Budaya Pop

Serial Vikings Berdasarkan Kisah Nyata, Ini Etika Visualisasikan Sejarah ke Film

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: IMDB

Serial Vikings merupakan perhentian selanjutnya para penggemar cerita-cerita kolosal setelah serial Game of Thrones tuntas di tahun 2019. Sekilas seperti cerita fiksi, tapi ternyata Vikings memberikan sesuatu yang tidak bisa disajikan Game of Thrones, yakni latar belakang tokoh dan kejadiannya yang berdasarkan pada kisah nyata?

Mendekati Fakta Sejarah

Serial Vikings dibuat dan ditulis oleh penulis skenario dan produser Inggris pemenang Emmy Award, Michael Hirst. Ia mencampurkan fakta sejarah dan mitos Nordik, serta kisah legendaris masyarakat setempat.

Hirst mengatakan, serial ini menampilkan banyak tokoh legendaris asli berdasarkan mitologi Nordik dan era Viking berlatar belakang cerita tentang pelayaran dan pertempuran  yang dicatatkan para sejarawan terjadi pada abad ke-13.

“Beberapa dari mereka sebenarnya didasarkan pada orang-orang nyata,” katanya melansir dari media Inggris, Express.

Ia mengungkapkan, serial ini diciptakan untuk memperkenalkan pemirsa di seluruh dunia dengan budaya Viking dan mitologi kepercayaan masyarakat Eropa Utara sebelum datangnya agama Kristen.

Baca juga: Bioskop Tak Boleh Punah, Apa yang Harus Pemerintah Lakukan?

Hal ini diklaimnya berhasil karena mampu mendeskripsikan kejadian nyata yang berusaha dituangkan ke dalam cerita seakurat mungkin mendekati fakta sejarahnya. “Meski ada sedikit perubahan, penambahan, atau menghilangkan banyak karakter dan peristiwa dari zaman Viking,” tuturnya.

Vikings mengawali kisahnya dengan mengajak pemirsanya mengikuti perjalanan tokoh legendaris nordik, Ragnar Lothbrok, yang diperankan oleh aktoe Travis Fimmel.

Kisah Vikings mengalir hingga membawa fokus penonton ke dalam cerita kelahiran putra dari Ragnar serta perjalanan mereka. Ragnar yang menjadi tokoh protagonis di kisah ini, diceritakan mati pada season keempat serialnya.

Serial ini mengakhiri perjalanan jalinan kisahnya pada musim keenam yang tayang pada Desember 2019 dengan total 89 episode sejak memulai penayangannya di 2013. 

Mengadaptasi Sosok Nyata

Terlepas dari posisi Ragnar sebagai tokoh inti, salah satu tokoh nyata yang paling meninggalkan kesan dan paling banyak dibahas dalam buku atau artikel sejarah populer justru adalah Rollo, yang tokohnya dimainkan aktor Clive Standen.

Rollo merupakan kakak dari Ragnar, sekaligus Adipati Normandia. Di dalam kisah ini, ia dikenal impulsif dan agresif karena mengkhianati Ragnar berkali-kali.

Melansir Screenrant, karakter ini didasarkan pada tokoh sejarah dengan nama yang sama yang merupakan sosok Viking asli yang menjadi penguasa pertama Normandia.

Tempat kelahirannya tidak diketahui, meski biografi yang ditulis oleh Dudo dari Saint-Quentin pada akhir abad ke-10 mengklaim dia berasal dari Denmark. Ia memimpin banyak penyerangan bangsa Viking sebelum menetap di Normandia, di mana ia menikahi Putri Gisla yang mungkin masih berusia lima tahun pada saat itu.

Rollo yang sebelumnya adalah Viking buas akhirnya menjadi lebih beradab dan memiliki keturunan-keturunan terkenal di Normandia, antara lain William Longsword, Richard the Fearless, dan Gerloc yang juga dikenal sebagai Adele, yang menikahi William III, Adipati Aquitaine. Makam Rollo dapat ditemukan di Katedral Rouen di Prancis.

Mengadaptasi sosok atau kejadian nyata ke dalam sebuah film atau serial seperti yang ada di Vikings tidaklah mudah. Sineas Joko Anwar mengatakan ada etika yang perlu diperhatikan kreator film saat mengangkat sebuah peristiwa sejarah atau kehidupan orang yang hidup di dunia nyata, terutam berkaitan dengan hak cipta dan perizinan. 

“Peristiwa yang pernah terjadi lalu diangkat menjadi film atau series itu etika yang harus diperhatikan, di hak cipta landasannya. Misalnya ada bagian peristiwa yang ada di dalam sebuah series pernah dipublikasikan dalam jurnal atau artikel, tentu harus minta izin pada pemilik materi yaitu penulis artikel atau pihak publisher,” jelas Joko kepada Asumsi.comelalui sambungan telepon.

