Ketua Umum Uni Timor Aswain (UNTAS) dan Ketua Forum Komunikasi Pejuang Timor Timur Eurico Gutteres menerima penghargaan Bintang Jasa Utama dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Penghargaan ini pun mengundang polemik karena Eurico memiliki latar belakang sebagai milisi Timor Timur menjelang lepasnya wilayah tersebut dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bentuk Penghormatan
Anugerah Bintang Jasa Utama ini diberikan Presiden kepada Eurico saat upacara Penganugerahan Tanda Kehormatan Republik Indonesia di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (12/8/21).
Melansir laman resmi Sekretariat Negara, Bintang Jasa Bintang Utama merupakan penghargaan kehormatan yang memiliki derajat di bawah Bintang Republik Indonesia dan Bintang Mahaputera.
Tanda Kehormatan Bintang Jasa dapat dianugerahkan kepada WNI dan WNA yang memenuhi persyaratan, khsuusnya tidak pernah melanggar hukum dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
“Tujuan dari pemberian anugerah Bintang Jasa Utama ini adalah untuk menghargai dan menghormati warga negara Indonesia (WNI) yang berjasa besar terhadap negara dan bangsa dalam suatu bidang tertentu atau peristiwa atau hal tertentu,” demikian dikutip dari situs tersebut.
Terdapat syarat khusus bagi penerima anugerah ini, sesuai Pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, yaitu:
Berjasa besar di suatu bidang atau peristiwa tertentu yang bermanfaat bagi keselamatan, kesejahteraan, dan kebesaran bangsa dan negara;
Pro Integrasi
Melihat ketentuan dari penerima Bintang Jasa Utama ini, tentu memicu pertanyaan publik soal jasa yang diberikan oleh Eurico sebagai eks milisi di Timor Timur. Bahkan, Eurico pernah diadili atas kasus pelanggaran hal asasi manusia (HAM).
Mengutip Tempo, Eurico merupakan bekas milisi Timor Timur yang memilih pro integrasi dengan Indonesia. Pria yang lahir di Viqueque, Timor, pada 4 Juli 1969 ini pun memilih menjadi WNI usai Timor Timur merdeka.
Pada masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, eks Wakil Panglima Pasukan Pejuang Prointegrasi ini sempat menjadi anggota DPRD. Namun pada 27 November 2002, Pengadilan Negeri HAM Ad Hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 27 November 2002 memvonisnya 10 tahun penjara atas tuduhan melakukan pembantaian pasca-referendum dan penghancuran ibukota Dili.
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas perkaranya hingga ia dibebaskan pada tahun 2008. Selepas itu, Eurico juga menjadi Ketua Umum Uni Timor Aswain (UNTAS) pada 2010 hingga 2019 lalu. UNTAS merupakan organisasi yang mewadahi perkumpulan warga eks Timor Timur yang memilih setia dengan Indonesia.
Kini, ia aktif menjadi politikus dengan bergabung bersama Partai Gerindra. Penghargaan Bintang Jasa Utama ini diterima Eurico bersama sejumlah nama tokoh lain, di antaranya Almarhum Rusdi Sufi, seorang Akademisi dan pemeliharaan warisan sejarah serta budaya Aceh; Johann Georg Andreas Goldammer, seorang Ilmuwan berkebangsaan Jerman dari Universitas Freiburg, dan Ishadi Soetopo Kartosapoetro yang merupakan Komisaris Trans Media.
Sejarah Timor Timur
Timor Timur diketahui memiliki sejarah panjang sebelum akhirnya merdeka menjadi negara sendiri dengan nama Timor Leste pada tahun 1999. Mengutip Kompas, eksistensi Timor Timur bermula dengan kedatangan Portugis pada awal abad ke-16 di Pulau Timor untuk berdagang.
Kala itu, Portugis menjajah wilayah tersebut hingga pertengahan tahun 1800, Portugis bentrok dengan Belanda yang juga ingij menguasai bagian barat Pulau Timor. Hingga tercetuslah perjanjian pada 1859, dengan kesepakatan wilayah barat Pulau Timor diberikan kepada Belanda.
Timor Timur sempat lepas dari tangan Portugis saat Jepang menguasai Indonesia dari 1942-1945. Usai Perang Dunia II berakhir, Portugis kembali berkuasa di Timor Timur hingga tahun 1975.
Di tahun 1974, terjadi kudeta militer di Portugal oleh Jenderal Antonio de Spinola yang berhasil menggulingkan pemerintahan Caltano. Setelah berkuasa, Presiden Spinola segera melakukan dekolonialisasi bagi daerah-daerah jajahannya, termasuk Timor Timur.
