas PFC rendah, terjadi ketidakseimbangan yang menyebabkan seseorang menyerah pada keinginan impulsif tanpa memikirkan konsekuensinya. Studi pencitraan otak menunjukkan orang dengan aktivitas rendah di PFC lebih mungkin untuk bercerai.
Ketiga, faktor testosteron. Sebuah studi tahun 2019 menemukan pria dengan kadar testosteron tinggi lebih mungkin untuk melakukan perselingkuhan. Testosteron terlibat dalam suasana hati, motivasi, dan seksualitas. Tingkat testosteron dikaitkan dengan empati lebih rendah dan hawa nafsu yang tinggi.
Keempat, otak yang tidak setia itu berbeda. Studi pencitraan telah menemukan, otak seseorang yang setia berbeda dari mereka yang selingkuh. Ketika seseorang melihat gambar romantik, seperti pasangan berpegangan tangan atau menatap mata satu sama lain, aktivasi otak berbeda antara yang setia dan mereka yang selingkuh.
Orang yang setia menunjukkan lebih banyak aktivitas saraf terkait hadiah saat melihat gambar romantis dibandingkan dengan orang yang tidak setia. Dilansir dari Antara, Pris menyarankan pasangan saling mengenal kondisi satu sama lain sebelum menikah, untuk mencegah terjadinya perselingkuhan.
Baca Juga:
Terlalu Sering Main Medsos Berdampak pada Kesehatan Mental