Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah lembaga menilai Presiden Joko Widodo tetap harus mengambil sikap atas masalah pemecatan 56 pegawai KPK sesuai dengan rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman.
Menurut Koalisi, langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang ingin merekrut pegawai KPK tidak serta merta melepaskan Jokowi dari tanggung jawab.
Awal Kasus
Sebanyak 56 pegawai KPK dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN). Mereka akan diberhentikan per 30 November.
Sejumlah pegawai merasa ada yang janggal dari tes tersebut. Termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Sikap mereka dilanjut dengan pelaporan ke Komnas HAM serta Ombudsman.
Hasilnya, Komnas HAM menilai ada pelanggaran HAM dibalik TWK KPK. Kemudian Ombudsman menyebut ada maladministrasi dalam pelaksanaan tes.
Dua lembaga itu lalu memberikan rekomendasi kepada Presiden Jokowi agar melantik 56 pegawai menjadi ASN di KPK karena TWK sarat masalah.
Koalisi Masyarakat Sipil dan para pegawai yang akan dipecat juga berharap Jokowi melantik mereka sebagai ASN di KPK. Mereka tidak pernah meminta dipekerjakan sebagai ASN di lembaga lain.
Tawaran Kapolri
Pada Selasa lalu (28/9), Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan pernyataan yang mengejutkan. Dia mengaku telah bersurat kepada Jokowi tentang rencana perekrutan 56 pegawai KPK tak lulus TWK.
Listyo menilai para pegawai itu memiliki pengalaman mumpuni, sehingga bisa memperkuat Bareskrim Polri. Terutama terkait penanganan korupsi.
“Karena kita melihat terkait dengan rekam jejak dan tentunya pengalaman tipikor tentunya itu sangat bermanfaat untuk memperkuat jajaran organisasi yg saat ini kita kembangkan untuk memperkuat organisasi Polri,” kata Listyo.
Listyo mengklaim sudah mendapat restu Jokowi. Selanjutnya, Polri hanya tinggal berkoordinasi dengan Kemenpan-RB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) ihwal rekrutmen pegawai KPK yang akan dipecat.
Antiklimaks
Koalisi Masyarakat Sipil menganggap upaya pemerintah menyelesaikan polemik TWK KPK antiklimaks. Tidak sesuai dengan rekomendasi Komnas HAM, Ombudsman serta harapan para pegawai KPK.
“Dua lembaga negara yang dibentuk dengan undang-undang itu telah meminta kepada Presiden untuk melantik 56 pegawai KPK menjadi ASN di KPK,” kata Koalisi Masyarakat Sipil lewat siaran pers, Rabu (29/9).
Koalisi menekankan bahwa UU Ombudsman Pasal 38 Ayat (1) menyatakan bahwa Presiden wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman selaku atasan dari pimpinan KPK.
Jika tidak mengangkat pegawai menjadi ASN di KPK, Koalisi menilai Presiden sama saja tak menghargai kinerja Ombudsman dan termasuk perbuatan melawan hukum terhadap lembaga negara.
Koalisi juga menekankan bahwa pemecatan terhadap pegawai KPK tidak sah, karena TWK memiliki kejanggalan berdasarkan temuan Komnas HAM dan Ombudsman. Atas dasar itu, para pegawai berhak menjadi ASN di KPK, bukan di lembaga lain seperti Polri.
“Selain itu, jangan sampai ada kesan yang timbul bahwa puluhan pegawai KPK tersebut seolah-olah diposisikan sebagai pencari pekerjaan,” tutur Koalisi.
Di sisi yang lain, jika Jokowi merestui pegawai pindah ke Polri, maka sama saja menganggap TWK tidak mengandung masalah dan membiarkan para pegawai diberhentikan. Sama saja Jokowi tidak menghiraukan atau acuh tak acuh pada masalah yang ditemukan Komnas HAM dan Ombudsman.
“Sikap Presiden dalam isu TWK ini dapat digambarkan bahwa pemerintah seperti tidak pernah berpihak pada isu penguatan lembaga pemberantasan korupsi,” kata Koalisi.
Desakan
Koalisi Masyarakat Sipil lalu meminta Presiden Jokowi untuk bersikap. Ada tiga desakan yang mereka sampaikan, yaitu sebagai berikut.
1. Presiden Joko Widodo menyampaikan secara langsung tindak lanjut atas pemberhentian 56 pegawai KPK
2. Presiden Joko Widodo melaksanakan rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM terkait penyelenggaraan TWK KPK
3. Presiden Joko Widodo mengangkat 56 pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara di KPK
Koalisi Masyarat Sipil terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI, Public Virtue Research Institute (PVRI).
Kemudian, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Amnesty International Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, LBH PP Muhammadiyah dan beberapa organisasi lainnya.