Budaya Pop

Serial ‘Sianida’ Jadi Sorotan dan Sejauh Mana Perizinan Adaptasi Kisah Nyata

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi: Unsplash

Serial ‘Sianida’, yang ditayangkan di salah satu platform digital pada 25 Agustus lalu, menjadi sorotan publik. Sebab, sekilas ceritanya mirip dengan kasus kopi sianida yang pernah terjadi pada tahun 2016.

Masih Ingat Kasusnya?

Kasus kopi sianida menyebabkan Wayan Mirna Salihin meninggal usai meminum kopi Vietnam di salah satu kafe di Jakarta bersama teman-temannya. Kala itu, kasus kopi sianida menghebohkan masyarakat tanah air.

Mengutip CNN, berdasarkan hasil pemeriksaan, Mirna Salihin diketahui keracunan zat sianida yang terdapat pada kopi yang dipesan Jessica Kumala Wongso. 

Polisi kemudian memeriksa Jessica Kumala Wongso, salah satu rekan Mirna yang ikut nongkrong saat kejadian berlangsung. Jessica pun ditetapkan sebagai tersangka. Ia ditangkap di Hotel Neo, di kawasan Mangga Dua pada Sabtu, 30 Januari 2016.

Baca Juga: Marvel akan Luncurkan Komik ‘Avengers: We Are Resilient’, Berisi Kampanye Vaksinasi | Asumsi

Hasil otopsi menunjukkan adanya kandungan sianida dalam lambung Mirna. Kandungan tiga gram sianida ditemukan dalam kopi yang dipesan Jessica dan diminum oleh Mirna.

Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, seperti dilaporkan Kompas, menyatakan Jessica bersalah dan divonis 20 tahun penjara pada 27 Oktober 2016. Ia dinilai terbukti melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pembunuhan Berencana. 

Akui Terinspirasi

Raam Punjabi, produser Multivision Plus yang merupakan rumah produksi dari serial ‘Sianida’ menegaskan, cerita yang ada di serial tersebut tidak sama persis dengan kasus kopi sianida yang terjadi di dunia nyata. 

“Jalan ceritanya beda, nama-nama tokohnya beda juga. Kemudian banyak drama, momen, kejadian, tempat yang sama sekali beda dengan kasus itu. Berarti berbeda kan,” katanya kepada Asumsi.co, melalui sambungan telepon, Kamis (2/9/2021).

Ia mengaku heran mengapa serial ‘Sianida’ ini sampai diributkan banyak pihak. Serial ini menurutnya sama sekali tidak membahas kasus kopi sianida yang menewaskan Mirna.

Namun dirinya tak mau ambil pusing terhadap pandangan orang-orang soal serial ini, termasuk anggapan kalau serial tersebut terinspirasi dari kasus kopi sianida.

“Saya tidak mengerti juga, apa yang dikhawatirkan dan diributkan dari film ini. Setiap orang kan punya cara pandanganya masing-masing, saya tak bisa larang. Silakan saja kalau dianggap mengingatkan pada kejadian itu kan, wajar-wajar saja. Siapapun bisa ingat kejadian itu, tapi tidak ada relevansinya dengan cerita film saya,” tuturnya.

Baca Juga: Benarkah Orang Indonesia Sulit Menerima Budaya Sendiri Jadi Karya Kreatif? | Asumsi

Bila disebut serial ini terdadat kesamaan unsur dengan kasus tersebut, ia mengakuinya. Akan tetapi, menurutnya terinspirasi bukan berarti menjadikan peristiwa yang benar-benar ada, mengartikan kalau serial ini adalah representasi kejadian nyata.

“Filmnya kan ini fiktif. Itu ditulis juga hanyalah fiktif belaka. Kalau terinspirasi, begini katakan ada banjir di suatu tempat. Terus menjadi inspirasi dibikin film, apa artinya menggambarkan sama kejadian itu? Kan tidak,” ungkapnya.

Pengembangan Ide

Raam Punjabi mengatakan, dirinya menaruh simpati atas kejadian yang menimpa Mirna yang tewas dalam kasus sianida. Namun ia menegaskan serial ini bukan bagian cerita nyata dari kasus tersebut.

“Saya menegaskan, tidak ada sama sekali hubungan antara kasus ini atau pihak keluarga korban kejadian itu, dengan film saya. Begini lho, saya kan tidak mencuri harta orang, saya tidak ada niat atau bermaksud memojokan pihak keluarga yang mengalami kejadian sianida ini,” terangnya.

Lebih lanjut, Raam menuturkan kalau memasukkan kisah kasus pembunuhan dengan menggunakan racun sianida adalah hasil pengembangan dari ide orisinil penulis naskahnya.

“Penulis naskah film Sianida ini kan punya idenya sendiri. Kalau jadi keberatan ya hak masing-masing. Tidak bisa dinyatakan kalau yang ada di film itu, kejadian yang sama dengan di kehidupan kita. Saya benar-benar prihatin dan simpati sama kasusnya,” jelas dia.

Ia mengharapkan, lewat film ini bisa jadi pengingat supaya jangan sampai terjadi kasus yang sama, dan coba-coba menggunakan sianida untuk perbuatan kriminal.

“Kalau ada keberatan kan, saya enggak bisa larang. Mereka punya pemikiran masing-masing. Cuma yang paling penting, kita harus objektif dalam menilai sesuatu,” ucapnya.

Raam mengaku, selama ini tak pernah bertemu dengan pihak keluarga mendiang Mirna. Misalnya, untuk keburuhan riset cerita serial tersebut.

