Suku Baduy belakangan menjadi perhatian publik usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) memakai pakaian adatnya saat Sidang Tahunan MPR/DPR RI 2021 pada 16 Agustus lalu. Banyak yang berkomentar positif atas penampilan Presiden mengenakan baju adat suku Baduy, namun ada juga yang mengomentarinya dengan nada miring.
Asumsi Distrik melakukan perjalanan untuk mengunjungi tempat suku Baduy Dalam dan Baduy Luar yang tinggal di Banten, serta berbincang dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat untuk menggali nilai-nilai sakral yang berlaku di sana, termasuk baju adat mereka.
Asal nama suku Baduy
Mengunjungi Kampung Gajeboh, Asumsi bertemu dengan Mulyono, pria yang lahir di Kampung Balimbing, Baduy Luar. Ia mengatakan Kampung Gajeboh merupakan ikon dari suku Baduy Luar. Rumah-rumah etnik beratapkan jerami menjadi tempat tinggal masyarakat adatnya.
“Ini salah satu ikon Baduy juga, kampung Gajeboh. Perjalanan kita, dari terminal Ciboleger sampai ke sini, kurang lebih sekitar 1,5 jam jalan kaki. Kalau untuk dilanjutkan perjalanan ke Baduy Dalam, masih perlu sekitar 3 sampai 4 jam dari sini,” jelas Mulyono.
Ia menerangkan secara keseluruhan ada 65 perkampungan suku Baduy. Tiga di antaranya merupakan perkampungan dari suku Baduy Dalam. Luas wilayah di Baduy, kata dia sekitar 50 ribu hektare.
“Tersebar Ada yang di wilayah sebelah barat, dekat dengan perbatasan desa tetangga. Dari barat, Bojongmanik. Utara, Ciboleger. Timur, Sobang. Selatannya, Cibaran. Itu yang membatasi,” terangnya.
Sarpin yang merupakan warga asli Desa Kanekes, suku Baduy Luar pun berbagi cerita soal budaya tempat tinggalnya. Oleh masyarakat setempat, dirinya dikenal sebagai perangkat desa yang bekerja di kantor desa yang tugasnya berurusan dengan data kependudukan di sana.
Ia menuturkan asal mula nama suku Baduy berasal, yakni karena adanya Sungai Cibadut dan Gunung Baduy di sana. “Akhirnya, karena berada di wilayah itu, disebutlah orang Baduy,” ujarnya.
Adat istiadat suku Baduy, kata dia memang masih sangat tradisional. Ia menyebut nilai-nilai tradisional ini disebut dengan tangtu tilu jaro tujuh oleh masyarakat adat.
“Lingkungan, lebih disebut lingkungan tangtu tilu jaro tujuh, kalau disebut oleh orang adat. Tangtu tilu disebutnya yang menentukan. Satu yang di Cikartalana. Dua, yang di Cibeo. Tiga, yang di Cikeusik. Jaro tujuh adalah yang di Baduy Luar. Ada tujuh kepala adat. Perwakilan dari Baduy Dalam,” tuturnya.
Perbedaan Baduy Luar dan Dalam
Sarpin menyebut ada perbedaan mendasar antara Baduy Luar dan Baduy Dalam. Perbedaannya adalah kehidupan Baduy Luar lebih agak sedikit modern dibandingkan Baduy Dalam.
“Baduy Dalam, lebih tradisional. Misalnya, peralatan rumah tangga. Kalau di sini, bisa ada teko, ada gelas, ada cangkir. Tapi kalau di sana nggak boleh. Jadi mulai dari peralatan minum, harus terbuat dari bambu atau cangkirnya juga terbuat dari bambu. Jadi nggak boleh peralatan yang modern,” jelas dia.
Namun dirinya menegaskan baik suku Baduy Dalam maupun Luar adalah satu kesatuan adat. “Bahkan, Baduy Luar ini sebagai pengikut sebetulnya,” ungkapnya.
Meski Baduy Luar kehidupannya sedikit agak modern, namun baik Baduy Dalam dan Baduy Luar sama-sama masih hidup tanpa listrik. Sarpin mengatakan hal tersebut memang sudah menjadi adat kedua suku untuk hidup tanpa listrik.
“Memang sudah punya aturan adat istiadat tadi. Selama masih di sini, sampai saat ini, mereka enjoy aja dengan tidak adanya listrik,” ungkapnya.
Selain itu, suku Baduy Luar lebih membuka diri pada pendidikan. Seperti Mulyono merupakan pemuda pertama di lingkungannya yang mengenyam pendidikan hingga bangku kuliah.
Nilai luhur masyarakat adat Baduy melarang untuk berkuliah. Namun karena keinginannya yang kuat, Mulyono kuliah di Universitas Terbuka mengambil jurusan Ilmu Komunikasi.
Ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan inilah yang membantunya untuk percaya diri berinteraksi dengan wisatawan yang selama ini ditariknya untuk berkunjung ke pemukiman suku Baduy.
Sementara itu, salah satu masyarakat suku Baduy Dalam, Mursyin menjelaskan perbedaan antara suku Baduy Dalam dan Luar selain pengaruh modernisasi dalam kehidupan mereka. Pria yang disapa Ayah ini, menyebut perbedaan yang bisa terlihat antara kedua suku adalah pakaiannya.
“Ada pakaian adat Baduy Dalam, ada pakaian khas adat Baduy Luar. Pakaian Baduy Luar, seperti ikan kepala batik dan pake baju kampret hitam, bisa hitam atau putih. Kalau di Baduy Dalam, pakaiannya putih sama hitam. Ikat kepalanya putih itu khas Baduy Dalam. (Ikat kepala) batik biru itu khas Baduy Luar,” katanya saat diwawancara di Kampung Cipondok, Baduy Luar.
Mursyin mengatakan perbedaan pakaian ini sudah diatur oleh lembaga adat masing-masing sebagai nilai luhurnya. Adapun sebutan Baduy sebetulnya lebih ditujukan pada istilah kesukuan. Masyarakatnya, kata dia bisa juga disebut dengan orang Kanekes selain orang Baduy.
“Disebut Kanekes, bisa aja karena suku Baduy ini di Desa Kanekes. Maka bisa aja disebut orang Kanekes karena secara administrasi pemerintahannya, masih di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Kalau sebutan Baduy, lebih mengarah ke kesukuan,” terangnya.
Kesan Jokowi pakai baju Baduy
Terkait pakaian suku Baduy yang dikenakan Presiden Jokowi, Mulyono mengatakan kalau baju tersebut merupakan khas Baduy Luar karena memperlihatkan baju hitam dan ikat kepala batik biru khasnya.
“Itu ciri khas Baduy Luar karena itu pakai baju hitam, ikat kepala biru. Celana hitam. Itu pakaian Baduy Luar. Kalau bajunya namanya baju kampret, celananya namanya pangsi. Tutup kepalanya, lamar namanya,” jelas dia.
Adapun harga masing-masing item dari pakaian adat Baduy Luar ini, kata dia tidak mahal dan bisa dibilang terjangkau. “Baju ini Rp200 ribu, celana Rp100 ribu, dan lamar ini paling antara Rp50 ribu. Berarti kalau ditotal, cuma Rp250 ribu. Itu tasnya juga sekitar Rp50 ribu. Sangat sederhana,” ungkap dia.
Mulyono pun menyampaikan ucapan terima kasih atas kesediaan Presiden yang mau tampil mengenakan baju adat suku Baduy Luar. Bahkan, ia mengaku bangga melihatnya karena lewat penampilannya, Jokowi memperkenalkan budaya masyarakatnya.
“Jujur, saya pribadi sangat berterima kasih karena nilai kebanggaan kita kepada Pak Presiden, orang nomor satu di Indonesia. Benar-benar kita bangganya luar biasa,” ungkap dia.
Ia pun menyikapi stigma orang yang menganggap suku Baduy identik dengan berjualan madu. Menurutnya, setiap orang memang bebas berpendapat di media sosial namun sebaiknya mengedepankan etika dalam menyampaikan pandangannya terhadap suatu hal, apalagi budaya orang lain.
“Apa yang saya amati, sebenarnya di kita, di Indonesia, budaya di media sosial itu lebih keras sedikit dibanding kehidupan normal. Jadi ketika seseorang mau mengkritik, kalau di depan orangnya langsung, tidak akan sepedas itu, tapi ya tidak masalah. Misalnya mungkin sedikit kurang pantas dilihatnya, tetapi itu hak mereka. Hal yang penting, dari kita, ada timbul rasa bangga bahwa presiden kita nih pakai baju Baduy,” jelas dia.
Namun, ia menyayangkan narasi yang dimunculkan saat mengomentari Jokowi mengenakan baju adat Baduy Luar mengaitkannya dengan berjualan madu. “Cuma kenapa mereka itu mencontohkan Bapak Jokowi supaya berjualan madu? Sebenarnya, banyak hal yang lain yang bisa dicontohkan. Misalnya, Pak Jokowi sudah pakai baju Baduy, cocok nih jadi kepala adat,” ujarnya.
Di sisi lain, Mursyin menyayangkan penampilan Jokowi yang mengenakan pakaian khas Baduy Luar menyebabkan kegaduhan di tengah masyarakat karena adanya komentar yang dinilai tak pantas.
“Menurut saya, jangan ada hal-hal yang tidak menyenangkan. Memakai pakaian adat Baduy, tujuannya itikad niat baik. Memperkenalkan dari segi suku Baduy, kondisi budayanya, tujuannya memperkenalkan itu. Jangan dimasalahkan,” kata dia.
Sarka, pemuda Suku Baduy Luar yang merupakan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berjualan baju khas Baduy mengaku dagangannya laris mendadak setelah Jokowi mengenakannya.
Bahkan, dirinya mengakui ada kenaikan omzet penjualan setelah mantan Gubernur DKI Jakarta ini tampil percaya diri memperkenalkan pakaian adat suku Baduy Luar. “Itu ada juga sih, sempat ramai juga, banyak yang tanya. Jadi, secara omset, naik 30 persenan lah,” ucapnya.
Saat ini, Sarka mulai berdagang lewat jalur online. Ia mengaku antusiasme orang-orang terhadap baju Baduy dan tertarik membelinya sangat luar biasa. Di sisi lain ia tak mau ambil pusing soal komentar miring yang ditujukan kepada orang Baduy usai Kepala Negara memakai baju adatnya.
“Namanya netizen, apalagi dunia internet. Pasti banyak yang beda paham. Di situ tergantung kepribadian kita juga (menyikapinya),” pungkas Sarka.
Jual madu demi nafkah
Musyrin mengungkapkan alasan banyak orang Baduy yang suka berjualan madu di Jakarta karena ingin mencari rezeki semata demi menghidupi keluarga mereka.
Ia pun mengaku heran mengapa orang Baduy yang berjualan madu dipermasalahkan hingga muncul stigma negatif. Pasalnya, kata dia niatan mereka adalah mencari nafkah bukan untuk tujuan lain.
“Artinya, taraf kehidupan ekonomi, selain di kampung, di ladangnya, mesti kita pastikan dia jalan ke luar dan membawa baik itu kerajinan maupun madu. Menurut saya nggak masalah, namanya mencari nafkah,” katanya,
Mulyono mengungkapkan kualitas madu di Baduy dikenal baik. ia bahkan menjamin kalau kualitasnya terjaga dan dari segi manfaat bagi kesehatan. “Saya jamin, bahwa karena alam kita masih sejahtera, masih bagus, masih terjaga,” kata dia.
Simak cerita selengkapnya dalam video “Distrik: Buah Manis Jaga Kekayaan Leluhur Suku Baduy” di kanal YouTube Asumsi.