Kemudian Gubernur Timor Timur memberi kebebasan politik kepada warganya, hingga terbentuk lima partai politik di sana, yakni Uiau Democratica Timorense (UDT), Frente Revolutionaria de Timor Lesta Independente (FRETILIN), Associacao Populer Democratica Timorense (Apodeti), Partai KliburOanTimor (KOTA), dan Partidu Trabalista.
Dari kelimanya, tiga partai yakni UDT, FRETILIN, dan Apodeti mempunyai perbedaan pandangan soal masa depan Timor Timur. UDT ingin Timor Timur tetap berada di bawah kekuasaan Portugal, sedangkan FRETILIN ingin membentuk negara merdeka, dan Apodeti ingin bergabung bersama Indonesia.
Kekerasan pun tak terelakkan karena perbedaan pandangan ini. Perang saudara pecah di sana hingga FRETILIN yang menguasai banyak wilayah akhirnya mendeklarasikan kemerdekaan Republik Demokratik Timor Timur secara sepihak pada 28 November 1975.
Selama masa ini, partai tersebut kabarnya melakukan pembantaian terhadap 60.000 penduduk yang kebanyakan bergabung dengan Apodeti. Deklarasi kemerdekaan oleh FRETILIN akhirnya memicu kemarahan dari Apodeti yang kemudian meminta Indonesia untuk mengambil alih Timor Timur.
Pada 7 Desember 1975, pasukan Indonesia datang ke Timor Timur. Portugal pun menyampaikan aduan ke PBB dengan alasan Indonesia telah melakukan agresi ke Timor Timur. Akan tetapi, Indonesia memutuskan mengabaikan seruan PBB supaya meninggalkan Timor Timur.
Pada 17 Juni 1976, wakil Timor Timur yang pro integrasi menyampaikan petisi kepada Presiden RI dan DPR RI. Sebulan kemudian pada tanggal yang sama, Timor Timur resmi menjadi provinsi Indonesia yang ke-27.
Namun FRETILIN bersikukuh ingin Timor Timur lepas dari tanah air. Namun, PBB juga tidak setuju dengan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia. Hingga pada27 Januari 1999, Presiden BJ Habibie menyampaikan dua opsi atas masalah ini, yakni otonomi khusus atau memisahkan diri.
Sementara itu, PBB membentuk misi perdamaian yang bertugas melaksanakan jajak pendapat bagi masyarakat Timor Timur pada 30 Agustus 1999. 78,5 persen yang mengikuti pemungutan suara memilih untuk memisahkan diri, sementara kubu pro integrasi mendapat 21,5 persen suara. Akhirnya pada 20 Mei 2002, Timor Timur lepas dari Indonesia dan memproklamirkan diri sebagai negara baru dengan nama Timor Leste.
Dianggap Sosok Nasionalis
Pengamat militer dan ketahanan nasional dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai wajar munculnya kontroversi atas pemberian anugerah Bintang Jasa Utama Presiden RI.
Kontroversi, kata dia muncul karena sosoknya yang dikenal dunia internasional sebagai pelaku pelanggaran HAM yang bahkan sampai diadili dan dibui atas tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
“Wajar saja pemberian bintang ini memicu kontroversi dalam hal ini terkait Timor Timur. Di satu sisi namanya dikaitkan dengan pelanggaran HAM dan sempat dipenjara lalu dibebaskan setelah menang PK (Peninjauan Kembali). Di sisi lain dari segi kepentingan nasional dia mengabdi luar biasa atas kesetiaannya dengan Indonesia,” kata Fahmi kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Jumat (13/8/21).
Ia menambahkan, sikap Eurico yang menyatakan untuk setia pada Indonesia karena tidak ingin Timor Timur memisahkan diri tentu secara politis dianggap sebagai sikap nasionalisme.
“Tentu saat itu sikapnya dianggap mewakili kepentingan pihak-pihak utamanya para pejabat di Jakarta pada saat itu. Jadi hal ini dianggap relevan saat ini karena dianggap sebagai pejuang yang mempertahankan integrasi nasional,” terangnya.
Menurutnya, keputusan Bintang Jasa Utama yang dianugerahkan kepala negara diputuskan secara politis dan tentu tidak melibatkan keikutsertaan publik, maka sah-sah saja jika Eurico menjadi salah satu penerimanya. “Ini kan, penghargaan yang diberikan Presiden atas pertimbangan keputusan politis. Jadi, menurut saya sah-sah saja,” tandasnya.