Platform streaming belakangan semakin dilirik sineas tanah air untuk merilis karya mereka di masa pandemi COVID-19, meski saat ini bioskop sudah kembali dibuka. Sineas Nia Dinata baru-baru ini juga bekerja sama dengan Netflix Indonesia untuk merilis film anyar yang disutradarainya, bertajuk “A World Without”.
Film ini telah tayang secara global pada 14 Oktober di 190 negara. Selain sebagai sutradara, Nia juga menjadi penulis ceritanya bersama sineas Lucky Kuswandi yang sebelumnya dikenal karyanya lewat “Selamat Pagi Malam” dan “Ali & Ratu-ratu Queens.”
“A World Without” mengambil latar masa depan, tepatnya tahun 2030 saat sebuah organisasi misterius bernama “The Light” yang dipimpin Ali Khan (Chicco Jerikho) yang merekrut sekumpulan anak muda untuk dimotivasi menjadi versi terbaik dari diri mereka.
Film ini mengangkat tema pengembangan diri dan menawarkan pandangan unik mengenai segala kemungkinan yang dapat terjadi di masa depan. Melalui wawancara bersama Asumsi, wanita yang akrab disapa “Teteh” ini bercerita soal keputusannya bekerja sama dengan Netflix untuk karya barunya serta bercerita soal masa depan industri perfilman di tengah gencarnya kehadiran platform streaming.
Halo Teh Nia, gimana kabarnya?
Kabar baik. Sehat. Lagi padat banget buat promo “A World Without”.
Terima kasih sudah menyempatkan waktunya untuk wawancara bersama Asumsi.
My pleasure. Senang juga akhirnya bisa ngobrol-ngobrol sama Asumsi.
Boleh cerita enggak Teh, secara singkat proses pembuatan A World Without? Siapa yang punya ide?
Jadi sebenarnya semua itu bermula dari artikel yang ada di social media pada tahun 2018, mengenai pengkultusan tokoh. Banyak bermunculan tokoh-tokoh yang dikultuskan. Aku dapat artikel itu dari anak-anak aku. Terus mereka bilang ke aku dan minta aku baca. Artikel-artikelnya muncul di Twitter, Instagram, dan Facebook. Mereka memberikan aku link berita terus aku baca. Makanya dari situ ada tokohnya di film ini, Ali Khan yang di dalam lingkup institusi yang dia bangun, dia dipanggil dengan sebutan “Yang Istimewa”.
Nah jadi dari link berita yang aku terima dari anak-anak aku share ke Lucky Kuswandi dan kita ngobrol. Awalnya aku bilang ke dia kalau konsep ini harus dibikin jadi dokumenter. Aku juga punya pengalaman bikin dokumenter. Tahun 2008 aku bikin dokumenternya Lucky jadi produser, dia yang nge-direct di dalam sebuah antologi bernama “Pertaruhan”. Kita kemudian riset untuk membuat dokumenter itu. Cuma saat riset kita sadar enggak mungkin ditayangin tanpa persetujuan subjek yang kita ambil. Nah kayaknya enggak mungkin, dari riset saja sudah seram. Akhirnya bilang ke Lucky kalau kita bikin fiksinya saja deh. Jadi kita bisa lebih berkhayal dan munculah ide tokoh Ali Khan dengan dunia yang dia bangun, dengan anak-anak yang dia rekrut.
Seperti apa proses penggarapannya?
Jadi proses menulisnya itu panjang dari 2018, kemudian 2019 di antara penggarapan proyek ini aku sama Lucky sama-sama ada project, terus tahun 2019 akhir, kita hold karena siapa juga yang mau invest karya kita di masa pandemi gini. Kita ini sineas kan kalau nulis ide itu enggak dibayar. Selama ini kami passion untuk menuangkan ide cerita yang ada di dalam kepala. Sampai akhirnya 2020 terjadi pandemi, Netflix menyatakan ketertarikannya pada ide ini. Mereka minta aku presentasi lagi punya ide apa dan mau bikin apa. Ternyata menurut mereka idenya buat “A World Without ini” Netflix banget!