Begitu pula saat mengangkat peristiwa sejarah yang belum permah dipublikasikan dan diolah berdasarkan kisah nyata melalui riset langsung juga perlu perizinan kepada pihak-pihak terkait soal keberatan atau tidaknya peristiwa-peristiwa tertentu divisualisasikan ke dalam film.

“Kalau belum ada copyright-nya, sah-sah saja. Cuma kalau di negara kita kan, ada batasannya. Misalnya, sineas di Indonesia mau bikin cerita sosok yang ada di kehidupan nyata atau figur tertentu itu mesti ada izin dari pihak keluarga. Nah, tapi ini based on budaya kita supaya ke depannya tidak diperkarakan masalah pencemaran nama baik kalau ada yang dianggap tidak berkenan. Itu sangat bergantung juga pada adat istiadat dari masyarakatnya juga sih,” ungkapnya.

Tantangan Membangun Tokoh Nyata ke Film

Penulis naskah film nasional, Ifan Adriansyah Ismail mengamini pernyataan Joko. Menurutnya, memang urusan perizinan pihak keluarga masih menjadi hal yang kerap dikaitkan dengan budaya sopan santun masyarakat Indonesia saat akan mengangkat tokoh tertentu ke dalam sebuah film.

Padahal, menurutnya bila sosok tertentu sudah berstatus sebagai figur publik maka dia sudah menjadi milik masyarakat dan bebas untuk diadaptasi sedemikian rupa ke dalam karya sinema.  

“Kalau dia adalah tokoh, artinya sudah milik publik ketika akan diangkat dalam bentuk film. Tokoh yang sudah menjadi milik publik sebenarnya kreator tidak ada kewajiban untuk meminta restu ke pihak keluarga. Kalau di Amerika, misalnya saya ambil contoh itu sampai sudah level adaptasi bebas bikin Abraham Lincoln jadi pemburu vampir. Secara historis, enggak mungkin benar kejadiannya cuma  karena dia tokoh publik sah-sah saja kita mengadaptasi ulang,” ungkapnya.

Namun, menurutnya juga sah-sah saja bila pihak keluarga tokoh tertentu merasa keberatan dengan penggambaran anggota keluarga mereka di sebuah film lalu mengajukan tuntutan secara hukum, sekali pun sudah meminta izin.

Baca juga: Hari Film Nasional 2021, Sejarah hingga Duka Dunia Perfilman di Pandemi COVID-19

“Di Indonesia masih susah soal ini. Kayak waktu film Soekarno itu ribut-ribut pihak keluarganya. Secara hukum sebenarnya enggak ada kewajiban meminta restu. Sah-sah saja juga sih, kalau pihak keluarga mau menuntut secara hukum walaupun merepotkan mereka juga. Di kita memang masih baper soal ini karena rasa memiliki figur publik di pihak keluarga sangat kuat. Masyarakat kita masih susah memisahkan urusan profesional dengan pribadi,” terangnya. 

Ifan mengaku bersyukur saat menggarap film Habibie-Ainun diberikan kebebasan oleh mendiang Presiden RI Ke-3 BJ Habibie untuk membangun sisi drama dalam ceritanya tanpa perlu meminta restu darinya.

“Saya beruntung waktu pas bikin Habibie-Ainun, almarhum Pak Habibe santai banget dan terbuka. Beliau bilang silakan bikin dramanya, sebebasnya asalkan tidak melenceng menggambarkan seberapa besarnya dia mencintai Ibu Ainun,” ungkapnya.

Sementara itu Bunga Citra Lestari, aktris yang pernah memerankan Ainun mengaku sempat kesulitan membangun emosi karakter tersebut karena sangat minimnya referensi yang bisa dijadikannya acuan. 

Footage tentang beliau (Ainun) sangat sedikit, akhirnya saya banyak mengobrol sama Eyang Habibie waktu itu untuk membangun emosi Ibu itu seperti apa sih, pribadinya bagaimana, cara berjalannya seperti apa,” kata wanita yang akrab disapa Unge ini.

Mengenai hal ini, Ifan mengakui tim produksi saat itu banyak mewawancarai Habibie untuk mengetahui lebih lanjut sosok karakter Ainun agar sosoknya mendekati aslinya saat digambarkan di dalam film.

“Memang banyak mewawancarai Pak Habibie, jadinya wawancara sekunder karena Ibu Ainun sudah tidak ada. Hasil wawancaranya yang kami dapatkan beliau itu sosok yang introvert dan tidak mudah percaya sama orang lain. Ketika sudah percaya dengan orang dia benar-benar akan menjaga orang itu. Jadi sebenarnya kalau seberapa akurat kita harus menghadirkan kejadian sejarah ke dalam film, buat saya enggak harus akurat banget. Cuma jangan sampai melenceng dari kejadian sejarah. Fakta sejarah jangan melenceng namun kita harus punya stand point yang kuat saat memaknai peristiwanya untuk dihadirkan di dalam film,” tandasnya.

Share: Serial Vikings Berdasarkan Kisah Nyata, Ini Etika Visualisasikan Sejarah ke Film