Dua bocah yang diduga anak jalanan melecehkan pesepeda motor
yang terjebak di tengah kemacetan. Video aksi kedua anak itu beredar luas di
media sosial beberapa hari lalu.
Insiden itu diketahui terjadi di sebuah ruas jalan raya di
Bandung, Jawa Barat. Dalam sebuah video, kedua anak tersebut tampak memegang
bagian pantat pesepeda motor hingga menciumnya.
Namun belakangan Satpol PP Kota Bandung memastikan bahwa
kedua anak itu bukan anak jalanan melainkan warga sekitar lokasi.
Respons KPAI: Merespons insiden tersebut, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menuding paparan konten-konten pornografi
menjadi biang kerok aksi senonoh yang dilakukan kedua anak-anak tersebut.
Kadivwasmonev KPAI, Jasra Putra mengatakan anak-anak itu dibentuk lingkungan
hingga bisa terpapar konten bahkan aksi pornografi.
“Sering kali peristiwa anak melakukan aksi aksi orang
dewasa, karena paparan terus menerus dan dalam waktu yang sangat panjang. Tentu
tidak bisa disamakan dengan motivasi orang dewasa melakukan aksi itu. Karena
anak adalah generasi peniru. Sehingga apa yang dibayangkan anak belum tentu
sama seperti orang dewasa,” tutur Jasra kepada Asumsi.co, Minggu (12/6/2022).
Jasra mengatakan, sering kali peristiwa anak terpapar
pornografi tidak disikapi secara serius, padahal menurut beberapa ahli
kejiwaan, anak-anak dalam gangguan perilaku membutuhkan penanganan khusus
terutama medis.
Akibat: Karena gangguan perilaku ini dapat menghambat
pertumbuhan sewajarnya, sampai mengalami gangguan perilaku berat yang
menyebabkan anak-anak dijauhi lingkungan sosialnya.
“KPAI pernah mendapatkan pengaduan yang sangat berat pada
gangguan perilaku anak yang menyerupai orang dewasa dalam aksi pornografi.
Tentu di tahap ini tidak bisa lagi di treatment biasa. Karena sudah harus medis
yang turun tangan, perlu keterlibatan konselor, psikolog, psikiater, ahli
agama, dan obat. Agar benar-benar berhasil dan mengubah perilaku,” jelas Jasra.
Anak-anak dalam situasi ini, kata Jasra sebenarnya tidak
mudah menjalani pendidikan di sekolah, sebab tuntutan jiwanya sudah berubah.
Sehingga sering kali ada yang tidak tersambung antara tuntutan sekolah, yang
berakibat mengundang KDRT dan aksi penyimpangan atau kekerasan lainnya, karena
anak lari dari lingkungan pendidikannya.
Insiden lain: Jasra menceritakan bahaya paparan pornografi
terhadap anak yang sampai menyebabkan perlakuan salah dan mengancam jiwa.
Pertama, seorang anak laki-laki 10 tahun di Jawa Barat, yang
selalu merebut HP orang di jalanan. Aksinya itu ternyata demi menggunakan
handphone untuk menyalurkan aksi pornografi. Bila tidak dituruti akan
berperilaku merusak.
“Untuk menyelamatkan anak, kemudian diamankan di RSJ,”
katanya.
Jasra bilang bahwa anak ini berasal dari keluarga yang
sangat berkecukupan, akibat perbuatannya, entah mengapa anak di tolak kembali
ke rumah. Akhirnya ia membahayakan dirinya dan orang di jalan. Saat dihubungi
relawan, orang tua bilangnya menyerah untuk mengurus anak.
Perlu penanganan serius: Menurut Jasra persoalan-persoalan
seperti ini tidak bisa dianggap biasa, butuh intervensi banyak pihak. Dalam
mengurangi ancaman anak pada paparan aksi pornografi harus ada perubahan cara
pandang penanganan, karena tidak bisa hanya diserahkan anak dan orang tua.
“Karena ada yang tidak tergapai mereka, seperti pengawasan
perkembangan teknologi informasi yang berbau pornografi. Kemudian pentingnya
membangun mekanisme referal atau rujukan terdekat dari keluarga. Karena selama
ini lebih banyak dibebankan ke lembaga, yang menyebabkan sangat menumpuk dan
tidak tertangani kasusnya. Untuk itu sudah saatnya mekanisme rujukan di
perkenalkan pada keluarga, agar dapat segera mencegah,” katanya.
Pemerintah sebenarnya telah memiliki Peraturan Pemerintah
nomor 78 tahun 2021 tentang Perlindungan
Khusus Anak (PP PKA) dengan menyebutnya Anak yang Menjadi Korban Pornografi
(AMKP). Dalam pasal 28 menyatakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah untuk
segera melakukan koordinasi pencegahan dan penanganan pornografi anak,
melakukan sosialisasi dan mengadakan pendidikan dan pelatihan.
Baca Juga