Isu Terkini

Media Asing Soroti Pejabat Indonesia Gemar Labeli PNS Radikal

Yopi Makdori — Asumsi.co

featured image
ANTARA/Aprillio Akbar

Media asing menyoroti pejabat Indonesia yang gemar melabeli
Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan tuduhan radikal. The Economist pada Kamis
(23/6/2022), menulis bahwa para pejabat Indonesia secara berkesinambungan
selalu menuding sejumlah PNS terinfiltrasi ideologi  ekstremis Islam.

Mereka menilai kekhawatiran semacam itu sebagian berasal
dari keterikatan para elite penguasa pada pluralisme agama. Kendati 87 persen
dari 274 juta penduduk Indonesia adalah Muslim, tapi itu tidak menjadikan
negara ini sebagai negara Muslim.  The Economist menulis bahwa ideologi resmi Indonesia menekankan pluralisme.

Taktik bungkam pengkritik: Media itu mengatakan, label
radikalisme terhadap PNS merupakan taktik untuk membungkam para pengkritik.

“Namun serangan terhadap pegawai negeri juga memiliki tujuan
yang kurang mulia. Sumber oposisi terbesar terhadap Presiden Joko Widodo, yang
dikenal sebagai Jokowi, tidak terletak di parlemen, di mana koalisi besarnya
mencakup semua partai kecuali dua, tetapi di antara organisasi Islam akar
rumput,” tulis The Economist, dilansir pada Sabtu (25/6/2022).

Popularitas mereka telah menggelembung selama dua dekade
terakhir karena didorong oleh kebebasan yang diberikan kepada mereka pada akhir
kediktatoran Soeharto pada tahun 1998. Hal itu telah mendorong mereka memeluk
aliran keyakinan yang lebih konservatif.

Pemicu: Banjir pelabelan radikal terjadi ketika kelompok
yang menurut terminologi The Economist dikenal sebagai kelompok Islamis itu,
muncul sebagai kekuatan politik selama demonstrasi besar di Jakarta pada 2016
silam. Di mana ratusan ribu orang turun ke jalan untuk mengecam pernyataan yang
dianggap menghina Islam oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang saat itu
masih menjabat sebagai gubernur Jakarta. Demonstrasi yang menuntut pemidanaan
terhadap sekutu dekat Presiden Joko Widodo atau Jokowi itu membuat sejumlah
elite resah.

Sejak kampanye pertama Jokowi untuk presiden pada tahun
2014, lawan-lawannya telah mendorong kelompok fundamentalis seperti Front
Pembela Islam (FPI) untuk menuduh Jokowi tidak “cukup Muslim”. Dalam gema
Suharto, Jokowi telah merespons dengan represi.

Represivitas Jokowi: Pada tahun 2020 ia melarang FPI; enam
pendukungnya tewas dalam baku tembak dengan polisi tahun itu. Tak berhenti di
situ, media itu menulis bahwa Jokowi juga menyasar sektor publik.

Jokowi membentuk satuan tugas untuk menghapus ekstremis dari
jajarannya pada 2019 silam. Anggotanya diambil dari kementerian dan badan
intelijen. Pemerintah juga mendorong anggota masyarakat untuk waspada terhadap
pandangan ekstremis pegawai negeri. Dan meminta mereka untuk melaporkannya
melalui situs web khusus.

Mata-matai PNS: Pemerintah juga mulai menyaring pelamar
pegawai negeri untuk menilai keyakinan agama mereka. Instansi pemerintah
sekarang mengadakan seminar yang dirancang untuk menanamkan loyalitas kepada
negara pada karyawan mereka. Dinas keamanan telah mengirimkan daftar anggota
staf yang diduga memiliki pandangan ekstremis kepada administrator di
universitas negeri dan bos perusahaan milik negara. Mereka yang disebutkan
namanya diperingatkan bahwa pandangannya akan merugikan karier mereka.

“Daftar [pemeringkatan] itu menunjukkan bahwa lembaga negara
melakukan pengawasan ekstensif terhadap sektor publik,” tulis Gregory Fealy
dari Australian National University.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo juga telah memperingatkan pegawai negeri
bahwa pemerintah dapat mendeteksi “jejak digital” mereka.

