Isu Terkini

Penangkapan Dokter Richard Lee dan Masalah Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE

Ricardo — Asumsi.co

featured image
Unsplash

Pakar kulit dan kecantikan Richard Lee ditangkap paksa pihak kepolisian dari kediamannya di Palembang, Rabu (11/8). Richard dibawa melalui jalur darat oleh sejumlah polisi dari Palembang ke gedung Polda Metro Jaya di Jakarta.

Penangkapan itu pun menuai polemik dari para pihak yang sejak awal mengenal sosok Richard.

Publik awalnya menduga Richard ditangkap terkait kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan artis Kartika Putri. Namun, polisi mengatakan Richard ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka karena mengakses media sosial yang telah disita oleh pengadilan sebagai barang bukti penyelidikan.

Richard tidak ditahan. Dia dilepaskan setelah beberapa jam berada di Polda Metro Jaya. Sebelum itu terjadi, petisi untuk membebaskan Richard juga muncul.

Richard memang bukan ditangkap karena kasus pencemaran nama baik yang diadukan Kartika Putri. Tapi, kasus baru yang menjerat Richard pangkalnya adalah kasus pencemaran nama baik yang ada di dalam UU ITE.

Pasal pencemaran nama baik UU ITE bermasalah

Laporan berjudul ‘Catatan dan Desakan Masyarakat Sipil atas Revisi UU ITE‘ yang dibuat oleh koalisi masyarakat sipil menyebut ada beberapa pasal dalam UU ITE yang bermasalah, salah satunya pasal 27 ayat 3 jo pasal 45 ayat 3 UU ITE terkait penghinaan dan pencemaran nama baik.

Pasal 27 ayat 3 berbunyi ‘Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’.

Pasal 45 ayat 3 ‘Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)’.

Kolisi menilai pasal itu semakin populer karena kerap digunakan sebagai pasal dasar pelaporan kasus. Pasal ini menjadi instrumen balas dendam bagi kelompok yang lebih berdaya atau memiliki kuasa lebih.

“Tidak hanya pada konten-konten yang disebarkan oleh individu, pasal itu juga digunakan untuk menyerang produk-produk jurnalisme,” kutip laporan itu.

Koalisi juga menyebut penggunaan pasal ini jelas tidak memberikan kepastian hukum karena diterapkan secara beragam, mulai dari proses penyidikan, dakwaan, prosedur penahanan, prosedur pencabutan laporan, dan mediasi, termasuk dalam menafsirkan pasal itu sendiri.

Koalisi menjelaskan pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 UU ITE merupakan duplikasi pasal 310, 311, 315, 317, 318, 319 KUHP. Namun, ketentuan pasal itu menghilangkan gradasi dari penghinaan (slander, libel, laster, dll).

Dalam KUHP, istilah ‘penghinaan’ merupakan judul bab tersendiri di mana bentuk tindakannya terdiri dari enam bentuk tindak pidana, yaitu penistaan, penistaan dengan surat, fiitnah, penghinaan ringan, pengaduan palsu atau pengaduan fitnah, dan perbuatan fitnah. Sedangkan dalam UU ITE tidak dikenal adanya kategorisasi delik penghinaan.

“Tidak dikenalnya kategorisasi delik penghinaan sebagaimana yang dikenal di dalam KUHP menghilangkan konteks dari pengaturan Pasal 27 ayat (3). Hal ini berdampak pada sangat luasnya spektrum tindakan atau ekspresi yang dapat dijerat dengan ketentuan pasal ini,” kata koalisi.

Koalisi mengingatkan pasal ini sebenarnya pernah diuji di MK. Berdasarkan putusan MK No. 50/PUU-VI/2008, MK menilai harus ada kejelasan rumusan ‘penghinaan’ merujuk pada KUHP. MK kemudian menafsirkan bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) harus merujuk ketentuan pasal 310 dan 311 KUHP. Putusan ini kemudian mendasari revisi UU ITE 2016 yang memberikan penjelasan bahwa pasal 27 ayat (3) UU ITE merujuk pada pidana pencemaran nama baik dan fitnah dalam KUHP.

“Masalahnya rujukan tersebut tidak dibarengi dengan merevisi rumusan secara keseluruhan yang kemudian mengakibatkan kebingungan dalam implementasinya,” kata koalisi.

Koalisi menegaskan pasal pencemaran nama baik seharusnya dirumuskan dengan sangat jelas merujuk ke Pasal 19(3) Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik dan diberikan kesempatan pembelaan kebenaran/verifikasi (GC 34). Komentar umum PBB No. 34 diketahui merekomendasikan penghapusan pidana defamasi. Jika tidak memungkinkan, pidana defamasi hanya diperbolehkan untuk kasus paling serius dengan ancaman bukan pidana penjara.

“Hilangnya gradasi menyebabkan penafsiran yang luas. Selain itu, dengan adanya pasal tersebut, justru berpotensi menjerat ekspresi sah yang dikeluarkan atas kepentingan umum karena tidak mengenal pengecualian serta membatasi hak untuk berekspresi dan berpendapat,” kata koalisi.

Revisi

Peneliti Institute of Criminal Justice Reform, Erasmus Abraham Todo Napitupulu mengatakan Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian RI telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu dalam UU ITE, khususnya pasal pencemaran nama baik.

Dari SKB itu, ICJR melihat ada beberapa ketentuan yang dapat berpeluang membantu perbaikan masalah implementasi UU ITE di lapangan. Namun masih terdapat catatan yang menjadi dasar kuat revisi UU ITE harus disegerakan.

Khusus pasal Pasal 27 Ayat (3) tentang pencemaran nama baik, Erasmus menilai pedoman pasal dalam SKB merupakan yang paling baik dalam upaya meluruskan masalah implementasi UU ITE. SKB memberikan penegasan bahwa Pasal 27 Ayat (3) merujuk ke Pasal 310 dan 311 KUHP sebagai delik pokoknya, sehingga hanya bisa digunakan lewat aduan korban / seseorang yang diserang kehormatan, dan korban di sini hanya dimengerti sebagai orang perseorangan (naturlijkpersoon) dan bukan badan hukum (rechtpersoon).

Pedoman itu juga memberikan gradasi dari perbuatan ‘menyerang kehormatan’, dan memberikan pengecualian bagi delik penghinaan ringan untuk tidak bisa digunakan dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.

Namun, Erasmus mengingatkan SKB itu hanya  sebagai pedoman implementasi dalam masa transisi pengesahan revisi kedua UU ITE, seperti yang dijanjikan Pemerintah.

“Pedoman semacam ini tidak boleh menjadi kebiasaan dalam menjawab permasalahan norma dalam sebuah Undang-Undang. Lebih jauh, keberadaan Pedoman ini harus menjadi isyarat pentingnya Revisi UU ITE untuk segera dibahas oleh Pemerintah dan DPR. Sebab tanpa revisi UU ITE, maka tidak ada jaminan pasti selesainya berbagai permasalahan yang tidak dapat disentuh oleh pedoman UU ITE,” kata Erasmus kepada Asumsi.co.

Share: Penangkapan Dokter Richard Lee dan Masalah Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE