Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta Kementerian Agama (Kemenag) mengkaji ulang pencabutan izin operasional Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur.
“Perlu dilakukan penilaian secara obyektif , toh tersangka sudah ditahan oleh polisi , apakah masih perlu mencabut izin operasional pesantrennya,” ujar Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi kepada Asumsi.co, Jumat (8/7/2022).
Pesantren Shiddiqiyyah diasuh oleh KH Muhammad Mukhtar Mukthi yang merupakan ayah MSAT, seorang DPO pencabulan santriwati. Pesantren ini mendapat sorotan tajam akhir-akhir ini setelah Mukhtar Mukthi dianggap menghalang-halang aparat menangkap anaknya.
Saran: Gus Fahrur, sapaan akrab pimpinan PBNU itu, menyarankan Kemenag untuk mendiskusikan masalah itu dengan Majelis Masyayikh. Majelis ini terdiri dari sembilan orang kiai yang telah dikukuhkan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas pada akhir tahun lalu.
“Saya berharap ada keputusan yang tepat dan bijaksana , mungkin ada tahapan yg perlu dilakukan. Ada Majelis Masyayikh yang dibentuk oleh Kemenag sesuai UU Pesantren. Mereka bisa diajak bicara juga,” ucapnya.
Tugas: Hadirnya Majelis Masyayikh merupakan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren guna mewujudkan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren. Gus Fahrur menerangkan majelis ini mempunyai sejumlah tugas, mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren tugas Majelis Masyayikh, antara lain:
Pertama, menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum pesantren. Kedua, memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam menentukan kurikulum pesantren. Ketiga, merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan pesantren.
Selanjutnya, keempat, merumuskan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan pesantren. Kelima, melakukan penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu. Dan keenam, memeriksa keabsahan setiap syahadah atau ijazah santri yang dikeluarkan pesantren.
Adapun sembilan anggota Majelis Masyayikh sebagai berikut:
1. KH. Azis Afandi (Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat)
2. KH. Abdul Ghoffarrozin, M.Ed (Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah)
3. Dr. KH. Muhyiddin Khotib (Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur)
4. KH. Tgk. Faisal Ali (Pesantren Mahyal Ulum Al-Aziziyah, Aceh Besar, Aceh)
5. Nyai Hj. Badriyah Fayumi, MA (Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Bekasi, Jawa Barat)
6. Dr. KH. Abdul Ghofur Maimun (Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah)
7. KH. Jam’an Nurchotib Mansur/Ust. Yusuf Mansur (Pesantren Darul Qur’an, Tangerang, Banten)
8. Prof. Dr. KH. Abd. A’la Basyir (Pesantren Annuqoyah, Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur)
9. Dr. Hj. Amrah Kasim, Lc, MA (Pesantren IMMIM Putri, Pangkep, Sulawesi Selatan)
Nasib santri: Gus Fahrur juga menyoroti nasib pesantren jika izin operasionalnya dicabut permanen. Sebab menurutnya tidak gampang memindahkan santri dari satu pesantren ke pesantren lain secara instan.
“Mengingat nasib para santri yang tidak mudah dipindahkan secara mendadak dan mereka tidak bersalah. Perlu dilakukan penilaian secara obyektif , toh tersangka sudah ditahan oleh polisi , apakah masih perlu mencabut izin operasional pesantrennya,” papar dia.
Gus Fahrur mengingatkan, harusnya Kemenag menyontek penanganan terhadap Pesantren Al Mukmin Ngruki, Solo, Jawa Tengah yang pernah diasuh terpidana terorisme Abu Bakar Ba’asyir. Sebab kendati pemimpinnya ditangkap, pemerintah tidak menghabisi pesantren tersebut.
“Semisal kasus pimpinan pesantren Ngruki Solo yang divonis teroris juga tidak jadi ditutup pesantrennya,” ujar Gus Fahrur.
Harapan: Kendati demikian, Gus Fahrur mengaku pihaknya menyerahkan sepenuhnya keputusan itu kepada Kemenag.
“Saya menyerahkan sepenuhnya terhadap kebijakan Kemenag , namun saya berharap pencabutan itu bersifat sementara saja,” harapnya.
Baca Juga:
Alasan Kemenag Cabut Izin Ponpes Shiddiqiyyah Jombang
Polisi Temukan Banyak Ruang Rahasia di Pesantren Shiddiqiyah
Anak Kiai Jombang Ditangkap usai Belasan Jam Dikepung Polisi