Kesehatan

Pahami Stunting dan Berbagai Cara Pencegahannya

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
ilustrasi/ANTARA/HO

Stunting alias gagal tumbuh pada anak masih menjadi masalah serius di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI tahun 2018, diketahui satu dari tiga batita maupun balita di Indonesia menderita stunting.

Hal ini tentu mengkhawatirkan. Sayangnya, pemahaman masyarakat terhadap bahaya dari stunting tidak kalah mengkhawatirkannya. Sumber yang sama menyebutkan hanya 12.2 persen yang memiliki pemahaman yang baik, 40,6 persen memiliki pemahaman cukup, dan 47,2 persen kurang paham soal stunting.

Bukan Penyakit

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menekankan pentingya sosialisasi tentang pemahaman kondisi ideal menikah dan melahirkan demi mencegah risiko bayi terlahir stunting. Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo mengatakan secara sederhana stunting merupakan kondisi gagal tumbuh yang optimal pada anak, sehingga menyebabkan kondisi fisiknya pendek.

Ia mengatakan, stunting juga menyebabkan gejala kemampuan intelektual anak menjadi rendah karena gagal tumbuh dengan baik. Tanda yang bisa terlihat pada anak yang terkena stunting adalah mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual yang tidak maksimal.

“Kemudian orang-orang yang terkena stunting ini, di hari tuanya mudah kena penyakit. Misalnya cardiovascular disease atau gangguan metabolisme, seperti tekanan darah tinggi, stroke, serangan jantung, dan kencing manis,” kata Hasto dalam Asumsi Bersuara.

Oleh sebab itu, ia menekankan bahwa orang yang mengalami stunting akan terus menunjukkan gejala berupa kondisi fisik yang tidak produktif dari segi pertumbuhannya.

“Perlu diingat, stunting pasti tubuhnya jadi pendek, tapi pendek belum tentu stunting,” ucapnya.

Hasto Wardoyo menyebutkan stunting bukanlah penyakit, melainkan kondisi gagal tumbuh pada anak dan balita akibat kekurangan gizi, terutama pada periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).

Pencegahan

Karena bukan penyakit, stunting hanya bisa dicegah dan dikoreksi proses pertumbuhannya. Bukan disembuhkan sebagaimana penyakit medis seperti infeksi atau tuberculosis (TBC).

“Bisa dicegah dan dikoreksi menjadi tidak stunting hanya dalam 1.000 hari kehidupan pertama. 1.000 hari itu dihitung sejak terjadinya pertemuan antara sel telur dan sperma. Bukan sejak lahir. Hamilkan 280 hari dan 1.000 hari pertama dikurang 280 hari, berarti tinggal sisanya 720 hari untuk mengoreksi,” tuturnya.

Ia menerangkan umumnya stunting disebabkan oleh kondisi yang tidak optimal dalam kesehatan anak dan kondisi yang tidak optimal dari segi asupan makanan, serta gizi yang tak seimbang.  Pola asuh orang tua, kata dia juga bisa menentukan kemungkinan sang anak mengalami stunting atau tidak. 

Saat anak diasuh dengan pola yang tidak tepat, seperti tak mendapatkan perlindungan yang baik dan memicu depresi sangat memungkinkan tumbuh kembang anak menjadi tidak optimal.

“Kalau depresi otomatis makannya juga bisa tidak bagus. Ingat, anak-anak itu kalau mau makannya banyak harus digembirakan. Hal seperti inilah yang perlu diperhatikan untuk mengatasi stunting,” imbuhnya.

Faktor Jauh

Hasto menegaskan anak bisa menjadi stunting sangat dipengaruhi oleh faktor orangtua dan lingkungannya. Sejak anak berada di kandungan, penting bagi sang ibu untuk senantiasa menjaga kehamilannya.

“Hamil dalam keadaan anemia kurang darah dan kurang vitamin, akhirnya anaknya jadi stunting dan yang salah orangtuanya. Jadi bayi-bayi yang lahir stunting ini bolehlah orangtua atau lingkungannya juga merasa bersalah,” tuturnya.

Sebagai bagian dari pemerintah, ia juga mengakui pemerintah berkontribusi menyebabkan terjadinya kasus stunting di Indonesia. Misalnya kurangnya persediaan air bersih di daerah-daerah yang memicu kurangnya nutrisi bagi anak.

Selain itu, ketersediaan sanitasi seperti banyak yang buang air di sungai juga memicu banyaknya penyakit yang menyebabkan tumbuh kembang anak menjadi tidak optimal.

“Akhirnya anak itu mudah diare, mudah sakit karena lingkungan yang tidak sehat. Stunting itu ada faktor jauh misalnya kemiskinan, pendidikan, lingkungan, sanitasi ketersediaan air. Faktor jauh penting karena pengaruhnya bisa 70 persen,” jelasnya.

Hasto menyampaikan pentingnya setiap pasangan yang akan menikah dan ingin memiliki anak untuk memastikan kondisi tubuh mereka baik untuk bereproduksi.

Program Prakonsepsi

Salah satu program yang digagas BKKBN menggagas untuk mencegah potensi anak mengalami stunting adalah prakonsepsi. Program ini menyerukan pentingnya tiga bulan sebelum perempuan dan laki-laki menikah untuk memeriksakan terlebih dahulu kondisi fisik dan kesehatan seksual mereka.

“Jangan hanya konseling tapi diperiksa antropometrinya. Tinggi badan, berat badan, dan lingkar lengan atas, plus hemoglobin untuk mengetahui anemia atau tidak,” imbuhnya.

