Saat ini, sebutan “bung” memang tidak lazim digunakan. Dalam kehidupan sehari-hari, kaum muda di Jakarta saat ini lebih terbiasa menggunakan panggilan “mas” atau “abang.” Ada juga yang lebih leluasa memanggil “bro” dan “sis.”
Namun, di era revolusi perjuangan sampai dengan kemerdekaan Indonesia, “bung” adalah panggilan yang memiliki semangat egalitarian. Sebuah tandingan di tengah cengkeraman kuat feodalisme di Indonesia. “Bung” adalah panggilan yang berkembang secara organik di tengah kaum muda, dan kemudian diadopsi oleh Bung Karno untuk menjadi simbol perlawanan terhadap feodalisme.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengatakan, ia ingin kembali mempopulerkan sebutan “bung” seperti dulu. Namun, di tengah demografi masyarakat saat ini dan ruang-ruang kecil yang sudah terbentuk, apakah panggilan “bung” masih relevan dengan kondisi sosial masyarakat kita saat ini?
Asumsi berbincang soal kebiasaan menyebut panggilan “bung,” “mas,” “abang” hingga “bro” dari masa ke masa bersama dengan Muhammad Faisal, direktur eksekutif Youth Laboratory, sebuah biro riset pertama di Indonesia yang mempelajari studi psikografi, tren, pengetahuan, dan budaya anak muda di Indonesia.
Apa latar belakang sejarah penyebutan “bung” seperti yang kita kenal pada Bung Karno dan Bung Hatta?
Saya akan mengutip obrolan saya dengan Mas (Rutny Sigit) Lingga pengurus harian Yayasan Bung Karno, ini hubungannya dengan sikap egalitarian. Saat itu, mereka menolak adanya penstrataan bagi pemuda-pemudi bumi putra yang mendapat akses pendidikan. Tapi, lebih jauh dari itu, ada dua hal yang ingin dibongkar para pemuda dan pemudi di era revolusi kemerdekaan.
Pertama, feodalisme. Mereka melawan generasi senior mereka sendiri yang dianggap feodal dan menilai anak muda tidak bisa apa-apa. Tradisinya kaku. Sedangkan, masa itu sudah memasuki era industrialisasi, sudah ada pembangunan jalan, fase kedua revolusi industri.
Kedua, ada upaya untuk menghilangkan elitisme. Karena, di kalangan pemuda-pemudi yang mendapat akses pendidikan kolonial, ada juga yang menjadi elitis.
Saya rasa, pemilihan “bung” itu ada pada konteks menempatkan para pemuda agar lebih cair, lebih bisa berkumpul dengan rakyat golongan manapun. Dan upaya tersebut tidak berhenti di masalah panggilan akrab saja, tapi juga di penggunaan peci, misalnya. Peci menjadi akses bagi mereka supaya bisa berkumpul dengan santri.
Jadi, semua itu adalah usaha mencairkan posisi pemuda di tengah masyarakat.
Kapan panggilan “bung” mulai populer, hingga akhirnya meredup?
Rasanya, beberapa tahun sebelum Sumpah Pemuda di tahun 1928. Mungkin di tahun 1918-1920 mulai ada pergerakan itu. Ada juga kontribusi besar dari percetakan media massa di saat itu yang mulai berkembang. Anak muda sudah banyak yang menulis. Akhirnya, muncul diksi-diksi untuk menyatukan anak muda dari satu daerah ke daerah lain.
“Bung” adalah panggilan yang berkembang (secara organik) di masyarakat dan kemudian diadopsi oleh Bung Karno untuk menjadi simbol perlawanan terhadap feodalisme.
Kemudian, panggilan “bung” meredup ketika memasuki tahun ‘60-an. Ada angkatan 66 yang memiliki nuansa zaman yang berbeda. Aktivisme anak muda saat itu sudah banyak terpengaruh paham sosialisme. Hal ini banyak ditulis di buku-buku para tokoh angkatan ‘66. Di Universitas Indonesia, ada kubu-kubu geng sosialis dan nasionalis.
Lalu, ada juga kekecewaan terhadap sosok Bung Karno sendiri. Sebenarnya, anak muda masih mengidolakan Bung Karno, visi-visi dan ideologinya. Tapi ada kekecewaan terhadap gaya hidupnya di masa itu. Sehingga, kata “bung” tidak lagi sekeren sebelumnya. Karena Bung Karno dikonotasikan dekat dengan feodalisme dan tidak lagi dekat dengan anak muda.
