Keuangan

Ancaman Kolaps Evergrande dan Pengaruhnya ke Indonesia

Ilham — Asumsi.co

featured image
Antara Foto

Pekan ini pasar keuangan dunia diramaikan dengan ancaman kolapsenya perusahaan properti terbesar di China, Evergrande. Perusahaan ini dikabarkan terancam gagal membayar utang senilai US$ US$ 300 miliar sekitar Rp 4.275 triliun. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat was-was apabila Evergrande benar-benar kolaps.“Kita harus melihat dengan mewaspadai apa yang terjadi di dalam perekonomian China dengan adanya fenomena gagal bayar dari perusahaan Evergrande ini,” kata dia.

Kronologi 

Evergrande merupakan perusahaan yang didirikan oleh pengusaha Hui Ka Yan pada 1997. Berlokasi di Shenzhen, China, perusahaan ini mempekerjakan sekitar 200 ribu orang. Selain properti, Evergrande menggurita ke sektor olahraga, taman hiburan hingga kendaraan listrik. 

Banyaknya kegiatan bisnis menyebabkan perusahaan meminjam uang ke investor dan hingga kesulitan membayar. 

Dengan utang mencapai Rp4.275 triliun, timbul keresahan dan khawatir Evergrande akan bernasib seperti Lehman Brothers yang bangkrut pada 2008. Bahkan, memicu krisis keuangan global. 

Tak ayal, pelaku pasar berharap pemerintah China turun tangan.Evergrande dikabarkan sedang menjual bisni kendaraan listrik dan bisnis layanan properti. Namun, manajemen belum menemukan investor yang berminat. 

Selain itu, Evergrande juga telah mencoba menjual menara kantornya di Hong Kong. Terakhir, Evergrande disebut melakukan pembayaran kupon obligasi domestiknya Rabu (23/9) untuk meredakan kekhawatiran para investor. 

Di samping itu, pemerintah China dikabarkan tidak membiarkan Evergrande mengalami kebangkrutan dengan memecah perusahaan yang berutang Rp4 ribu triliun itu menjadi tiga entitas terpisah. Hal ini disebut akan memuluskan Evergrande menjadi perusahaan BUMN. 

Untuk meredakan panasnya pasar keuangan dalam negeri, bank sentral China, yaitu The People’s Bank of China (PBOC) mengguyur uang ratusan triliun Yuan ke sistem keuangan China. 

Hal ini dilakukan untuk menekan kekhawatiran pelaku pasar terhadap krisis perusahaan properti raksasa China. 

Dampak ke Indonesia

Direktur dan pengamat saham Invofesta Parto Kawito mengatakan tidak perlu khawatir dengan kasus Evergrande. Ia melihat sentimen gagal bayar Evergrande terhadap pasar modal telah mereda seiring upaya yang dilakukan perusahaan dan tindakan pemerintah China. 

“Dampak dari gagal bayar Evergrande terhadap pasar modal Indonesia sebetulnya terlihat dari koreksi yang terjadi pada bursa saham di Senin dan Selasa kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) IHSG sempat terkoreksi di bawah 6.000. Namun, pasar mulai terefleksi setelah mendengar kabar Evergrande akan melakukan pembayaran obligasi,” katanya saat dihubungi Asumsi.co, Minggu (26/9). 

Sementara Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menjelaskan bahwa sebelumnya pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu sempat melemah tipis seiring pesimisme pelaku pasar terhadap ketidakpastian solvabilitas pengembang properti Tiongkok, Evergrande. 

Namun, ia melihat sudah melihat tanda-tanda yang baik, seperti pemerintah Tiongkok mulai menunjukkan tanda-tanda akan campur tangan untuk membendung efek domino di seluruh ekonomi global.

Ia menambahkan, investor tampak mengesampingkan kekhawatiran terhadap potensi gagal bayar Evergrande Group dan mengalihkan perhatian ke hasil pertemuan The Fed. 

“Fokus pasar akan tertuju ke proyeksi ekonomi dan petunjuk tentang kapan dan bagaimana bank sentral AS akan memangkas program stimulus besar-besaran,” katanya saat dihubungi Asumsi.co, Minggu (26/9).

Pemerintah Perlu Waspada 

Meski sudah ada kabar baik, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan perlu waspada. Menurutnya ada beberapa jalur transmisi risiko yang perlu diperhatikan. 

Pertama jalur transmisi resiko finansial dari sektor keuangan, OJK, Bank Indonesia, dan pemerintah perlu melakukan pendataan atau stress test terhadap lembaga perbankan yang memiliki hubungan dengan evergrande. 

“Ini bisa meminimalisir dan mengantisipasi dampak transmisi krisis ke sektor keuangan,” katanya saat dihubungi Asumsi.co, Minggu (26/9/2021). 

Kedua adalah ekspor dan impor. Menurutnya bahan baku properti sebagian besar dari Indonesia. Apalagi China merupakaan salah satu tujuan ekspor yang sangat besar kontribusinya sehingga perlu melakukan antisipasi dalam ekspor. 

“Perusahaan mana yang melakukan suplai bahan baku ke Evergrande, khususnya suplai bahan baku untuk konstruksi,” katanya. 

Berikutnya, ia melanjutkan, ada dampak ihwal kepercayaan investor dan perbankan untuk masuk ke sektor properti. Ia mengatakan properti di Indonesia yang sempat lesu sejak 2020, saat ini belum pulih total.

“Dikhawatirkan perbankan menjadi ragu-ragu dalam penyaluran kredir KPR, konstruksi, pembagunan perumahan, apartemen. Kalau pun ya, bunga yang dibebankan ke debitur relatif lebih tinggi,” katanya. 

Untuk mengantisipasi kasus serupa di China, kata dia, tiga transmisi ini yang harus diperhatikan. Ia juga menilai pemerintah harus melakukan dorongan, khususnya di sektor properti dengan sangat hati-hati terutama bank-bank di ndonesia dalam memberi kelonggaran uang muka untuk pembelian rumah. 

“Ini perlu diperhatikan efeknya terhadap pengaruh kredit properti. Jangan sampai membuat buble dan dampaknya terhadap kredit macet sehingga kasus di China tidak merembet ke indonesia,” katanya.

Share: Ancaman Kolaps Evergrande dan Pengaruhnya ke Indonesia