Video Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memberi ucapan selamat kepada pengikut agama Baha’i belakangan ini menuai kontroversi. Perayaan Hari Raya Naw-Ruz 178 EB terjadi pada 21 Maret 2021, dan video itu telah diunggah di YouTube Baha’i Indonesia pada 26 Maret 2021. Banyak kalangan mempersoalkan ucapan itu karena Baha’i dinilai bukan “agama resmi” yang diakui negara. Ada juga yang mempermasalahkan, jika Menag mengucapkan selamat untuk Baha’I, maka ucapan serupa juga perlu diberikan untuk semua aliran kepercayaan di Indonesia.
Pertanyaan tentang “apa itu agama” melahirkan banyak jawaban dari agamawan dan ilmuwan sosial. Agama merupakan sesuatu yang bersifat personal, partikular, dan sulit didefinisikan. Perasaan keberagamaan berada dalam wilayah yang sangat subjektif dan tidak mudah untuk diteoritisasikan atau digeneralisasikan dalam suatu teori yang bersifat umum. Para ahli agama pada akhirnya hanya sampai pada kesepakatan bahwa agama memuat suatu sistem keyakinan, perilaku-perilaku, dan cara-cara tertentu yang diasosiasikan kepada kekuatan supernatural. Daniel L.Pals dalam Seven Theories of Religion, misalnya, mencoba merangkum beberapa teori utama tentang agama.
Ada yang memandang agama sebagai sesuatu yang terkait dengan dewa-dewi dan roh nenek moyang. Ada yang memandang agama sebagai sesuatu kepercayaan kepada yang spiritual. Ada yang memandang agama sebagai kepercayaan kepada yang sakral. Ada juga yang mendefinisikan agama sebagai suatu kepercayaan kepada Tuhan. Sebagaimana halnya berbeda dalam mendefinisikan, para ilmuwan sosial juga sangat beragam dalam menunjukkan teori tentang asal-usul sebuah agama.
Michel Picard, dalam “Introduction: ‘agama’, ‘adat’, and Pancasila,” untuk buku The Politics of Religion in Indonesia (2011) menyatakan bahwa kata “religion” yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “agama” mengalami perkembangan dan perluasan makna. Peralihan pemaknaan semantik religi, dari yang mulanya merujuk pada ritual-ritual pagan, kepada suatu kepatuhan pada teks kitab suci, menandai sebuah proses dari orthopraxy (penghormatan kepada ritual leluhur) ke orthodoxy (kepatuhan pada doktrin normatif).
Menurut Michel Picard, konsepsi Kristen pasca-Renaissance tentang agama di kemudian hari menjadi konstruksi ilmiah dan dikenal sebagai ilmu tentang agama dunia. Akibatnya, fakta bahwa kategori agama terlalu dijiwai dengan konsep dan nilai teologis Kristen dan nilai modernitas Barat, menjadi tidak relevan ketika diterapkan untuk lintas budaya. Agama dalam pandangan emik pemeluk agama itu sendiri seperti diwakili dalam istilah seperti: din, mana, tao, dharma, bhakti atau agama, menjadi tidak terwakili. Di kemudian hari, antara agama dan tradisi menjadi berbeda dan dibedakan dalam kategori-kategori yang disebut ilmiah.
Perjumpaan kolonial dengan berbagai tradisi di seluruh dunia memunculkan perluasan kategori agama dari makna yang sangat spesifik yang terletak di dalam kebenaran yang diwahyukan Kristen ke konsep universal. Selama berabad-abad, Eropa memiliki aturan konvensional untuk mengkategorikan orang-orang di dunia, dengan menempatkan diri mereka sebagai bangsa yang lebih superior, berperadaban, maju, modern. Agama menjadi alat untuk melakukan kategorisasi atau klasifikasi penduduk di tanah jajahan.
Asumsi umum para sarjana Barat adalah bahwa agama-agama dunia ini harus memiliki kesamaan esensial dengan Kekristenan dalam standar tertentu, bahwa agama diharapkan memiliki struktur formal doktrin tetap, bertumpu pada otoritas kanonik, ditegakkan oleh hierarki imam, dan dipertahankan dengan upacara ibadah berjemaah. Dalam pengertian itu, agama-agama dunia dianggap sebagai agama yang maju, sebagai lawan dari agama-agama yang lebih lokal, dianggap sebagai primitif atau animis.
