Eksklusif

Menyelami Penyebab 30% PNS ‘Nggak Ngapa-ngapain’ saat WFH

Manda Firmansyah — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi Antara

Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana mengungkap, sebanyak 30% pegawai negeri sipil (PNS) ‘enggak ngapa-ngapain’ selama pemerintah memberlakukan work from home (WFH). Bahkan, 34,7% PNS tergolong berkinerja buruk dan kurang bersemangat. 

Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI), Lisman Manurung mempertanyakan, sistem pelaporan kegiatan BKN sebagai ukuran kinerja PNS. Penilaian itu gampang dimanipulasi, karena PNS bisa saja berbohong ketika mengisi poin laporan kegiatan. 

Disisi lain, juga ada PNS yang malas mengisi laporan kegiatan, meski sudah menyelesaikan banyak pekerjaan.

 “Apakah pendataan yang mereka lakukan itu sudah mencerminkan realitas. 35,7% itu harus dicek. Maksudnya seperti apa?, kalau diukur dengan puluhan pertanyaan ya kan manusia malas ya. Kalau di swasta, bos akan marah jika anak buahnya menghabiskan waktu untuk mengerjakan itu,” ucapnya kepada Asumsi.co, Jumat (22/7/2022). 

Pelayanan publik di Indonesia belum seperti yang diharapkan, karena cara pemberian imbalan tidak selaras dengan kinerja. Pelayanan publik di Indonesia dari berbagai segi masih tertinggal dengan Korea, dan bahkan Malaysia. 

“Besar imbalan itu sampai sekarang tidak berbasis kinerja. Jadi, dipukul rata begitu saja. Sementara yang terbaik dan biasanya diterapkan di sektor swasta, imbalan yang diterima setiap orang berbeda satu dengan yang lain. Asumsinya, setiap orang belum tentu bekerja dengan cara dan kualitas yang sama,” tutur Lisman. 

Ketika pekerjaan tidak dibayar sesuai dengan usahanya, maka PNS cenderung tidak peduli pentingnya pelayanan publik. Di beberapa negara, artificial intelligence sudah digunakan untuk melaporkan kegiatan PNS, sehingga pekerjaan dan imbalannya terukur. 

“Digital yang kita (pejabat pemerintah) maksud masih digital dalam kata-kata. Artificial intelligence itu masih dalam kata-kata. Misalnya, masih menyuruh fotocopy KTP, ini kan sudah digital (e-KTP),” ujar Lisman. 

Dalam kasus e-KTP yang masih difotocopy, kata dia, tentunya merugikan masyarakat. Sebab, harus mondar-mandir fotocopy ketik mengurus birokrasi. Padahal, di beberapa negara seperti Korea Selatan, dalam konteks pelayanan publik, waktu sudah dianggap sebagai perjanjian. Jadi, dosa besar jika mengingkari perjanjian itu. 

Maka, pelayanan publik disana harus dilakukan dengan tepat agar tidak merugikan orang lain. Persoalan utamanya di Indonesia, pelayanan publik tidak dimulai dari perbaikan sistem. 

“Mereka konsisten karena dibayar dengan ukuran, tidak ada yang kurang. Disini kan enggak, kalau disini kan, ini wajah-wajahnya teman saya, kalau bukan teman ya enggak (dilayani), sehingga orang ya mau menang sendiri,” ucapnya. 

Baca Juga:

BKN: 30% PNS Nggak Ngapa-ngapain saat WFH 

Media Asing Soroti Pejabat Indonesia Gemar Labeli PNS Radikal 

Lowongan CPNS 2022: Pemerintah Buka Sejuta Formasi untuk PPPK 

Share: Menyelami Penyebab 30% PNS ‘Nggak Ngapa-ngapain’ saat WFH