Apakah produksi film ini permintaan dari Netflix, atau hasil pitching ke Netflix? Sejak kapan dan seperti apa proses produksinya?
Awalnya Netflix yang menghubungi aku duluan. Mereka mengontak aku lewat email, bertanya di saat pandemi dan keadaan dunia sedang seperti ini aku lagi ngerjain apa? Mereka mungkin kepikiran orang-orang kreatif seperti kami ini pasti punya rencana untuk berkarya. Mereka tanya apakah aku punya ide buat berkarya, sudah punya script cerita untuk menjadi film, atau malah sudah jadi sinopsis cerita tapi belum sempat diproduksi. Mereka menawarkan aku untuk pitching.
Pernah terbayangkan enggak sih, Teteh bisa bekerja sama dengan Netflix?
Di awal pandemi aku juga enggak kepikiran mau pitching sama pihak lain. Paranoid terus kepikirannya yang penting kita sehat, enggak keluar rumah, bahkan produksi series aku yang dari brand luar negeri ini juga kena pending season 2-nya. Boro-boro kepikiran mau pitching. Jadi semua bermula dari aku mendapatkan email. Tentu ini menjadi berkah. Ya sudah akhirnya langsung fokus di awal masa pandemi, saat lockdown kita malah fokus menulis versi final ceritanya buat Netflix.
Apakah ada perubahan ide “A World Without” saat proses produksinya?
Tadinya ini latar ceritanya tahun 2018, akhirnya terpikirlah untuk dilakukan banyak perubahan dan nuansanya lebih futuristik. Masa depannya juga enggak terlalu jauh di tahun 2030. Jadi pandemi ini juga memberikan ide dan memperkaya ceritanya. Aku lalu sama tim Netflix kerja samanya juga enak sebagai studio besar. Kita meeting lewat Zoom dan diskusi universe seperti apa yang mau dibentuk di dalam ceritanya.
Kesulitan apa yang dihadapi Teteh dan Mas Lucky saat memutuskan film ini membawa nuansa futuristik? Seperti apa proses risetnya supaya bisa masik ke dalam ceritanya?
Oke, misalnya kayak salah satu tokoh si Salina ini kan dia pakai gadget kayak jam tangan canggih gitu. Pas di script awal kan enggak dijelasin bentuk jam tangannya seperti apa. Kesulitannya adalah ketika script sudah terkunci, berarti aku ganti topi dari topi penulis naskah pakai topi sutradara. Ketika sudah ganti topi, maka sudah memiirkan visual. Sedangkan saat menulis naskah yang dipikirkan itu kan plot, dialog, memikirkan karakterisasi.
Ketika sudah di posisi sutradara dan memikirkan visual secara detail. Untungnya tim aku sudah terbentuk. Line produserku, Jo Lydia ini orangnya gadget freak. Dia ngerti banget hal-hal soal gadget. Ketika aku baca skrip beramai-ramai dengan tim kecilku, aku minta tolong Jo Lydia yang paling ngikutin tren gadget, tahun 2030 kira-kira seperti apa teknologinya? Aku bilang maunya ada jam-jam canggih yang disainnya kayak bikinan merek yang ngetop sekarang tapi tampilannya lebih canggih lagi.
Akhirnya dia riset di berbagai sumber yang membahas desain gadget masa depan dan teknologinya. Kira-kira tahun sekian itu model gadget yang bakal keluar seperti apa. Jadi ada hasil teamwork yang misalnya menghasilkan produk jam canggih yang dipakai Salina. Selain itu aku juga kilas balik 10 tahun yang lalu teknologinya seperti apa. Lewat foto-foto aku tahun 2010 dibandingkan dengan 2020 perkembangan teknologinya mencengangkan ya.
Bicara masa depan, seperti apa Teteh melihat perkembangan sinema ke depannya terutama peran streaming platform dalam industri film?
