Banjir dahsyat melanda berbagai negara di belahan dunia sepanjang bulan Juli ini. Mulai dari yang mengganggu akses transportasi hingga menyebabkan korban jiwa. Perubahan iklim disinyalir menjadi pemicu utama terjadinya banjir yang tak biasa ini.
Banjir dan Longsor di Jepang
Pada 3 Juli lalu, hujan lebat yang memicu banjir dan tanah longsor melanda perfektur Shizouka, Jepang hingga menimbulkan korban jiwa. Reuters melaporkan dua orang tewas akibat bencana longsor di Kota Atami. Sebanyak 20 orang lainnya dikabarkan hilang dan dilakukan pencarian.
Perdana Menteri, Yoshihide Suga, membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk mengatasi krisis akibat bencana ini. “Perlu meningkatkan kewaspadaan. Mungkin hujan lebat akan turun lagi dan kita perlu sangat berhati-hati,” ujarnya.
Sejumlah rumah terendam lumpur dan banjir. Pihak militer Jepang atas instruksi Presiden Suga mengirimkan tim khusus penyelamat ke Atami dan mengevakuasu 80 orang korban.
Banjir Bandang Akibat Badai Elsa di AS
Di Kota New York, Amerika Serikat dilaporkan AFP, terjadi banjir bandang pada 9 Juli lalu yang menyebabkan sejumlah stasiun kereta bawah tanah terendam hingga menyebabkan akses jalan-jalan utamanya terputus.
“Ini disebabkan Badai Elsa yang mulai menerjang AS pada Kamis (8/7/21). Badai ini bergerak ke Pantai Timur AS setelah menerjang Florida dengan hujan lebat yang disertai angin kencang,” demikian disampaikan National Weather Services (NSW) atau pihak layanan pemantau cuaca setempat.
Hujan deras disertai kilat dan guntur ini, lanjur mereka dikabarkan terjadi selama 12 jam. Banjir bandang pun tak terelakkan yang menyebabkan ruas-ruas jalan utama seperti Bronx, ditutup sementara hingga lalu lintas terganggu.
“Hujan lebat ini menyebabkan banjir bandang yang semakin meluas ke beberapa tempat,” demikian disampaikan pihak NSW.
Baca Juga: Al Jumail, Kota Hantu Penuh Misteri di Qatar
Para pengendara motor yang melintas di sekitar lokasi terjadinya banjir pun diselamatkan oleh pihak kepolisian, meski beberapa dari mereka menyempatkan untuk mengabadikan momen terjadinya banjir di stasiun 157th Street, bagian utara Manhattan.
Kepala otoritas Transportasi Umum New York, MTA, Sarah Feinberg mengatakan jalur utama kereta sangat terdampak banjir kala itu. Bahkan, para penumpang saja kesulitan melewati kawasan sekitar peron. “Mereka mengarungi air kotor untuk mencapai peron. Jalur 1 dan A benar-benar terkena dampak,” kata Sarah.
Ia mengungkapkan, banjir yang terjadi kali ini menunjujkan anomali. Pasalnya, sejumlah titik yang biasanya aman dari banjir kali ini tergenang. “Ini benar-benar banjir parah yang menggenangi stasiun,” pungkasnya.
12 Orang Tewas Akibat Banjir Bandang Tiongkok
Banjir bandang juga dilaporkan terjadi di provinsi Henan, Tiongkok yang padat penduduk pada 19 Juli. DW melaporkan 12 orang tewas, lima orang terluka parah, dan ribuan lainnya dievakuasi akibat bencana alam ini.
Presiden Tiongkok, Xi Jinping, menyatakan banjir yang mematikan di Henan ini situasinya sangat parah dan mematikan yang melanda negaranya.
“Beberapa sungai telah melampaui tingkat pemantauan, beberapa bendungan jebol, sementara beberapa layanan kereta api telah terhenti dan penerbangan dibatalkan, menyebabkan banyak korban dan kerugian harta benda. Upaya pengendalian banjir menjadi sangat sulit,” jelasnya.
Stasiun cuaca Provinsi Henan mengamini pernyataan Presiden Xi. Ia menyebut ini merupakwn bencana alam terdahsyat akibat hujan lebat yang terjadi dalam 1.000 tahun.
“Zhengzhou menjadi wilayah yang terdampak banjir paling parah. Hujan lebat menyebabkan banjir di jalan-jalan utama dan menyebabkan sungai-sungai besar meluap pada Selasa, 20 Juli,” demikian disampaikan mereka.
Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) turut melaporkan badai telah merusak bendungan Yihetan di dekat kota Luoyang. Mereka juga mengeluarkan peringatan kalau bendungan bisa runtuh kapan saja akibat banjir ini. “Bendungan berpotensi runtuh setelah retakan sepanjang 20 meter muncul di bendungan tersebut,” kata pihak militer.
Banjir London Ganggu Layanan Rumah Sakit
Terkini, banjir besar yang disebabkan hujan lebat disertai petir terjadi di London, Inggris pada Senin (26/7/21) kemarin. AFP melaporkan, banjir merendam jalan utama hingga stasiun kereta bawah tanah yang ada di sana.
Wali Kota London, Sadiq Khan mengatakan pihaknya segera menurunkan tim darurat untuk menangani banjir parah yang melanda hampir seluruh wilayah kotanya.
Sejumlah layanan transportasi publik pun terganggu. Khan meminta warganya untuk menjauhi kawasan yang dilanda genangan air luar biasa ini.
“Kami memperingatkan warga skal potensi terjadinya curah hujan hingga 10 sentimeter di sejumlah daerah. Ini hampir dua kali lipat dari rata-rata curah hujan dalam satu bulan setiap Juli,” terangnya.
Juru bicara Transportasi untuk London (TfL) mengamini banyak lintasan rel kereta dan kereta bawah tanahnya yang terpaksa berhenti beroperasi akibat banjir ini.
“Dengan sejumlah rute bus dialihkan dan beberapa layanan rel kereta terkena dampak hingga stasiun ditutup, kami mengimbau pelanggan memeriksa informasi terbaru sebelum bepergian demi menjamin keselamatan,” jelas mereka dilansir dari CNN.
Meski tidak menyebabkan korban jiwa, namun akses sejumlah rumah sakit di London, seperti Newham University Hospital dan Whipps Cross University Hospital ikut terdampak.
Pihak Barts Health NHS Trust bahkan menyampaikan informasi kalau layanan rumah sakit itu hanya tersedia bagi pasien gawat darurat. “Sementara lainnya kami minta untuk ke rumah sakit lain jika bisa, demi membantu kami mencari solusi terlebih dulu,” jelas mereka.
Tanda Krisis Iklim
Menyikapi fenomena ini, Juru Kampanye Greenpeace, Arifsyah Nasution mengatakan fenomena banjir bandang yang melanda berbagai negara ini memang menunjukkan kalau perubahan iklim memang semakin mendekati titik krisisnya.
Ia menyebut hal ini dipicu oleh akumulasi emisi karbon yang semakin merusak atmosfer Bumi. Ke depan, ia memprediksi akan semakin banyak negara yang dilanda banjir dahsyat serupa.
“Dalam pandangan kami peristiwa bencana alam seperti yang terjadi di Amerika, Eropa, Jepang, dan Cina merupakan salah satu bukti kalau perubahan, bahkan krisis iklim sudah terjadi. (Prevalensinya) akan semakin sering terjadi dan berdampak luas karena memang ada peningkatan emisi karbon di atmofer kita hasil akumulasi beberapa dekade terakhir,” jelas Arifsyah kepada Asumsi.co, Selasa (27/7/21).
Menurutnya, hal ini menjadi panggilan penting bagi berbagai pemimpin dunia bahwa saat ini, kondisi Bumi dan iklim semakin rusak dan berpotensi tidak bisa tertanggulangi bila terlambat menyikapinya.
“Saat ini, kita berada di di tepi jurang pemusnahan masal akibat perbuatan manusia sendiri. Mitigasi yang bisa dilakukan, lebih bijak dalam menentukan proyek pembangunan dan perlu benar-benar adaptasi memantau siklus cuaca dan mengenali gejala perubahannya. Hindari membangun di kawasan hijau,” jelas dia.
Manajer Kampanye dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Dwi Sawung mengaku prihatin bencana banjir yang sifatnya semakin ganas hingga menelan banyak korban jiwa.
“Ini memprihatinkan sampai menyebabkan korban jiwa banyak. Buka cuma cuaca semakin ekstrem, ini adalah tanda kalau alam semakin rusak dan dampak kerusakannya tidak terkendali lagi hingga berbalik menjadi bencana buat manusia,” katanya saat dihubungi terpisah.