PT Indosat Tbk (Indosat Ooredoo) dan PT Hutchison 3 Indonesia (Tri) resmi mengumumkan konsolidasi (merger) perusahaan, dengan nilai transaksi US$6 miliar atau sekitar Rp85,5 triliun (kurs Rp 14.200).
Merger kedua perusahaan baru melahirkan nama baru, Indosat Ooredoo Hutchison, yang prosesnya ditargetkan rampung pada akhir 2021. Entitas baru ini digadang-gadang menjadi operator seluler terbesar kedua di Indonesia, di belakang Telkomsel.
Indosat Ooredoo Hutchison diperkirakan akan meraup pendapatan tahunan (revenue) hingga US$3 miliar (sekitar Rp 42,7 triliun). EBITDA (pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortasi) gabungan diperkirakan mencapai sekitar US$1,3 miliar (sekitar Rp18,5 triliun).
Sedangkan untuk saham, perusahaan gabungan ini akan tetap terdaftar di Bursa Efek Indonesia, dengan kode saham ISAT. Pemerintah Indonesia masih memiliki sisa saham ISAT yakni 9,6%, PT Tiga Telekomunikasi Indonesia memiliki 10,8%, dan pemegang saham publik 14,0%.
Penggabungan Indosat dan Tri akan menyebabkan CK Hutchison menerima saham baru di Indosat Ooredoo hingga 21,8% dari Indosat Ooredoo Hutchison.
Pada saat yang sama, PT Tiga Telekomunikasi akan menerima saham baru Indosat Ooredoo hingga 10,8% dari Indosat Ooredoo Hutchison.
Baca Juga: Kuota Internet Mahal Jadi Kendala Kuliah Daring saat Pandemi, Apa Solusi Pemerintah?
Bersamaan dengan penggabungan bisnis, CK Hutchison akan mendapatkan 50% saham dari Ooredoo Asia dengan menukar 21,8% sahamnya di Indosat Ooredoo Hutchison untuk 33% saham di Ooredoo Asia.
Kemudian, CK Hutchison juga akan mendapatkan tambahan 16,7% kepemilikan di Ooredoo Group lewat transaksi senilai US$ 387 juga.
Setiap pihak masing-masing akan memiliki 50% dari Ooredoo Asia, yang akan diberi nama baru yaitu Ooredoo Hutchison Asia dan memiliki 65,6% saham dan kendali atas Indosat Ooredoo Hutchison.
Pesaing Telkomsel
Direktur PT TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengatakan perusahaan gabungan itu diperkirakan akan menjadi pesaing Telkomsel.
“Penggabungan ini bakal mengimbangi bisnis Telkomsel setelah anak usaha Telkom Indonesia itu menjalin kerja sama strategis bersama beberapa perusahaan. Bahkan tak menutup kemungkinan perusahaan gabungan itu menjadi pesaing Telkom ke depan.”
“Bisa saja Indosat lawannya Telkom juga karena mereka (Telkom) punya pangsa pasar besar setelah kerja sama dengan decacorn,” kata Ibrahim saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (21/9/2021).
Di samping itu, menurut Ibrahim, investor-investor asing akan melirik perusahaan gabungan yang dinamai PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk tersebut. Apalagi perusahaan ini memiliki nama besar dan di dalamnya terdapat saham pemerintah.
Bagaimana Sahamnya?
Menurut Ibrahim, aksi merger perusahaan akan menarik perhatian pasar. Investor retail diperkirakan bakal memberi respons positif. Kendati begitu, Ibrahim melihat harga saham emiten tidak akan langsung melambung.
Harga saham akan bergerak naik, namun tak terlalu agresif. Tren saham pun diprediksi tidak terlampau fluktuatif atau bergeser signifikan dari posisi sebelumnya, meski saat ini sektor telekomunikasi sedang banyak digandrungi pelaku pasar.
“Karena pasar tahu, ada waktunya sektor teknologi harga sahamnya melandai. Bulan madu terhenti kalau masyarakat kembali aktivitas semula,” ujar Ibrahim.
Apalagi, sehari setelah merger, Jumat (17/9/2021), saham Indosat (ISAT) mengalami kenaikan sebesar Rp175 atau 2,46% ke Rp7.300 per lembar. Namun, mengalami penurunan kembali pada hari ini, Selasa (21/9/2021) ke Rp6.850.
Baca Juga: Hobi Gonta-Ganti Kartu SIM Prabayar? Ternyata Begini Caranya Unreg-nya
Sedangkan menurut Analis Saham dari Infovesta, Felisya, merger memberikan sentimen positif bagi investor karena dapat memperkuat jaringan perusahaan yang saling melengkapi untuk menjadi lebih kompetitif dalam layanan digital.
“Namun, telkomsel masih menjadi penguasa pangsa pasar terbesar di Indonesia sekitar 169 juta pelanggan per kuartal II 2021 atau masih lebih besar dari hasil merger Indosat dan Tri sebesar 104 juta pelanggan,” katanya saat dihubungi Asumsi.co.
Terkait dengan sahamnya, Felisya menilai bahwa saham TLKM masih layak untuk dikoleksi. “Pasalnya, TLKM masih memiliki fundamental yang cukup kuat dibandingkan ISAT. Meski sudah merger,” katanya.
Saham TLKM sendiri mengalami turun naik setelah ISAT melakukan merger dengan Tri, dari Rp3440 pada 16 September 2021 ke Rp3530 pada hari ini, Selasa (21/9/2021).
Selain itu, kinerja Telkom tahun ini juga akan semakin terdorong bisnis fixed broadband IndiHome. “Mengingat, kebutuhan internet diprediksi akan kembali meningkat setelah diberlakukannya kembali kebijakan bekerja dari rumah alias work from home (WFH),” ucapnya.
Ia berharap dengan adanya merger ini dapat meningkatkan efisiensi perusahaan untuk dapat terus berkembang.
Senada dengan Felisya, pengamat saham Cheril Tanuwijaya menyatakan setelah merger dengan Tri, ISAT menjadi semakin kuat dan kompetitif secara bisnis. ISAT juga menjadi perusahaan komunikasi terbesar nomor dua setelah TLKM.
“Namun, TLKM selama ini konsisten menjadi pemimpin pasar industri komunikasi dengan terus mengembangkan infrastruktur, misalnya teknologi 5G. Selain itu TLKM memiliki lebar spektrum 102,5 MHz sedangkan ISAT hanya 72,5 Hz, meski sudah merger,” katanya saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (21/9/2021).
Di sisi lain, dengan merger yang dilakukan membuat ISAT semakin kuat melakukan efisiensi infrastruktur, biaya dan operasional yang saling mendukung. Ia menambahkan secara harga, ISAT YTD naik 34,65%. Sedangkan TLM baru naik 6.34%.
“Namun, ISAT berisiko terjadi koreksi harga lanjutan, meski prospek bisnis berpotensi membaik di masa depan, pasca merger,” katanya.