Karena serial ini memang bukan untuk mengangkat kehidupan korban kopi sianida yang terjadi di kehidupan nyata. Maka, Ia tidak melihat adanya kebutuhan untuk mengontak keluarga mendiang Mirna.

“Saya tidak kenal dengan keluarga yang bersangkutan itu. Saya atau rumah produksi enggak ada yang pernah menghubungi. Dari awal tidak ada niat mengangkat kejadian itu. Beda sekali penggambaran kejadiannya, dengan yang ada di film,” imbuhnya.

Mengadaptasi Kisah Nyata

Sineas berdarah India ini memiliki pandangannya sendiri soal langkah saat membuat karya yang diadaptasi, atau terinspirasi berdasarkan kejadian nyata.

Raam mengatakan, bila cerita film yang disuguhkan sepenuhnya fiktif dan tidak menampilkan kejadian atau tokoh sesungguhnya, tidak perlu izin karena cerita yang diangkat bisa terjadi pada siapa pun dan di mana saja.

“Seperti banjir, bisa terjadi di mana-mana dan saat dijadikan inspirasi film ya, oke-oke saja. Tidak perlu izin ke siapa-siapa kalau sepenuhnya memang fiktif. Kalau arahnya ini mau dikaitkan dengan film saya ini. Gini, kalau memang mau mengangkat kejadian asli yang memang ceritanya seperti yang dialami mereka, baru saya izin atau segala macam. Ini kan, tidak,” tuturnya.

Baca Juga: Serial Vikings Berdasarkan Kisah Nyata, Ini Etika Visualisasikan Sejarah ke Film | Asumsi

Ia menerangkan, karya sinema yang selama ini dibuat Multivision Plus hadir sebagai pilihan tontonan masyarakat yang dibuat dalam suguhan fiksi. Namun, mungkin bisa saja terjadi kesamaan nama, tokoh, atau tempat yang direkayasa.

“Saya enggak bisa paksa juga masyarakat untuk menonton itu. Kalau mereka suka ya silakan menonton. Kalau ada yang komentar positif bagus, kalau yang negatif ya silakan. Pro-kontra itu biasa, tapi juga jadi masukan buat kami sebagai evaluasi apa yang menjadi concern masyarakat,” pungkas Raam Punjabi.

Penulis naskah film nasional, Salman Aristo, menjelaskan kalau sebetulnya tidak ada aturan baku yang mengharuskan meminta izin saat mengangkat cerita yang berdasarkan kisah nyata seseorang ke dalam film.

Ia mengungkapkan, selama ini dalam proses mengadaptasi, baik kisah nyata atau dari materi yang sudah fiksi ke format visual, buku How To Adapt Anything Into Screenplay yang ditulis Richard Krevolin, menjadi acuannya selama ini.

“Dia bilang, rumusan pertama bagi mereka yang ingin mengadaptasi baik dalam bentuk film, penulis novel atau apapun, pengadaptasi itu, you don’t owe anything about the previous work, tidak ada sama sekali utang apapun dan harus bagaimana,” kata Salman saat dihubungi Asumsi.co, secara terpisah.

Diselesaikan Kekeluargaan

Salman Aristo mengungkapkan, adaptasi film dari kisah nyata yang paling berkesan untuknya adalah Atirah, yakni cerita yang berdasarkan kisah hidup keluarga mantan Wapres RI, M. Jusuf Jalla.

“Atirah ini menarik karena memang kisah nyata banget. Di bukunya yang ditulis sama Albertine Endah, itu kan ada cerita setiap tahun hamil melulu, itu memang benar. Tapi saya dan Mas Riri (Riri Riza) tidak melakukan itu. Kami cuma ambil adegan dia hamil sekali. Sedangkan di bukunya ada enam adegan,” ujarnya

Ia menambahkan, hal yang harus dilakukan saat mengadaptasi adalah tanggung jawab penulis dengan karya yang dibuatnya. “Urusannya sudah tanggung jawab profesi kayak, untuk apa lo mengadaptasi, apa yang mau lo sampaikan, argumen lo apa,” kata Salman.

Menurutnya, kisah hidup seseorang sebetulnya enggak ada pemiliknya. Maka, sebetulnya tidak perlu izin karena kejadian hidup yang dialami seseorang bisa terjadi pada orang lain.

Kisah hidup seseorang yang akan diangkat dalam film, perlu perizinan bila sudah dihadirkan dalam format tertentu yang memang memiliki hak cipta. 

“Siapa yang punya? Hidup itu kan, yang punya Tuhan sampai dia dibukukan atau dialihkan dulu ke dalam wahana karya yang lain, baru itu ada pemilik dan jelas lisensinya,” ucapnya.

Di Indonesia, kata dia, jika perlu ada izin keluarga saat mau angkat kejadian tertentu dalam film, misalnya lebih disebabkan budaya ketimuran kita, yang sikapnya saling menghormati.

Bila ada yang merasa keberatan dengan sebuah peristiwa yang ditampilkan dalam film karena terdapat kemiripan kejadian, ia menyarankan agar diselesaikan secara kekeluargaan.

Jika mau dibawa ke jalur hukum, kata dia, bisa saja dilakukan asal jelas tuntutannya. “Kalau memang betul-betul menyebut nama orang yang benar-benar mengalami kejadian seperti yang ada di film, lalu ditampilkan dengan cerita yang menjelek-jelekan, baru bisa menuntut secara hukum melalui pencemaran nama baik,” tandas Salman.

Share: Serial ‘Sianida’ Jadi Sorotan dan Sejauh Mana Perizinan Adaptasi Kisah Nyata