Dalam kasus Indonesia, Sita Hidayah memberi gambaran cukup menarik melalui artikel “The Politics of Religion the Invention of ‘Agama’ in Indonesia” (2012) di Jurnal Kawistara. Masyarakat muslim Indonesia yang mayoritas, tidak mengasosiasikan makna agama dengan pengertian “din” yang disebut dalam Al-Qur’an. Kata “din” mengacu pada: (1) adat atau adat istiadat, (2) aturan, (3) hukum, (4) keesaan Tuhan, (5) ketaatan, (6) penebusan, (7) penghakiman, (8) Armagedon (hari akhir), (9) nasehat, dan (10) agama (‘Ulumul Qur’an, 1992: 48-50). Alih-alih menggunakan pengertian itu, Indonesia justru memilih menetapkan makna agama dari bahasa Sansekerta.
Sita Hidayah menelisik pemaknaan “agama” dalam diskursus politik yang tidak bebas nilai. Agama bukan semata suatu konsep, tetapi sebagai suatu gagasan dan pengetahuan. Pemaknaan agama terkait dengan perebutan wacana dan relasi kekuasaan yang mengitarinya. Apa yang dianggap “benar” tentang “agama” diproduksi dan ditopang oleh aparatur negara atau rezim kebenaran yang berkuasa, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Kementerian Agama yang menjadi perwakilan negara. Dalam hal ini, aparatur negara bermain dengan aturan eksklusi di mana ia menarik batas apa yang dapat diterima dan apa yang tidak.
Di awal kemerdekaan, kaum nasionalis dan kaum islamis bersatu mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Tak lama, para pembuat konstitusi harus segera menghadapi masalah tentang “agama” yang diwakili dengan pertanyaan krusial dalam sidang BPUPKI, “Apa dasar negara?” Hal ini menimbulkan perselisihan di kalangan nasionalis-sekuler dengan kalangan islamis, apakah negara Indonesia harus berdasarkan Islam atau tidak dan bagaimana negara harus mengatur kehidupan beragama, apakah struktur negara ini berdasar kesatuan atau federal, dan apakah Indonesia menjadi republik atau monarki.
Pada tahap awal, Pancasila telah berupaya mendefinisikan agama sebagai “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sehingga untuk dilegitimasi sebagai agama resmi, agama tertentu harus memiliki nabi dan kitab suci, dan juga diakui secara internasional. Pada 1961, Menteri Agama mengusulkan batas agama yang menunjukkan validitas yang sama seperti yang ditunjukkan dalam proposisi sebelumnya. Agama yang disahkan oleh negara Indonesia mencakup persyaratan: (1) menjadi pedoman hidup yang mencakup peraturan-peraturan konkret, (2) ajaran tentang keesaan Tuhan; (3) termasuk kitab suci, yang mengkodifikasikan pesan yang diturunkan kepada para nabi melalui roh suci; dan (4) dipimpin oleh seorang nabi.
Pada 1978, pemerintah secara tegas menyatakan bahwa agama-agama yang diakui di Indonesia adalah Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha. Tahun 2000, ditambah dengan Kong Hu Chu. Meskipun mengakui beberapa agama resmi ini, dalam praktiknya, ada kesan tertentu bahwa ketika menyebut agama, maka yang menjadi representasi adalah agama Islam. Bahkan sejak era kolonial Belanda, ketika ada kebijakan tentang agama, maka yang dimaksud adalah kebijakan tentang agama Islam. Hal ini menimbulkan ketidaksetaraan di antara warga negara.
Di masa Orde Baru, pemerintah menetapkan wacana triadik “agama”, “adat” dan “kepercayaan”. Pembedaan antara “agama” dan “kepercayaan” dirumuskan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 9 Tahun 1952/ Pasal VI. Tahun 1953, pemerintah mengakui 72 aliran kepercayaan, yang menurut Menteri Agama KH Masjkur, “pada dasarnya tidak memenuhi syarat agama”. Dalam konteks ini, agama kembali menjadi alat klasifikasi, menetapkan batas-batas kewarganegaraan, bahwa hanya mereka yang mengaku sebagai pemeluk salah satu agama resmi yang dianggap sebagai warga negara. Mereka berhak mendapat akses untuk pelayanan sebagai warga negara secara patut, termasuk dalam pencatatan perkawinan, akta kelahiran, kartu identitas, pendidikan agama di sekolah umum, sensor, dan sebagainya.
Diskursus tentang agama juga diproduksi oleh negara sebagai alat kontrol politik. Pemerintah menciptakan hegemoni wacana agama tertentu untuk tujuan tertentu. Agama juga menjadi ukuran untuk kebijakan diskriminasi serta membedakan antara mayoritas dengan minoritas: non-nasionalis Cina, separatis, komunis, fundamentalis, radikalis. Dalam konteks hari ini, agama menjadi alat untuk mengolongkan antara kelompok Pancasilais atau tidak.
Muhammad Ridha Basri, mahasiswa doktor Studi Islam UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.