Gimana perkembangan peran pemuda di masa itu?
Memasuki era Orde Baru, banyak yang didekonstruksi. Kata “pemuda” jadi satu kata yang ditakuti negara, karena konotasinya dengan pergerakan yang kritis. Saat itu, istilah yang lebih populer digunakan adalah “remaja.” Konotasinya lebih bagus. Lalu kemudian, kata “pemuda” diokupasi oleh lembaga-lembaga pemerintah. Maka, sebutan “bung” pun tidak sepopuler dulu.
Apakah kentalnya budaya Jawa di era Orde Baru yang membawa kita jadi terbiasa dengan panggilan “mas” dan “mbak?”
Memang ada upaya Jawanisasi dalam konteks nasionalisme. Di lingkungan formal negara, semua menggunakan budaya kejawaan, kebapakan. Pada saat itu, negara besar dan anak muda banyak bekerja sebagai ASN. Negara membentangkan organisasi-organisasi di seluruh daerah, sehingga kejawaan itu tersebar luas.
Kalau saat ini, apakah ada panggilan populer yang cukup universal?
Saat ini, sangat tergantung dengan apa yang viral. Tergantung juga konteks yang digunakan di media sosial. Itu menjadi currency terbaru. Dan ini adalah hal-hal yang disepakati di media sosial, bukan di ruang-ruang offline.
Jadi sesuai ruang masing-masing?
Betul. Kadang aku sendiri masih suka bingung menempatkan diri. Dalam konteks riset, aku masuk ke ruang lain. Kalau sebutan “kak” itu dari budaya Cina, dimana mereka memang mengenal sebutan kakak tertua, kakak kedua, dan seterusnya. Jadi “kakak” itu akulturasi dari budaya Tionghoa.
Ada juga kader partai yang memilih untuk menggunakan panggilan “bro” dan “sis.” Gimana menurut Anda?
Di era revolusi, sebutan “bung” adalah upaya menyatukan kalangan muda lintas daerah dan berbagai latar belakang. Ini membuat mobilitas anak muda jadi bisa masuk ke segmen-segmen masyarakat luas. Nah, konteks “bro” dan “sis” ini tidak menjadi penting apabila tidak ada upaya untuk membuat partai politik itu menjadi lebih inklusif. Lalu pergaulannya juga dari fungsionaris partai itu tidak dengan masyarakat. Tidak dengan berbagai segmen anak muda.
Jadi, “bro” dan “sis” itu menjadi semacam gimmick dan malah menunjukkan kekhawatiran mereka bahwa mereka itu tidak mewakili anak muda. Jadi dibuatlah berbagai macam simbol untuk menarik perhatian anak muda.
Apa etikanya menggunakan panggilan yang disesuaikan dengan kebiasaan daerah masing-masing?
Kalau saya sendiri, menyesuaikan saja. Ada teman yang saya panggil “bro,” kalau ketemu kawan dari Sumatra Barat, saya panggil “uda.” Saya sering melakukan etnografi, jadi saya memberanikan diri menggunakan panggilan yang ada di daerah itu. Pengalaman riset sebetulnya, misalnya lagi di Medan ada yang pakai sebutan “lu, gue” itu udah langsung dilihatin dari atas ke bawah. Orang Jakarta ya?
Jadi setiap kali saya pindah daerah, langsung memberanikan diri menggunakan sebutan daerah.
Jadi kalau dulu “bung” adalah sebutan yang universal, saat ini sudah tidak ada lagi panggilan yang universal?
Universal atau tidak itu kan, karena konteksnya di era revolusi, “bung”menjadi simbol kesetaraan. Itu jadi beken karena masyarakat suka. Para “bung” itu dinilai orang yang asyik. Pemuda dulu paham bahwa kita sedang dipecah belah, makanya penjajah disebut sebagai Belanda, membelah-belah, dan mereka memikirkan caranya gimana supaya orang Sumatra, Jawa, bisa nyambung, lebih cair, dan bersatu. Ketika ada sebutan “bung,” itu kan jadi ngeri ya. Karena ada anggapan bahwa pemuda-pemuda ini sedang bersatu.
Saat ini, kita hidup di era di mana strata makin kencang. Itu yang perlu diubah kalau sebutan “bung” mau relevan lagi.