“Pemerintah membenarkan intrusi semacam itu dengan mengklaim
bahwa ekstremisme Muslim menembus jauh ke dalam organ-organ negara,
mengakibatkan penguasaan seluruh bagian birokrasi”, tulis Fealy.

Tak berdasar: Namun klaim pemerintah bahwa negara dikuasai
oleh para ekstremis dilebih-lebihkan. “Tidak ada bukti yang menunjukkan
prevalensi sistemik terorisme atau ekstremisme kekerasan dalam pegawai negeri,”
kata Sana Jaffrey dari Institute for Policy Analysis of Conflict, sebuah
think-tank Indonesia.

A’an Suryana, seorang peneliti di ISEAS Yusof Ishak
Institute, sebuah think-tank di Singapura membeber bahwa dalam dua tahun
pertama kampanye anti-ekstremisme, pemerintah secara resmi menjatuhkan sanksi
hanya kepada 38 pegawai negeri sipil.

Definisi diperluas: Itu merupakan persentase kecil dari 4,3
juta pegawai negeri di Indonesia. Kenyataan bahwa pemerintah menggunakan
definisi “radikalisme” yang luas. Sehingga membuat pernyataan yang “menghina”
pemerintah, atau membagikan apa yang dianggap oleh gugus tugas sebagai “berita
palsu” di media sosial sudah cukup untuk membuat para PNS dilabeli dengan cap
radikal.

Kriteria samar-samar, pada gilirannya membuat pemerintah
mudah untuk mengesampingkan lawan dengan menuduh mereka sebagai ekstremis. Pada
bulan September 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi mengalami hal ini
secara langsung ketika mereka dipecat dengan dalih tidak lulus ujian pegawai
negeri.

Padahal mereka telah dengan gigih membasmi korupsi di eselon
tertinggi politik Indonesia. Setelah pemecatan pejabat, buzzer atau pendengung
di media sosial yang memiliki hubungan dengan pemerintah mengatakan bahwa mereka
adalah anggota Taliban.

Salah satu mantan pejabat yang mendapat label itu ialah Giri
Suprapdiono. Dia mengatakan dirinya dan rekan-rekannya justru diberhentikan
karena menolak bersujud kepada pemerintah. Tetapi banyak anggota masyarakat,
katanya, percaya klaim bahwa mereka “radikal”. Menurutnya itu tidak masuk akal,
sebab beberapa dari mereka yang kehilangan pekerjaan bahkan bukan seorang
Muslim.

“Pemerintah mengaburkan batas antara memiliki pandangan yang
kritis terhadap pemerintah, memiliki pandangan Islamis, dan hanya disebut
teroris”, kata Jaffrey.

Alami diskriminasi: Juru Bicara PKS Muhammad Kholid
mengatakan bahwa banyak Muslim konservatif sekarang merasa mereka harus “sangat
berhati-hati” ketika mengekspresikan diri mereka secara online.

Fealy  juga melihat
ribuan orang mengalami diskriminasi berdasarkan pandangan agama dan politik
mereka. Jokowi berharap dengan menindas Muslim konservatif, ia akan mendorong
mereka untuk memoderasi pandangan mereka dan dengan demikian melindungi
pluralisme negara.

Sejak pembunuhan enam pendukung FPI pada tahun 2020, agitasi
Islam telah mereda. Namun kedamaian yang telah dibeli Jokowi mungkin tidak
bertahan lama. Taktiknya, tulis The Economist, kemungkinan akan membuat marah
umat Islam dan mendorong ekstremis ke bawah tanah.

Pada 7 Juni lalu polisi mengumumkan penangkapan para
pemimpin Khilafatul Muslimin, sebuah kelompok Islam yang mengajar siswa di 31
sekolahnya bahwa Indonesia harus menjadi Kekhilafahan Islam. Akan lebih baik
bagi mereka, dan demokrasi Indonesia, jika mereka diajari nilai pluralisme.

“Sayang sekali bahwa presiden mereka tidak memimpin dengan
memberi contoh,” tulis mereka mengakhiri.

Baca Juga

Share: Media Asing Soroti Pejabat Indonesia Gemar Labeli PNS Radikal