Isu Terkini

​​Kebebasan Berekspresi, Buzzer, dan Kemunculan Aktivis Pengecut di Medsos

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Unsplash/ dole777

Keberadaan buzzer dan akun bot
di media sosial merupakan fenomena yang hingga saat ini menjadi
perhatian masyarakat. Eksistensi mereka dinilai sebagai pisau bermata dua di
dunia virtual. Di satu sisi, bisa menjadi penyebar pesan positif namun sisi
lainnya menjadi penyebar hoaks dan propaganda misinformasi di tengah publik.
Bahkan, belakangan muncul istilah BuzzeRp untuk menyebut buzzer yang mengunggah
konten dan menyebarkan pesan-pesan titipan di dunia maya karena dibayar pihak
tertentu.

Efek Demokratisasi

Sekretaris Umum LHKP PP
Muhammadiyah, Abdul Rahim Gazali menilai kehadiran
buzzer dan bot merupakan
efek samping dari proses demokratisasi yang terus terjadi negara ini.

“Demokratisasi salah
satunya memberikan efek kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi, sejatinya
positif karena memberikan kesempatan bagi setiap orang, baik itu pejabat,
kelompok proletar, mahasiswa, hingga petani bisa menyampaikan kritik, saran,
dan kecaman atas peristiwa yang terjadi di negeri ini,” jelas Rahim dalam
diskusi virtual, Kamis (30/9/2021).

Kebebasan berpendapat, lanjut
dia juga membuat masyarakat jadi memiliki kesempatan untuk menyuarakan aspirasi
kepada pemerintah. Sisi positif ini, menurutnya akhirnya terbawa ke dalam
aktivitas masyarakat dunia maya alias warganet hingga memunculkan yang namanya
buzzer.

“Namun kebebasan
berpendapat ini bagaikan dua mata pisau, bisa positif dan negatif. Positif
ketika digunakan untuk kebaikan, memperbaiki setiap keadaan yang dipandang
tidak produktif bagi situasi demokrasi negara kita. Bisa menjadi negatif saat
digunakan untuk mengecam atau bahkan memfitnah pihak lain,” jelasnya.

Ia pun mengamati buzzer yang
melontarkan kecaman atau fitnah biasanya disampaikan akun-akun yang menggunakan
nama samaran dan sulit diidentifikasi identitas penggunanya.

“Inilah yang menurut saya
sangat berbahaya karena memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk
menyampaikan kritik atau kecaman secara tidak bertanggung jawab,” jelas
dia.

Munculnya Aktivis Pengecut

Abdul Rahim Gazali mengatakan
kehadiran
buzzer belakangan melahirkan aktivis pengecut yang sembarangan
melontarkan hoaks dan misinformasi di dunia maya, kemudian saat cuitan atau
unggahannya viral dan jadi masalah bakal berusaha kabur dari tanggung jawabnya.

Buzzer memicu munculnya
fenomena aktivis pengecut karena menyampaikan sesuatu bukan dengan nama
sebenarnya. Dari situ, muncul efek buruk dari lahirnya konten-konten seperti
seperti berita bohong, sampai usaha untuk merusak lawan politik dengan cara
tidak sehat,” pungkasnya.

Pengamat IT dari Media Kernels
Indonesia, Ismail Fahmi menyebut akar kemunculan
buzzer dan bot dimulai pada
tahun 2012. Kala itu, muncul fenomena adanya bot, algoritma, dan akun-akun yang
terotomatisasi untuk kebutuhan politik yang digaungkan di jagad maya.

“Biasanya digunakan oleh
aktor-aktor politik di setiap negara di seluruh dunia yang tujuannya,
memanipulasi opini publik melalui platform-platform seperti Twitter, Facebook,
Instagram, YouTube, dan belakangan ini ada TikTok,” ujarnya dalam kesempatan
yang sama.

Di Indonesia, kehadiran buzzer
dan bot pun ramai khususnya pada momen-momen Pemilihan Kepala Darah hingga
Pemilihan Presiden. Akun-akun ini biasanya digunakan untuk menyerang lawan
politiknya atau mengagung-agungkan kelompok tertentu.

