Kekerasan seksual di lingkungan kampus masih terus terjadi hingga saat ini. Berbagai kasus yang dilaporkan juga tidak berujung pada keadilan bagi korban.
Baru-baru ini misalnya, mahasiswi Universitas Riau mengaku mengalami pelecehan seksual oleh dosen pembimbingnya. Pelecehan seksual terjadi saat korban dan pelaku tengah menjalankan bimbingan skripsi di area kampus.
Ceritanya ketika hendak pamit pulang, pelaku dengan spontan menarik bahu, memegang kepala, dan mencium pipi kiri dan kening korban. Korban akhirnya mendorong pelaku dan berlari keluar kampus dengan perasaan takut.
“Dia juga mendongakkan kepala dan berkata ‘Mana bibir? Mana bibir?’ Membuat saya terasa terhina, terkejut, dan ketakutan,” ujar korban melalui video pengakuan yang kini viral di media sosial.
Korban berlari keluar kampus dengan rasa takut dan trauma. Ia telah melaporkan kejadian tersebut ke salah satu dosen lain dan menemui Kepala Jurusan untuk menindaklanjuti kejadian yang dialaminya. Korban berharap dosen pembimbing proposal skripsinya dapat diganti, tetapi pihak kampus mengancam korban untuk tidak memperpanjang masalah ke ranah hukum.
Apa yang dialami mahasiswi Unri membuat Peraturan Mendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi seolah tidak bermanfaat. Faktanya, kampus tidak menunjukkan sikap membela korban.
Masalah Klasik
Persoalan nama baik menjadi masalah klasik yang membuat kampus rela mengorbankan kondisi mental penyintas. Tak heran, kondisi itu membuat keberadaan sistem keadilan dan kesejahteraan mahasiswa menjadi permasalahan serius saat ini.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menanggapi sikap otoritas kampus yang kurang responsif dan tidak memberikan keadilan kepada korban. Menurutnya, hal ini berdampak pada terhambatnya pendidikan sang korban.
“Tidak sedikit korban yang terhambat pendidikannya baik karena dia dikeluarkan dari sekolah atau kampus. Bisa berkaitan langsung dengan kekerasan seksualnya, atau karena mengalami trauma,” jelas Siti saat diwawancarai oleh Asumsi.co pada Kamis (28/10/2021).
Aktivis perempuan dan anak, Kalis Mardiasih juga sempat berdiskusi dengan dosen-dosen perempuan di salah satu perguruan tinggi Jawa Barat terkait kasus serupa di sana. Mirisnya, hasil laporan tidak ditindaklanjuti oleh otoritas kampus.
“Pelaku tidak diproses sampai saat ini karena pelaku adalah salah satu pemegang kuasa di kampus itu,” tutur Kalis saat diwawancarai oleh Asumsi.co pada Kamis (28/10/2021).
Relasi Kuasa
Komnas Perempuan mencatat pada 2015 hingga 2020 terdapat 51 kasus kekerasan di lingkup pendidikan. Universitas menempati urutan pertama dalam kasus kekerasan, yakni 27 persen. Bentuk kekerasan tertinggi, yakni kekerasan seksual sebanyak 88 persen atau 45 kasus.
Kategori kasus kekerasan seksual yang dialami di kalangan kampus meliputi pelecehan seksual, pencabulan, hingga pemerkosaan. Dikutip dari Lembar Fakta Komnas Perempuan, kekerasan seksual yang terjadi di kampus umumnya karena menggunakan relasi kuasa dosen.
Relasi itu dikategorikan seperti dosen pembimbing skripsi dan penelitian. Umumnya pelaku mengajak korban untuk keluar kota dan pelecehan seksual fisik dan non fisik pada saat bimbingan skripsi di dalam atau luar kampus.
Aturan Seharusnya Bisa Mencegah
Permendikbud PPKS dianggap sebagai senjata bagi penyintas untuk dapat melaporkan kasus tanpa takut terancam. Namun, jika pihak kampus belum searah dengan penerapan aturan itu sudah dipastikan kasus serupa akan terus terjadi.
Jika ditelisik, Permendikbud PPKS sebenarnya bisa mencegah kekerasan di lingkup perguruan tinggi. Aturan itu juga memberi korban hak perlindungan dan bantuan hukum. Dalam aturan Pasal 10 (b) Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 menjelaskan perguruan tinggi wajib melakukan penanganan kekerasan seksual melalui perlindungan dan Pasal 11 (c) ayat (1) menjelaskan tentang bantuan hukum.
Nadiem menegaskan adanya jaminan kuat bagi penyintas bila mengalami kembali kasus tersebut dan sanksi bagi pelaku. Sanksi administratif yang akan menjerat pelaku meliputi dipecat dari lingkungan kampus hingga dicabut beasiswanya.
Aturan ini juga menjamin perlindungan bagi penyintas dari otoritas kampus seperti yang dicantumkan pada Pasal 11 ayat (1) tentang pendampingan berupa konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi, dan/atau bimbingan sosial dan rohani.
Walau begitu, mengingat kasus pembungkaman suara yang dialami oleh mahasiswi Unri atau korban lainnya, aturan itu menjadi keraguan bagi mahasiswa di seluruh universitas.
Pihak Kampus Belum Serius
Sayangnya, penanganan kekerasan seksual yang terjadi di kampus belum diimplementasikan dengan maksimal. Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Ari J. Adipurwawidjana berpendapat kampus sudah semestinya menjadi tempat atau ruang yang aman bagi mahasiswa atau pihak lainnya. Lebih lanjut, kasus kekerasan seksual memang dilakukan tanpa melihat waktu, tempat, dan jabatan.
Korban seringkali tidak melaporkan kasus tersebut karena tidak tahu harus melapor kemana, adanya rasa malu, bersalah, tertekan karena diancam, atau takut diteror oleh pelaku karena relasi kuasa yang tidak setara, dan takut akan stigma sosial yang mungkin menuai kritik.
Kampus juga belum serius dalam penanganan kasus tersebut. Kampus belum memberikan bantuan hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual dan tidak berpihak pada korban. Sering kali, kampus merasa perlu adanya bukti yang kuat seperti saksi, meski sebenarnya kekerasan seksual dapat terjadi tanpa adanya saksi di sana.
Ari melihat kondisi tersebut membuat korban mengalami tekanan atau stress, karena kondisi sosial yang tidak mendukung.
Senada dengan pernyataan tersebut, Spesialis Advokasi Kebijakan dan Advokasi Publik, Frenia Nababan melihat bungkamnya suara korban karena ada budaya patriarki dan pemahaman dominan dari budaya seksualitas normal.
Dikutip dari situs UGM, Frenia menyarankan tidak hanya adanya peraturan terkait kasus kekerasan atau pelecehan seksual, tetapi perlu juga sanksi untuk pelaku dan mengenal pendidikan tentang kekerasan seksual. Budaya dan cara pandang pihak kampus juga perlu ditekankan dengan memiliki perspektif yang sama terhadap korban atau aturan yang berlaku.
Lebih lanjut, Frenia menambahkan perlindungan terhadap korban juga perlu menerapkan prinsip merahasiakan identitas dan keselamatan korban. Pihak kampus juga dapat memberikan bantuan seperti, konseling langsung dari biro psikologi, dan kompensasi atas kejadian yang menimpa diri korban dalam bentuk material atau non-material.
Baca Juga: