Kesehatan

Trauma Panjang Korban Pedofilia: Dari Depresi Hingga Ingin Bunuh Diri

Ilham — Asumsi.co

featured image
Pixabay

Kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur membuka mata banyak pihak betapa rentannya anak menjadi korban kejahatan asusila.

Hubungan seksual yang dilakukan dengan anak merupakan kelainan seksual pedofilia. Pedofilia adalah kecenderungan orang dewasa lebih tertarik melakukan kegiatan seksualnya dengan anak daripada dengan orang seumurannya.

Menurut Diagnostik dan Statistik Manual Gangguan Jiwa (DSM), pedofilia adalah parafilia dimana seseorang memiliki hubungan yang kuat dan berulang terhadap dorongan seksual dan fantasi tentang anak prapuber dan dimana perasaan mereka memiliki salah satu peran atau yang menyebabkan penderitaan atau kesulitan interpersonal (American Psyciatric Association, 2013).

Trauma Berkepanjangan

Psikolog Sinta Yudisia menjelaskan bahwa pedofilia menciptakan trauma yang panjang bagi korban. Anak yang menjadi korban pedofilia bisa stres dan depresi, bahkan ada yang ingin mengakhiri hidupnya.

“Karena kompleks banget, tidak hanya serangan psikis, tapi juga mental. Sehingga perlu diobati baik dari segi fisik dan mental seperti saat ditepuk oleh seseorang seperti dari ayahnya, bahkan suaminya,” katanya saat dihubungi Asumsi.co, Minggu (5/9/2021).

Menurutnya kejadian itu akan sangat berdampak baik di masa depan, karena sangat berbekas di kehidupannya. “Terutama saat dia berhubungan di lingkungan sosialnya, maka ia akan banyak curiga pada orang sekitarnya,” kata perempuan yang juga penulis buku itu.

Perlu Bantuan Profesional

Sinta menganjurkan bagi korban pedofil untuk mendatangi psikolog dan psikiater. Psikolog untuk pengananan mental dan psikisnya, sedangkan psikiater untuk diberikan obat.

“Karena mereka akan menjadi cemas, histeris dan beberapa gangguan kepribadian karena seperti ingin mengakhiri hidup, halusinasi dikejar orang-orang,” katanya.

Baca Juga: KPAI Bicara Kasus Aisha Weddings: Dari Potensi Perdagangan Anak Sampai Modus Pedofilia

Gangguan Seksual?

Sinta menjelaskan, mereka yang menjadi korban pedofili ada kemungkinan dendam terhadap masa lalu. Bahkan, ada beberapa kasus pedofil ternyata pasrah dan menerima derita menjadi kenikmatan.

“Terutama terjadi pada anak-anak tidak mampu, sehingga menjadi rasa penerimaan. Ke depan, mungkin mengalami perubahan orientasi seksual, dari normal dan menjadi tidak,” katanya.

Tidak hanya itu, mereka yang menjadi korban ada kemungkinan menjual dirinya. Ini berdasarkan saat ia melakukan wawancara dengan pekerja seksual di gang Dolly sebelum ditutup.

“Menurut mereka pekerja seksual ada dua kategori. Pertama, butuh karena ekonomi dan kedua melampiaskan dendam dengan cara yang salah. Mereka pernah dianiaya, pernah gagal. Jadi mereka merusak setiap orang,” katanya.

Solusinya?

Sinta mengatakan agar tidak terjadi korban pedofil, maka orang tua harus mengajarkan dan mendampingi anak agar mengenal tubuhnya.

“Dan diajarkan keberanian, berani bicara misalnya bila ada yang memegang salah satu bagian tubuhnya. Misal melaporkan ke gurunya,” katanya.

Apabila sudah menjadi korban, menurut Sinta, perlu pendampingan dan dukungan dari lingkungan sekitar. Karena akan mengalami trauma dan depresi mendalam.

“’Korban akan mengatakan, saya sampah. Mengapa Tuhan tidak adil sama aku.’ Apalagi jika pedofilian dilakukan lama, itu tidak bisa sembuh 6 bulan atau setahun,” katanya.

Menurutnya banyak kasus pedofilian yang terjadi di Indonesia tidak tuntas dalam pendampingan korban. “Hanya setelah kasus, bukan pasca setelah dia dewasa. Karena trauma bisa muncul kembali dan meledak saat akil baligh. Bahkan, mungkin sampai dia menikah, bisa jadi menjadikan pasangannya sebagai korban,” katanya.

Selain ke psikiater dan psikolog, perlu juga pendekatan agama, karena kejadiannya ekstraordinary. “Setelah itu, terus memunculkan potensi terbaik korban, sehingga melupakan trauma dan muncul respek pada dirinya sendiri,” katanya.

Beberapa Kasus Pedofilia di Indonesia:

2001, Mario Manara, warga negara Italia, mencabuli sembilan anak di Buleleng dengan modus memberikan uang dan pakaian kepada korban.

2001, Michael Rene Heller, warga Negara Perancis, mencabuli tiga orang di Karang Asem dengan modus korban dijadikan anak angkat.

2004, Tony William Stuart Brown, warga negara Australia, mencabuli dua remaja di Bali dengan modus memberikan uang dan makanan kepada korban.

2005, Max Le Clerco, warga negara Belanda, mencabuli satu orang di Banjar Kaliasem dengan modus memberikan sepatu sepak bola.

2006, MH, warga negara Indonesia, mencabuli enam siswa SD di Bali dengan modus memberikan uang kepada korban dan mengancam korban yang menolak.

2008, Grandfield Philip Robert, warga negara Australia, mencabuli sembilan anak SMP dan SMA di Singaraja dengan modus memancing korban untuk berkunjung ke rumah yang telah disediakan meja biliar dan memberikan uang kepada korban.

2010, Baekuni, warga negara Indonesia, mencabuli dan membunuh 14 orang di Jakarta dengan modus mengajak korban bermain, kemudian dibunuh, disodomi, dan dimutilasi.

2014, Tjandra Adi Gunawan, menyebarkan sepuluh ribu foto porno anak di bawah umur, lokasi di Surabaya, dengan modus menyamar sebagai dokter kesehatan reproduksi remaja kemudian meminta korban berfoto berpakaian lengkap hingga telanjang, bahkan korban diminta bermasturbasi dengan di foto.

2016, Pedangdut Saipul Jamil, divonis bersalah setelah terbukti mencabuli seorang remaja yang ia ajak bertamu ke rumahnya. Tindakan perkosaan dilakukan saat sang remaja tersebut sedang tidur.

Share: Trauma Panjang Korban Pedofilia: Dari Depresi Hingga Ingin Bunuh Diri