Isu Terkini

MK: Alih Status Pegawai KPK Lewat TWK Konstitusional, Tidak Diskriminatif

Admin — Asumsi.co

featured image
mkri.id

Mahkamah Konstitusi memutuskan proses alih status Komisi Pemberantasan Korupsi lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan itu menegaskan bahwa TWK tetap konstitusional.

“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman dalam laman resmi MK, Rabu (31/8).

Putusan itu merupakan jawaban atas gugatan terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) terhadap UUD 1945. Pemohon dalam gugatan itu adalah Muh. Yusuf Sahide, Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia.

Pertimbangan

Pemohon mendalilkan Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK berpotensi merugikan hak konstitusional pemohon. Menurut pemohon, ada potensi kerugian konstitusional yang akan dialaminya akibat adanya alih status pegawai KPK yang dalam prosesnya telah didahului TWK. Proses itu dinilai menyebabkan beberapa pegawai KPK tidak lolos dan kehilangan hak mendapatkan imbalan secara adil.

Terhadap dalil tersebut, hakim menilai pemohon tidak tepat mengutip dan menyandingkan permasalahan a quo yang dikaitkan dengan hak untuk mendapatkan imbalan yang layak sebagaimana diatur dalam Equal Remuneration Convention 1951. Karena konvensi tersebut lebih fokus kepada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam persoalan remunerasi yang mencakup upah atau gaji.

Selain itu, Mahkamah berpendapat pemohon telah keliru menafsirkan konsep negara hukum hanya dalam tatanan praktis desain pelaksanaan peralihan status pegawai KPK menjadi ASN. Menurut hakim, pertimbangan dalam Putusan Perkara 70/PUU-XVII/2019 menyebut ketentuan perundang-undangan dimaksud adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ASN, dalam hal ini adalah UU No. 5/2014 dan peraturan pelaksananya.

Mahkamah juga mencermati terkait adanya kekhususan bagi pegawai KPK dalam desain peralihan pegawai KPK ke ASN sebagaimana diatur dalam PP No. 41/2020. Kekhususan dinilai justru bertujuan untuk memperkuat independensi KPK dengan tanpa menafikan adanya aturan lain terkait ASN, yakni UU No. 5/2014 yang mengikat seluruh korps ASN.

Menurut hakim, seharusnya hal ini juga menjadi pusat perhatian pemohon, bahwa desain yang ada memang mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang merupakan bentuk perwujudan negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan sebagai bentuk adanya jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Selanjutnya, hakim mempertimbangkan dalil pemohon mengenai pemberlakuan TWK telah mengakibatkan terlanggarnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Menurut hakim, hal ini tidak secara langsung berhubungan dengan kesempatan untuk menduduki jabatan publik in casu penyidik dan/atau penyelidik KPK atau hak untuk turut serta dalam pemerintahan melainkan lebih pada konteks due process of law dalam negara hukum yang demokratis.

Artinya, dalil pemohon tersebut baru dapat dipertimbangkan dapat diterima apabila dalam rangka due process of law terdapat norma yang menyebabkan pemohon tidak memperoleh kepastian hukum yang adil dan diperlakukan secara berbeda dengan warga negara Indonesia lainnya yang berstatus sama dengan pemohon in casu sebagian pegawai KPK yang tidak lolos TWK.

Menurut hakim, pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 tidaklah dimaksudkan untuk menjamin seseorang yang telah menduduki jabatan apapun tidak dapat diberhentikan dengan alasan untuk menjamin dan melindungi kepastian hukum.

Kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian hukum yang adil serta adanya perlakuan yang sama dalam arti setiap pegawai yang mengalami alih status mempunyai kesempatan yang sama menjadi ASN dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK bukan hanya berlaku bagi pemohon in casu pegawai KPK yang tidak lolos TWK melainkan juga untuk seluruh pegawai KPK.

Oleh karena itu, menurut Mahkamah, ketentuan a quo tidak mengandung ketentuan yang bersifat diskriminasi. Adanya fakta bahwa ada beberapa pegawai KPK yang tidak lolos TWK bukanlah persoalan konstitusionalitas norma.

“Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata hakim.

Share: MK: Alih Status Pegawai KPK Lewat TWK Konstitusional, Tidak Diskriminatif