Kalau dilihat sekarang, bioskop sudah mulai buka lagi. Tentu saja aku lahir dari bioskop dan aku penggemar film yang gemarnya nonton di bioskop. Hampir dua tahun aku enggak nonton bioskop. Tentunya aku lagi menunggu film yang sesuai dengan selera aku yang membuat aku bisa mau kembali nonton di bioskop karena keadaan sekarang masih seperti ini, situasi pandemi masih mengancam kita.
Cuma kalau ada film yang tayang di bioskop dan sesuai dengan seleraku bakal aku bela-belain nonton di bioskop. Terutama film Indonesia. Menurutku, kita enggak akan kehilangan bioskop. Sama seperti muncul e-book, buku fisik kan tetap ada. Meskipun toko buku sudah mulai sedikit jumlahnya karena buku sekarang bisa diakses secara digital, tapi penulis masih membuat buku untuk bisa dipegang pembacanya dan ditanda tangan si penulis.
Bioskop menurutku tetap akan ada dan menjadi sesuatu yang sangat spesial, di sisi lain platform streaming akan semakin menjamur karena menjadi kebutuhan kekinian. Manusia ke depannya kayaknya kan mobilitasnya enggak akan senyaman dulu sebelum pandemi. Kemana-mana enak, enggak perlu check in pakai aplikasi kalau mau masuk ke suatu tempat, ketemu orang juga harus memastikan dia sudah vaksin atau belum. Nah saat orang butuh hiburan tapi dia khawatir berinteraksi dengan banyak orang saat menonton di bioskop, maka platform streaming menjadi alternatif mereka bisa tetap menikmati hiburan.
Intinya aku tetap bersyukur karena di masa pandemi aku masih bisa berkarya dan produktif berkerja sama dengan Netflix. Bahkan A World Without ini ditayangkan secara global di 190 negara. Ini kan sisi positifnya kehadiran streaming karya kita bisa dilihat negara-negara lain. Kita bisa nontonnya dimana aja. Cuma yang menjadi sisi negatif atau kekhawatirannya sebetulnya tetap pada masalah pembajakan. Kita tahu film bioskop itu bisa dibajak dan muncul secara ilegal untuk ditonton di situs-situs tertentu. Nah di Netflix, ternyata ini bisa dibajak juga dan nontonnya di Telegram. Mereka share bajakannya buat nonton bareng-bareng. Ini kebangetan kan! Biaya langganan Netflix padahal udah terjangkau dan lebih baik patungan bareng teman supaya bisa nonton sama-sama daripada membajak kayak gitu. Saya sih, yakin followers Asumsi nonton “A World Without” secara legal, langganan dari Netflix.
Menurut Teteh, seperti apa tolok ukur kesuksesan sebuah karya yang tayang di streaming platform? Ini dibandingkan dengan bioskop yang hitungannya per juta penonton. Kalau di streaming, angka yang dibilang berhasil itu berapa sih?
Harus diakui pengalaman aku lebih banyak merilis karya untuk tayang di bioskop. Merilis karya di bioskop itu kan kita berhadapan dengan risiko kalau penonton banyak ya kita untung dari pembagiannya, kalau jumlah penontonnya sedikit maka kita rugi. Maka ada risiko yang harus diambil oleh produser. Kebetulan aku seorang produser dan sutradara aku jadi belajar melalui kerja sama bareng Netflix.
Saat memproduksi film untuk produk original-nya Netflix , dari awal kreatornya enggak perlu tahu berapa jumlah penonton yang streaming menonton filmnya. Kami sudah dapat kompensasi yang fair. Nilainya menurutku adil. Alhamdulillah Jumat pagi aku dikirimin kalau “A World Without” ini masuk trending di Netflix. Aku sebetulnya orang yang gaptek (gagap teknologi) enggak mengerti cara mengeceknya tuh gimana. Aku juga diinfoin soal trending ini sama Melisa Karim. Jadi ini statusnya menjual intellectual property (IP) rights ke Netflix.
