Majelis Ulama Indonesia (MUI) tengah mempertimbangkan fatwa untuk praktik pinjaman online alias pinjol. Salah satu fatwa yang dipertimbangkan adalah mengharamkan pinjol.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengakui saat ini memang ada rencana pihaknya untuk membuat fatwa terhadap pinjol yang dianggap kian meresahkan masyarakat.
Banyak masyarakat kena tipu
Anwar Abbas mengatakan soal gagasan fatwa pinjol ini memang menjadi salah satu pembahasan yang diangkat dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) MUI yang digelar Kamis (26/8/21).
Ia mengatakan pembahasan ini selanjutnya bakal dibahas lebih lanjut bersama pihak-pihak yang berkaitan dengan pinjol ini sebelum Komisi Fatwa MUI memutuskan haram atau tidaknya.
“Itu memang diangkat di Mukernas, tapi belum dibahas lebih lanjut. Memang masalah ini diangkat MUI karena melihat banyak masyarakat yang mengaku kena tipu akibat pinjol ini,” ujarnya kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Jumat (27/8/21).
Baca Juga: Tiba-tiba Dikontak Debt Collector Pinjol Padahal Tidak Pinjam Uang, Harus Apa? | Asumsi
Tak hanya itu, menurutnya pinjol juga banyak merugikan masyarakat secara psikologis seperti meneror hingga membuat orang tertekan lalu bunuh diri. MUI, kata dia posisinya siap bila didesak masyarakat agar segera untuk menerbitkan fatwa pinjol
“Oleh sebab itu, bila nanti kami diminta segera membuatkan fatwanya MUI tentu segera menyiapkannya. Kami akan panggil orang-orang yang mengaku kena tipu ini. Kemudian memanggil pihak yang berkompeten dalam hal ini lalu regulatornya juga,” terangnya.
Berkaitan dengan riba
Waketum MUI menambahkan, pada proses pembahasan pertimbangan menerbitkan fatwa pinjol, pihaknya juga akan berdiskusi dengan ahli bidang IT dan pakar ekonomi.
“Setelah itu baru komisi fatwa menggelar rapat besar untuk memutuskannya. Tentu dengan melihat banyak plus dan minusnya, serta berbagai pertimbangan,” katanya.
Adapun hal lainnya yang menjadi dasar MUI terpikir untuk menerbitkan fatwa soal pinjol, lanjut Anwar adalah praktik ini diduga kuat mengandung unsur riba yang di dalam agama Islam dinyatakan haram.
Namun MUI tentu akan mengkaji lebih mendalam soal kemungkinan adanya manfaat dari praktik pinjol ini bagi perekonomian. Apabila lebih banyak negatifnya, Anwar menegaskan pinjol bisa dinyatakan sebagai bentuk transaksi yang tidak patut dilakukan.
“Tentu yang jelas-jelas haram itu kan, riba ya. Nah, kita lihat pinjol ini juga terlihat ada unsur ribanya. Riba itu kan, sudah pasti haram. Tambah juga katanya suka ada teror di dalamnya. Terus juga ada mengaku kena penipuan di dalamnya, bahkan sampai bunuh diri,” tuturnya.
Perlindungan konsumen
Anwar menilai, era digital seperti saat ini memang sangat rentan membuat banyak orang menjadi korban penipuan yang bukan cuma terjadi di praktik pinjol tapi juga di marketplace.
“Kayak istri saya saja belanja pot, di gambarnya potnya warna-warni pas datang cuma warna putih. Kayak begini kan juga bisa dibilang penipuan ya. Nah yang pinjol ini sejauh apa penipuan dan besar kerugiannya buat korbannya?,” ungkapnya.
Anwar Abbas belum dapat memastikan target difatwakannya pinjol. Namun, ia memastikan MUI akan terus mengamati dinamika praktik pinjol ini di tengah masyarakat. “Jadi sejauh mana konsumen terlindungi dari pinjol ini, hal tersebut juga yang menjadi perhatian kami dalam menerbitkan fatwa nantinya,” pungkasnya.
Baca Juga: Terlilit Pinjaman Online Sampai Bunuh Diri, Bagaimana Cirinya Agar Terhindar dari Rentenir? | Asumsi
Sementara itu, Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin AF mengatakan pembahasan fatwa akan dilanjutkan secepatnya sesuai kebutuhan perlindungan konsumen yang mendesak.
“Fatwa ini kan ada dari permintaan masyarakat dan ada juga inisiasinya MUI. Belum ada keputusan fatwa dan nanti akan dibahas lagi,” ucapnya lewat pesan singkat,” ujarnya.
Penindakan
Menkominfo Johnny G. Plate menyatakan telah melakukan pemutusan akses terhadap penyelenggara jasa pinjam online yang melanggar peraturan perundang-undangan. Proses pemutusan akses itu tentunya dilakukan dengan koordinasi dan kolaborasi dengan lembaga terkait lainnya, termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Terhitung sejak tahun 2018 sampai 17 Agustus 2021 dua hari yang lalu, telah dilakukan pemutusan akses 3.856 platform fintech tanpa izin, termasuk penyelenggara peer-to-peer lending fintech tanpa izin sesuai hasil koordinasi bersama OJK,” ujar Johnny dalam keterangan resmi.