Isu Terkini

Ruang Digital Masih Mengancam Korban Kekerasan Perempuan

Tesalonica — Asumsi.co

featured image
ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

Kasus kekerasan terhadap perempuan kian hari terus bertambah. Komisi Nasional Perempuan mencatat terdapat 299.911 korban kekerasan dalam setahun terakhir.

Maraknya kasus tersebut menyita perhatian publik. Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang jatuh hari ini pada 25 November 2021 menjadi aksi kampanye upaya mencegah dan menghapus seluruh bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Kampanye ini mengusung tema “#Gerak Bersama dan Suarakan: Sahkan RUU mengenai Kekerasan Seksual yang Berpihak Pada Korban”, mengingat hingga saat ini RUU PKS belum kunjung disahkan.

Sejarah Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Kampanye ini awalnya digagas oleh Women’s Global Leadership Institute pada 1991, yang menjadi pihak sponsor dari kegiatan ini. Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan jatuh pada tanggal 25 November karena sebagai simbolis menghormati tiga aktivis politik dari Republika Dominika yang dibunuh secara brutal pada 1960 atas perintah penguasa negara Rafael Trujillo (1930-1961).

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menciptakan Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dalam resolusi 48/104, pada 20 Desember 1903. Sehingga, deklarasi PBB ini membuka jalan bagi para korban kekerasan terhadap perempuan.

Lebih lanjut, PBB kembali menciptakan resolusi 54/134 pada 7 Februari 2020, serta menetapkan secara resmi 25 November sebagai Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP). Hari peringatan ini juga berlangsung setiap tahun mulai 25 November hingga 10 Desember atau selama 16 hari. Sehingga, muncul agenda kampanye 16 hari yang diawali dengan HAKTP dan diakhiri Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.

Isu kekerasan terhadap perempuan dan HAM menjadi alasan terpilihnya tanggal tersebut. Terutama, kekerasan pada perempuan merupakan salah satu pelanggaran HAM.

Komnas Perempuan mulai berkontribusi dalam kampanye 16 hari sejak 2001. Dalam kampanye 16 HAKTP Komnas Perempuan menjadi inisiator dan fasilitator pelaksanaan kampanye di setiap titik wilayah yang menjadi mitra Komnas Perempuan.

Kampanye 16 HAKTP

Kampanye 16 HAKTP dilakukan guna penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan butuh kerja sama dan sinergi dari berbagai pihak secara serentak. Baik aktivis HAM Perempuan, Pemerintah, maupun masyarakat umum perlu berkontribusi di dalamnya.

Menurut Komnas Perempuan, dalam rentang 16 hari mereka punya waktu dalam membangun strategi pengorganisiran agenda bersama. Komnas Perempuan juga sudah menyiapkan strategi dalam kampanye tersebut.

Terutama, kampanye dilakukan di berbagai daerah. Temuan tim kampanye di setiap daerah mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan situasi politik setempat.

Ancaman dari Ruang Digital

Ruang digital menjadi salah satu fokus utama bagi aktivis anti kekerasan terhadap perempuan. Dikutip dari VOA Indonesia, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyayangkan risiko kekerasan berbasis gender siber kian meningkat dan menyerang perempuan serta anak yang minim akses dalam literasi digital sebagai perlindungan.

Komisi Nasional Perempuan melalui data pengaduan langsung di tahun 2020 dan data dari Lembaga Layanan mencatat kasus tersebut meningkat dari 126 kasus di 2019 menjadi 510 kasus di tahun 2020. Peningkatan kasus ini dilihat sebagai pola atau cara baru yang membuat perempuan rentan mengalami kekerasan seksual. Meskipun, dilakukan secara langsung, namun dapat diperburuk dengan bantuan teknologi informasi komunikasi (TIK).

Ancaman ini meningkat ketika kondisi pandemi COVID-19 yang membatasi pertemuan di dunia nyata atau secara langsung, sehingga intensitas penggunaan platform digital juga meningkat.

Dilihat dari provinsi, DKI Jakarta menempati posisi terbanyak yang mengalami kasus kekerasan perempuan. Tercatat ada 313 kasus, dilanjutkan Jawa Timur 41 kasus, Jawa Tengah 33 kasus, dan Sumatera Selatan 28 kasus.

Jenis kekerasan yang lebih sering dialami korban, yakni penyebaran konten perusak (malicious distribution), pendekatan korban untuk bangun kepercayaan (online grooming),  penyebaran konten intim tanpa persetujuan (non-consensual dissemination of intimate photos or videos), dan pelecehan siber (cyber harassment).

Lebih Dari Sekali

Komnas Perempuan mencatat korban mengalami kekerasan dalam ruang digital lebih dari satu kali, yakni mencapai 81,8 persen setara 1.080 kasus. Dilanjutkan, 10,1 persen atau 134 kasus yang mengalami satu kali kekerasan, dan 8,1 persen atau 107 kasus yang tidak teridentifikasi latar belakang kasusnya.

Bentuk kekerasan yang kerap dilaporkan memang beragam. Seringkali, pelaku berasal dari kerabat dekat korban seperti pacar, mantan pacar, dan suami. Namun, maraknya akses di dunia maya memungkinkan ada oknum-oknum jahat yang menjadi pelaku kekerasan seperti teman.

Pelaku juga tidak hanya yang memiliki relasi dengan korban. Misalnya, serangan dilakukan oleh akun-akun anonim. Terutama, saat ini media perantara dari situs media sosial, kencan, teknologi komunikasi, hiburan, dan akun personal.

Belum Terakomodir oleh Pemerintah

Dari kasus ini, mayoritas korban membutuhkan konsultasi digital security. Korban ingin menjalankan konsultasi melalui hukum, petunjuk dari ahli, bantuan psikologis, dan perlindungan.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menyayangkan upaya ini masih belum diakomodir dengan maksimal oleh pemerintah. Berdasarkan kampanye 16 HAKTP, Siti menyarankan DPR untuk segera merumuskan kekerasan seksual siber sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri, dimasukkan sebagai unsur tindak pidana, dan sebagai pemberatan.

“Sementara untuk korban, kami ingin mereka memiliki hak untuk memperoleh aturan penghapusan jejak digital terkait konten atau pemberitaan kekerasan seksual siber yang dialaminya,” kata Siti kepada Asumsi.co, Kamis (25/11/2021).

Upaya tersebut dapat dilakukan, namun masih ada keterbatasan dari pemerintah dan masyarakat. Sistem pembuktian kekerasan siber masih membutuhkan digital forensic dan menyulitkan korban untuk mengumpulkan bukti-bukti tersebut.

Lebih lanjut, Siti berpendapat pemahaman penyidik di cyber crime terhadap isu kekerasan siber masih terbatas. Saat ini unit cyber crime masih berada di tingkat Polda dan membuat sumber daya manusia (SDM) serta peralatan masih terbatas di sana.

Selain itu, keengganan dan rasa malu korban jika melaporkan kasus yang menimpanya kepada polisi laki-laki juga menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya mereka kerap memperoleh pertanyaan yang justru menyudutkan dan tidak berspektif pada korban.

Siti berharap masyarakat dapat mendukung ruang siber sebagai ruang yang aman untuk berpartisipasi mempromosikan keamanan digital secara terus menerus. Terutama, masyarakat perlu berpartisipasi dalam menghapus kekerasan siber berbasis gender terhadap perempuan dengan cara tidak melakukan kekerasan siber, tidak membagikan konten intim, dan mendukung korban kekerasan.


Baca Juga:


Share: Ruang Digital Masih Mengancam Korban Kekerasan Perempuan