Intinya saya sebagai film maker harus memanfaatkan keduanya, bioskop dan platform streaming ini dengan balance. Kayak misalnya kalau filmnya bukan action yang perlu dilihat dengan layar besar agar bisa dinikmati pengalaman sinematiknya, mungkin akan memilih merilis karyanya di platform. Ini mapping saya tiga sampai lima tahun ke depan. Seperti apa karyanya misalnya? Film drama atau komedi misalnya ini cocok untuk dimasukan ke platform streaming.
Dari segi keuntungan dan pemasukan untuk sineas, apakah streaming platform bisa menjadi lahan yang cukup menjanjikan?
Ini kan, ide intelektual aku dibeli oleh Netflix. Menurut aku enggak jadi masalah dari segi penghasilan karena seluruh tim mulai dari kreator, produser, sutradara, pemain, semuanya sudah mendapatkan kompensasi yang nilainya fair dan enggak bisa aku sebutkan nominalnya. Saat nantinya film ini digemari oleh penonton Indonesia atau luar negeri, menurut aku itu adalah bonus. Bonus juga kalau karya Indonesia bisa dilihat di negara lain dan menurutku karya-karya sineas kita semakin diperhitungkan di berbagai negara dengan genre-genre film berbeda yang tidak seperti pada umumnya. Indonesia oleh negara lain selama ini kan selalu dianggap negara miskin, berpenghasilan rendah, perempuannya eksotis. Maka ini jadi tugas sineas seperti aku untuk menawarkan sudut pandang baru tentang Indonesia.
Menurut Teteh, jika diberi pilihan, prefer filmnya tayang di bioskop atau OTT dan kenapa?
Sebenarnya kita harus memperluas wawasan kita soal IP rights sebelum dan setelah ada Netflix. Ketika sineas bekerja sama dengan produser yang mempunya rumah produksi untuk membuat film yang tayang di bioskop, pasti IP rights-nya miliknya sudah bagian mereka. Apalagi kalau rumah produksi itu investasi untuk karya kita dan dia minta ide kita jadi milik mereka. Jadi enggak ada bedanya dengan kerja sama bareng Netflix ini. Terkadang malah film yang merupakan ide kita enggak jadi dibikin.
Maka sebagai individu kreatif penting untuk memproteksi diri kita. Kita harus tahu apa saja yang menjadi hak kita di dalam kontrak, khususnya soal pembagian IP rights. Kalau sineasnya memiliki rumah produksi sendiri, maka lebih menguntungkan karena pemilik penuh IP rights kaya film-film aku “Berbagi Suami” atau “Arisan” itu punya aku penuh selaku pemilik Kalyana Shira Films yang merupakan rumah produksinya. Saat bekerja sama dengan pihak lain yang menjadi investor maka IP rights-nya harus dibagi tergantung kontraknya. Jadi kalau bicara keuntungan dan menjannjikan atau enggak tentu enggak bisa berdadaekan asumsi tapi berdasarkan perjanjiannya fair atau enggak. Tentu memilih Netflix karena saya melihat ini sebuah studio besar yang memberikan keuntungan yang fair buat aku.
Kalau dikasih pilihan lebih tayang dimana, aku tergantung siapa yang membiayainya dan seberapa mahal kerja samanya. Film itu dibikinnya mahal dan pekerjaan kolaboratif yabg membutuhkan tim besar sampai beratus-ratus orang bahkan dan produksinya panjang. Saat ditanya pilih rilis karya di bioskop atau OTT, menurutku ini pertanyaan yang naif. Buat aku tergantung pada siapa yabg mebiayai filmku. Saat aku masih bisa membiayai filmku sendiri ya oke-oke saja bisa pilih mau tayang dimana. Sekarang kayaknya enggak mungkin karena semakin mahal biayanya.
Terima kasih Teh Nia sudah ngobrol-ngobrol seru bareng Asumsi. Semoga “A World Without” banyak diminati penonton dalam dan luar negeri. Sehat selalu dan terus berkarya ya, Teh.
Sama-sama. Senang juga bisa berbagi dan banyak diskusi bareng kalian. Happy weekend, ya!
Baca Juga