Bila nanti diketahui mengalami nutrisi rendah atau anemia, maka dalam waktu tiga bulan ini cukup seorang perempuan untuk mengoreksi kondisi kesehatannya sebelum menikah dan mempunyai anak.

“Seperti minum tablet penambah darah, asam folat, selama tiga bulan itu untuk memberikan efek. Sehingga saat nanti bulan madu kalau menghasilkan kehamilan maka kehamilannya aman,” ungkapnya.

Sementara itu, bagi laki-laki perlu mempersiapkan sperma yang dikeluarkan sebelum 75 hari dalam keadaan sehat. Langkah yang dilakukan bisa dengan cara mengonsumsi vitamin C dan meminum tablet yang mengandung zat besi.

“Ini yang menjadi konsep dari prakonsepsi. Prakonsepsi itu murah. Rp50 ribu itu cukup lah, menurut saya. Sementara kalau prawedding Rp50 juta dananya,” ucapnya.

Risiko Pernikahan Dini dan Rokok

BKKBN juga menyoroti banyaknya pernikahan dini yang terjadi di masa pandemi COVID-19. Hasto mengatakan pernikahan dini di bawah usia 20 tahun sangat menambah risiko memiliki anak stunting.

“Kami menetapkan hamil sehat itu usia 20 tahun sampai 35 tahun. Makanya kami selalu kampanye, kalau seandainya anda tidak ingin stunting anaknya jangan terlalu muda hamil kurang dari 20 tahun dan terlalu tua masih ingin hamil, di atas 35 tahun,” jelas dia.

Ia menambahkan, hamil di usia yang terlalu muda juga berisiko pada saat melahirkan karena panggul perempuan yang usianya masih di kisaran usia 15 sampai 17 tahun sangat rentan untuk melahirkan.

Terkadang diameter panggul perempuan remaja belum mencapai 10 cm dan masih berkembang tulang panggulnya. Hal ini tentu rentan untuk mengandung dan melahirkan bayi.

“Bayi itu pelipis kanan dan pelipis kiri diameternya 9,8 cm atau 9,9 cm. Jadi kalau dipaksakan hamil umur 16 atau 17 tahun dan waktu melahirkan maka kepala bayi bisa terjepit, bayinya bisa tidak selamat, dan bisa menimbulkan pendarahan,” terangnya.

Bahkan, perempuan yang melahirkan di usia dini saat menopause nantinya bakal mudah patah tulang dan bungkuk.

“Jadi hamil pada usia pertumbuhan remaja, kemungkinan anaknya stunting lebih tinggi. Kemungkinan pada kehamilannya menghadapi masalah juga semakin tinggi,” ujarnya.

Dirinya juga mengingatkan bahaya rokok yang juga bisa menyebabkan bayi lahir dalam keadaan stunting. Perkembangan janin yang terpapar rokok, baik secara aktif atau pasif menurutnya secara signifikan bisa memperlambat pertumbuhan janin.

“Saya kira secara biological process banyak bukti rokok mempengaruhi pertumbuhan janin. Tinggal percaya atau tidak karena validitasnya tinggi,” katanya.

Target 14 Persen

Hasto mengatakan BKKBN menerima tugas dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2021 yang ditandatangani tanggal 5 Agustus, sebagai ketua pelaksana Tim Percepatan Penanganan Stunting.

“Ketua pengarahnya adalah Bapak Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan beberapa menteri. Percepatan penanganan stunting itu perlu kita implementasikan sampai ke tingkat desa,” kata dia.

BKKBN pun didorong untuk menurunkan angka stunting sebesar 14 persen, serta dianggap perlu membuat sistem informasi yang masif serta kanal-kanal yang banyak dan bercerita soal masalah stunting di tanah air, serta kesehatan reproduksi.

“Ini harus dibangun kanal-kanal informasi terkait edukasi seksual yang sifatnya komprehensif. Masalah stunting juga karena ketidakpahaman, bukan hanya masalah nutrisi tapi juga reproduksi dan lingkungan sekitar akhirnya juga penting,” terangnya.

BKKBN tak bekerja sendiri menghadapi masalah stunting. Hasto mengatakan pihaknya bekerja sama serta berkolaborasi dengan lintas kementerian seperti melibatkan Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, hingga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

“Kementerian/lembaga mendukung perpres ini. Kementerian PUPR misalnya untuk rumah-rumah daerah mana saja yang tidak layak huni dan penyediaan air bersih, mengikuti peta stunting kami juga,” terangnya.

Melalui kerja sama ini, BKKBN dan jajaran kementerian melakukan konvergensi data, dengan memadukan berbagai kekuatan melalui regulasi yang dilakukan secara persuasif.

“Saya optimistis agar angka 14 persen menjadi tujuan bersama,” ucap Hasto.

Saluran Informasi

Sejumlah saluran akses informasi kini telah disediakan BKKBN untuk masyarakat yang ingin mengetahui segala sesuatu tentang bahaya stunting dan cara mencegahnya.

“Kami punya Genre atau Generasi Berencana. Nah, ini juga menjadi tempat berbagi kepada para remaja karena usia ini bisa menjadi usia subur baru. Mereka ini biasanya lebih percaya kepada teman sebaya,” katanya.

Selain itu, ada pula pusat informasi kesehatan remaja di yang didirikan di banyak sekolah sebagai pusat konseling kesehatan reproduksi remaja. BKKBN juga menyediakan layanan Klik Keluarga Berencana (KB).

“Kami juga diskusi-diskusi soal kesehatan reproduksi. Jadi, kami coba dengan berbagai jurus dengan berbagai cara. Mudah-mudahan, massive information system ini menjadi kekuatan,” tandasnya.


Baca Juga:

Share: Pahami Stunting dan Berbagai Cara Pencegahannya