Politik

KUHP Dinilai Perlu Direvisi, Tapi Jangan Asal Dibahas

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi salah satu yang berpotensi untuk disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada tahun ini. Hal ini menyusul masuknya RUU itu ke dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Keputusan dibuat dalam rapat paripurna pada Kamis (30/9/201).

Draft Dibuka ke Publik

RKUHP selama ini diketahui menjadi perhatian masyarakat sipil. Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mengaku tak heran bahwa RKUHP menjadi sorotan publik.

Ia sebetulnya mendukung RKUHP dibahas di dalam rapat paripurna. Namun, sebaiknya jangan dulu buru-buru disahkan menjadi Undang-Undang. Pasalnya, selama ini drafnya belum pernah dibuka ke publik.

“Pemerintah tidak boleh yang terburu-buru, asal cepat, dan hanya melakukan sosialisasi. Kita ketahui kalau RKUHP ditunda pengesahannya karena masalah substansi. Maka pembahasan selanjutnya harus membuka ruang untuk perubahan substansial RKUHP. Drafnya dibuka lagi ke publik dan kami meminta pembahasannya kembali dibuka,” jelas Erasmus kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Jumat (01/10/21). 

Ia menjelaskan, diskusi yang perlu dibuka soal RKUHP boleh hanya fokus terhadap isu-isu yang krusial saja, tapi harus dilakukan secara mendalam. Diskusinya, menurut dia tidak hanya melibatkan ahli hukum pidana namun juga harus melibatkan banyak pihak terkait dan ahli yang lebih luas lagi.

“Harus melibatkan pada ahli yang sektornya akan terdampak seperti ahli ekonomi/bisnis, kesejahteraan sosial, kesehatan masyarakat, kriminologi dan ilmu relevan lainnya, serta masyarakat sipil,” terangnya.

Keterlibatan mereka, lanjut dia dinilai perlu untuk menjamin adanya evaluasi komprehensif berbasis data. “Serta tidak hanya melakukan sosialisasi RKUHP yang tidak demokratis,” imbuhnya.

Hal senada juga disampaikan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati. Ia menegaskan sebelum draf lengkapnya diketahui publik maka RKUHP jangan disahkan dulu. 

“Dibaca saja belum, masa sudah mau disahkan. Berat itu RKUHP karena sampai saat ini publik enggak pernah dapat draf lengkapnya,” ujarnya saat dihubungi terpisah.

Ia mengungkapkan sebelum sampai ke pembahasan, YLBHI beberapa kali saat bertemu tim RKUHP di DPR dalam diskusi publik, meminta untuk membuka draftnya secara komplit. 

“Namun sampai sekarang belum. Kami mempertanyakan mengapa draft RKUHP sampai sekarang terkesan berusaha disembunyikan dari publik. Oleh sebab itu, kami sampaikan dan tekan terus ke mereka supaya dibuka dulu dan jangan disahkan,” katanya.

Utamakan Keadilan

Selain RKUHP, Erasmus juga angkat bicara soral RUU ITE yang juga masuk Prolegnas Prioritas 2021. Dia menyarankan supaya RUU ITE perlu dipastikan sudah dirombak total aturannya, terutama soal pemidanaan dan beberapa bagian bermasalah yang selama ini menjadi perhatian masyarakat.

“Pembahasannya bisa dilakukan barengan kok. Kita tahu kalau di dalam rumusan dan penerapannya, UU ITE terkesan hilang arah, menjerat banyak kebebasan berekspresi dan berpendapat yang sah,” jelasnya.

Tindak pidana yang diatur dalam UU ITE, lanjut dia selama ini berfokus pada menindak orang-orang yang perbuatannya selama ini dianggap melakukan pencemaran nama baik.

“Penting untuk melihat Undang-undang ini dari standar-standar hukum pidana dan hak asasi manusia, bahwa hukum pidana harus diatur secara tertulis dan ketat, sehingga rasa keadilan yang paling utama bisa ditegakkan,” tandasnya.

Asfinawati mengharapkan proses lanjutan terhadap pengesahan RUU ITE ini benar-benar mendengarkan publik dengan berkaca pada kasus-kasus yang menggunakan UU ITE yang terjadi di tengah masyarakat.

“Kami bersama tim koalisi bahkan sudah membuat kertas posisi soal UU ITE dan sudah lengkap pasal-pasal yang kami kritisi dan permasalahan konkretnya juga disampaikan,” tandasnya.

Ia mengharapkan revisi UU ITE benar-benar serius mendengarkan masyarakat dan substansinya tidak membuat produk hukum ini bisa digunakan serampangan seperti sekarang.

“UU ITE memang harapannya ada revisi segera tapi prosesnya perlu dialog dengan korban dan pendamping korban dari penggunaan produk hukum ini. Itu yang paling utama supaya bisa tahu aspek keadilan apa yang harus diutamakan,” tandasnya.

Pasal bermasalah

Berdasarkan catatan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, ada sejumlah pasal dalam RKUHP yang menjadi perhatian dan dinilai mendesak untuk dibahas ulang. Misalnya, pasal yang mengatur tentang perempuan korban perkosaan yang memutuskan aborsi.

Lalu, pasal tentang perzinaan dan kohabitasi yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat.

Ada juga pasal  tentang penggelandangan yang berpotensi mengkriminalisasi perempuan yang bekerja dan pulang malam, pengamen, tukang parkir, orang dengan disabilitas psikososial yang diterlantarkan keluarganya, dan anak yang hidup di jalan.

Kemudian, pasal soal tindak pidana korupsi yang bisa menimbulkan dualisme aturan.

Selain itu, pasal mengenai pendefinisian makar yang bisa menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat sipil.

Terakhir soal pasal tentang living law yang dapat menimbulkan multitafsir dan dapat dimanfaat untuk kesewenangan aparat.

Share: KUHP Dinilai Perlu Direvisi, Tapi Jangan Asal Dibahas