Pemerintah melalui Kementerian
 Dalam Negeri disebut membuka opsi menunjuk perwira tinggi TNI/Polri untuk
 menjabat sebagai Penjabat Kepala Daerah jelang Pilkada Serentak 2024. Opsi ini
 disebut bisa diambil karena ada aturan yang menaunginya dan pernah dilakukan
 pada 2016.
Namun, opsi ini dianggap cacat
 oleh sejumlah pihak. Soalnya, penyerahan kepemimpinan daerah kepada TNI/Polri
 disebut akan membuat demokrasi Indonesia makin merosot.
Berdampak negatif
Pengamat politik dari Lingkar
 Madani, Ray Rangkuti menilai rencana penunjukan perwira TNI/Polisi untuk
 menjadi Pj Kepala Daerah sudah semestinya untuk ditinjau ulang dan tidak
 dilaksanakan. Menurut dia, di tengah melemahnya indeks demokrasi, menempatkan
 perwira TNI/polisi sebagai Pj kepala daerah akan menambah merosotnya penilaian
 demokrasi tersebut. 
“Sayangnya, poin
 kemerosotan tersebut malah disumbang oleh Kemendagri yang sejatinya merupakan
 pengawal demokrasi di lingkaran pemerintah,” kata Ray kepada Asumsi.co.
Ia tak menampik kebijakan serupa
 pernah dilakukan. Namun, Ray menilai tidak dengan sendirinya hal itu menjadi
 dasar diberlakukannya hal yang sama. Sebab, pokok soalnya bukan soal sudah
 pernah atau tidak, tapi soal desain sistem demokrasi Indonesia. 
Ray menambahkan, bahwa secara
 aturan dapat diperkenankan, karena misalnya tidak dilarang di dalam UU No
 10/2016 tentang Pilkada, UU No 5/2014 tentang ASN, UU No 34/2004 tentang TNI
 dan UU No 2/2002 tentang Kepolisian, tidak dengan sendirinya membebaskan
 Mendagri menunjuk perwira TNI/Polisi menjadi Pj kelapa daerah
“Pelibatan perwira
 TNI/polisi dalam pemerintahan juga sudah lazim di era orde baru yang kemudian
 direvisi sejak era reformasi,” ucap dia.
Oleh karena itu, Ray
 beranggapan dasar pengelolaannya bukan sekedar boleh atau tidak boleh oleh UU,
 tapi harus didasarkan juga atas desain sistem demokrasi Indonesia. Dalam
 kerangka inilah penempatan perwira TNI/Polisi sebagai Pj kepala daerah diletakkan. 
“Apakah penempatan mereka
 memang bagian dari tujuan desain dan sistem demokrasi kita yang lebih baik;
 partisipatif, terbuka, profesional dan Madani. Apakah cara ini akan menjadikan
 institusi khususnya TNI/Polisi akan lebih profesional dalam bidangnya
 masing-masing, dan umumnya institusi pemerintahan dan demokrasi kita,”
 ujar dia.
Ray menyebut, politik, bahkan
 jikapun itu bersifat administratif belaka sebaiknya diserahkan kepada sipil,
 dan keamanan kepada polisi, serta pertahanan kepada TNI. Melangkahi kewenangan
 dengan sembarangan ala orde baru sebenarnya bertentangan dengan prinsip
 pengelolaan dan desain setiap kewenangan lembaga negara era reformasi yang diharapkan
 publik. 
“TNI dan tentu saja Polisi
 RI harus profesional merupakan salah satu poin penting dari amanah reformasi.
 Jadi, cara baca Kemendagri dalam mengelola hubungan institusi lembaga negara
 dengan sekedar berdasarkan boleh tidaknya dalam UU tidak mencerminkan salah
 satu filosofi penting Kemendagri, yakni mewadahi dan mendorong proses demokrasi
 di tingkat lokal dan nasional,” ujar dia.
Bernuansa politis
Dari parlemen, Ketua DPP PKS
 Mardani Ali Sera mengatakan menempatkan anggota TNI maupun Polri sebagai PJ
 Kepala Daerah di Pilkada 2024 saja sangat berisiko. Menurutnya, selain tidak
 memiliki legitimasi politik namun bertugas untuk durasi yang lama, posisi
 strategis para Pj di Pilkada 2024 juga bisa disalahgunakan untuk kepentingan
 politik penguasa.
“Sangat berpotensi
 dimanfaatkan untuk kepentingan dan konsolidasi politik kelompok tertentu.
 Karena itu wajib ada transparansi,” jelas Mardani.
Sementara terkait rencana
 penunjukan TNI/Polri untuk posisi PJ Kepala Daerah, Mardani mengingatkan
 kegagalan dwifungsi ABRI di era Orde Baru lalu. Oleh karena itu ia meminta
 pemerintah berpikir matang sebelum mengambil opsi ini.
“Pengalaman dwi fungsi
 masa lalu perlu jadi pelajaran. Ada perbedaan DNA pengabdian antara sipil
 dengan TNI-Polri. PJ untuk waktu yang lama bisa berbahaya bagi stabilitas dan
 kualitas pelayanan publik. Pola komando yang melekat pada TNI dan Polri beda
 dengan pola pelayanan pada birokrat,” kata dia.
Sebelumnya, opsi untuk
 menunjuk TNI/Polri sebagai PJ Kepala Daerah dilakukan untuk mengantisipasi
 kekosongan kepemimpinan di beberapa daerah karena masa jabatan kepala daerah
 yang habis di 2022 dan 2023. Sementara Pilkada baru digelar 2024.
Aturan adanya Pj Kepala Daerah
 telah diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada Pasal 201
 ayat (9). Bahkan di ayat seterusnya, untuk Gubernur akan diisi oleh pejabat
 dengan jabatan pimpinan tinggi madya, sedangkan Bupati/Wali Kota akan diisi
 oleh pejabat dengan jabatan pimpinan tinggi pratama.
Dengan ratusan daerah yang
 akan mengalami kekosongan, munculah wacana sejumlah Perwira TNI-Polri untuk
 menempatkan Pj Kepala Daerah, yang akhirnya menimbulkan polemik.
Hal ini memang bukan baru di
 era kepemimpinan Mendagri Tjahjo Kumolo. Tjahjo sempat menunjuk Irjen M Iriawan
 untuk mengisi posisi sebagai Pj Gubernur Jawa Barat, kemudian Irjen Martuani
 Sormin di Sumatera Utara. Di mana keduanya tak ditempatkan di kementerian.
Berbeda dengan Irjen Pol Carlo
 Brix Tewu menjadi PJ Gubernur Sulawesi Barat, dan Mayjen TNI Soedarmo sebagai
 PJ Gubernur Aceh. Kedua orang ini awalnya ditempatkan di Kemenko Polhukam dan
 Kemendagri.