Secuplik video berisi komentar juri terhadap kontestan acara Indonesia Next Top Model yang membuka diri soal depresi di masa lalu menjadi perbincangan warganet yang sebagian menganggap juri tidak peka.
Psikolog klinis dewasa Muthmainah Mufidah, M.Psi. mengatakan, seseorang harus berempati ketika menghadapi orang yang membuka diri soal masalah kesehatan mental.
“Bayangkan kalau kita yang ada di posisi itu bagaimana? Ini bisa membuat kita lebih hati-hati merespons,” kata Co-founder Arsanara Development Partner itu kepada ANTARA.
Pakai kata netral: Tanggapilah dengan menggunakan kata-kata netral atau kata-kata yang sudah disebut oleh orang tersebut ketika menceritakan masalahnya tanpa menambahkan pandangan pribadi.
“Misal, ‘Oh kamu saat itu sedang merasa enggak enak ya, didiagnosis gangguan depresi.’ Mengulangi perkataannya juga bisa menjadi tanda bahwa kita mendengarkan dengan baik,” jelas psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Ajukan pertanyaan terbuka: Bila ingin bertanya mengenai hal tersebut, ajukanlah pertanyaan terbuka agar dia punya ruang untuk bercerita. Sebaiknya jangan membuat pertanyaan yang hanya mengundang ruang untuk berkomentar.
Ketika mulai mendengarkan cerita orang yang sedang membuka diri, hindarilah konfrontasi, membantah atau melawan. Sebab, langkah pertama dari penanganan kesehatan mental menurutnya adalah menyadari dan menerima. Akan lebih baik bila seseorang membantu orang tersebut menerima kondisinya, bukan melakukan konfrontasi.
“Karena untuk menerima saja sudah tidak mudah, apalagi jika lingkungan menyudutkan, membantah. Di terapi memang ada teknik konfrontasi ini, tapi dilakukan oleh profesional dan disesuaikan dengan kondisi kliennya juga setelah assessment,” katanya.
Tawarkan bantuan: Jika memang tak tahu respons yang tepat, dia menyarankan agar lebih baik bicara jujur dan mengatakan bahwa bukan ahli dan tidak berpengalaman. Seseorang juga bisa menawarkan bantuan apa yang bisa diberikan, atau tanyakan respons yang diharapkan.
“Karena kebutuhan orang kan berbeda-beda dan tujuan bercerita juga bisa beda-beda,” katanya.
Muthmainah Mufidah menyarankan supaya tidak perlu langsung memberi petuah di awal, sebab belum tentu itu yang dibutuhkan oleh orang yang bercerita.
Bila ingin memberikan saran, dia menyarankan agar minta izin terlebih dahulu kepada orang tersebut, atau berikan bila memang diminta. Langkah selanjutnya adalah arahkan untuk berkonsultasi ke psikolog atau psikiater untuk mendapat bantuan secara profesional. Satu hal yang tak kalah penting adalah tidak merespons dengan gurauan.
“Hindari bercandain ya. Karena ini masalah serius dan lagi-lagi kita tidak tahu cerita utuhnya dan proses dia di balik itu,” ujarnya.
Hati-hati: Bersikap hati-hati dan peka penting ketika menanggapi soal kesehatan mental, sebab berbeda dari luka fisik, luka batin tidak terlihat dari luar. Proses penyembuhannya pun tidak bisa dilihat secara jelas seperti luka fisik.
Oleh karena itu, mengonfrontasi secara langsung bukan respons yang bijak. Meski sudah sembuh atau membaik, tetap ada kemungkinan gangguan itu terpicu muncul kembali.
Dia berharap orang-orang bisa lebih bijak dalam menanggapi masalah kesehatan mental dan tidak serta merta meniru bentuk respons yang kurang baik.
Baca Juga:
Riset Ungkap Golongan Darah yang Berisiko Besar Kena Stroke Dini