“Misalnya sebut saja ada
Muslim Cyber Army, Republik Cyber Projo, Relawan Prabowo-Sandi Digitalc4 Team
atau Pride, sampai Jasmev, Jokowi Ahok Social Media Volunteers,” imbuhnya.

Kini, menurutnya buzzer dan
bot sudah bisa dibilang membangun industri tersendiri karena kerap digunakan
untuk menyebarkan unggahan yang merupakan pesanan kelompok tertentu agar viral
secara otomatis. “Makanya kita kenal ada BuzzeRp,
buzzer yang dibayar dan
mereka cuma unggah cuitan berapa baris doang misalnya di Twitter, kemudian diteruskan
akun-akun real. Ketika viral, biasanya akun bot itu akan hilang tersembunyi,”
katanya.

Paling Banyak Konten
Pornografi

Direktur Jenderal Informasi
dan Komunikasi Publik Kemkominfo, Usman Kansong mengamini belakangan memang
semakin banyak
buzzer dan bot buatan kelompok tertentu yang meresahkan publik
karena menyebarkan berbagai kabar bohong, konten asusila, hingga propaganda
yang menyesatkan.

Ia menegaskan selama ini
Kemenkominfo telah memiliki berbagai instrumen regulasi untuk menindak konten-konten
negatif di dunia maya yang disebarkan oleh
buzzer atau bot. Meski demikian,
kata dia penindakan terhadap orang-orang yang ada di balik buzzernya bukan
kewenangan pihaknya.

“Ada Undang-undang ITE
dan Undang-undang Pornografi yang selama ini, menjadi instrumen regulasi yang
bisa kita gunakan untuk membersihkan ruang digital dari konten-konten negatif.
Penindakan lewat regulasi ini adalah kontennya bukan orangnya. Kalau terkait
orangnya, pengunggahnya, atau
buzzer-nya itu urusan penegak hukum,” terangnya.

Usman Kanson mengungkapkan,
langkah yang paling banyak dilakukan Kemenkominfo dalam menindak konten-konten
negatif di medsos antara lain melakukan kontra narasi dan menghapus konten
negatif ini dari platform digital tersebut.

Data 2020, kata Usman ada
sekitar 2 juta konten negatif yang terkait dengan unggahan
buzzer dan bot yang
ditindak oleh Kemenkominfo. Sebagian besar kontennya masuk ke dalam kategori
pornografi.

“1.086.000 konten
pornografi yang paling banyak ditindak, disusul konten radikalisme sekitar 570
sekian,” ucap Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo.

Penggunaan AI

Usman mengatakan Kemenkominfo
telah menggunakan artificial intelligence alias kecerdasan buatan untuk
menelusuri dan menindak konten-konten negatif yang diunggah
buzzer maupun bot.

“Kominfo dalam
membersihkan dunia maya dari konten negatif, melalui teknologi AI yang biasa
disebut AIS yang asal namanya dari kata “pengais” karena tugasnya
mengais konten-konten negatif setiap detiknya,” terangnya.

Selain itu, Kemenkominfo juga
membentuk tim khusus untuk memantau konten-konten medsos karena menyadari
penggunaan AI masih banyak keterbatasan dalam menindak konten-konten negatif.

Kemkominfo juga mengandalkan
laporan masyarakat untuk mengawasi konten-konten di media sosial.

“Mekanisme pelaporannya
bisa melalui laporankonten.id kalau menemukan konten-konten negatif. Contohnya
yang dilaporkan kayak ada kasus yang belum terlalu lama, misalnya Muhammad Kece
yang melalui YouTube melakukan ujaran kebencian dan dilaporkan masyarakat, kami
takedown 20 kontennya lalu polisi yang menangkapnya,” tandasnya.

Share: ​​Kebebasan Berekspresi, Buzzer, dan Kemunculan Aktivis Pengecut di Medsos