Internasional

Al Jumail, Kota Hantu Penuh Misteri di Qatar

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: CNN

Sebuah kota hantu ditemukan di sekitar kawasan barat laut Qatar. Suasana dan pemandangannya membuat kita seketika teringat pada Planet Tatooine, yang merupakan tempat tinggal Luke Skywalker di jagad sinema Star Wars.

Bekas Pemukiman Nelayan

Kota hantu ini sebenanya hanyalah julukan untuk bekas pemukiman warga bernama Al Jumail. Melansir CNN, warga setempat meninggalkan pemukiman mereka yang tradisional ini untuk pindah ke ibu kota modern di Doha.

Bila dilihat di peta, Al Jumail berada di bagian atas wilayah Qatar. Eksistensi Al Jumail beserta warganya memiliki sisi misterius. Peneliti setempat menyebut kawasan ini ditinggalkan pada paruh kedua abad ke-19 dan ditempati oleh nelayan. 

“Ini sebenarnya adalah kampung nelayan. Sisa bangunannya yang luas menunjukkan kampung ini penting untuk dihuni pada zamannya,” ujar ahli arsitektur Teluk, Ronald William Hawker.

Ia menambahkan, tempat tinggal warganya tampak dibangun tepat di atas garis air pasang. Meski berada di tengah gurun pasir, namun sektor perikanan menjadi mata pencaharian utama para warga  Al Jumail.

“Di sekitar dataran, tempat tinggal pemukiman yang dekat dengan titik lokasi laut mengalami pasang surut penuh dengan perangkap ikan. Perangkap ini diandalkan untuk meangkap ikan-ikan ini saat air laut surut,” jelasnya.

Dari jejak-jejak yang ditinggalkan, juga terlihat adanya perahu kecil yang dimanfaatkan warga untuk berlayar melalui perairan dangkal dan di sekitar perairan dan dekat kawasan terumbu karang.  

Tinggalkan Kesan Estetik

Sejauh mata memandang, sisa-sisa peninggalan yang terlihat adalah rumah tua dengan dinding dan pilar tinggi. Pintu masuknya menyerupai gerbang lorong agar akses visual dari luar ke dalam ruangan rumah terhalangi.

Bangunan-bangunan yang sudah runtuh juga terlihat di beberapa sudut bekas pemukiman. Alih-alih menakutkan, suasana ini malah membuat pemandangan sekitarnya terlihat estetik dan cantik. 

Ronald William Hawker mengatakan pada masanya, warga setempat memilki budaya masak dengan kayu bakar dan sering menyantap ikan tangkapan mereka dengan dilengkapi kurma.

“Mereka senang berkumpul bersama dengan keluarga besar mereka dan tidak diizinkan untuk membangun tempat tinggal sampai terlihat ke halaman tetangga,” terangnya.

Masyarakat nelayan ini mulai meninggalkan Al Jumail setelah abad ke-18 untuk berbondong-bondong pindah ke Doha di musim dingin, setelah ditemukannya minyak sekitar tahun 1930. Hal ini disampaikan Ahmed Mohammed Srour, salah satu masyarakat nelayan yang sempat merasakan pengalaman hidupnya pada masa itu.

“Pada masa kami tinggal di Teluk, kami bekerja mencari mutiara. Ini pendapatan awal negara ini. Kami mulai bekerja dari pagi buta sampai waktu Maghrib,” ucapnya. 

Reruntuhan di sekitar Al Jumail kini mengarahkan ke jalan utama menuju Al Zubarah yang merupakan satu-satunya Situs Warisan Dunia UNESCO Qatar. Kawasan ini menjadi salah satu pusat perdagangan penting di abad ke-18.

Baca Juga: Desainer Perancis Bikin Kereta Canggih dengan Suasana Bak Istana

Pengamat Peradaban dan Teknologi Timur Tengah dari Universitas Komputer Indonesia (Unikom), WT Daniealdi, menilai bukanlah sesuatu yang istimewa adanya pemukiman tradisional di Qatar yang ditinggalkan masyarakatnya demi kehidupan yang lebih modern di lingkungan tambang minyak.

Pasalnya, masyarakat Timur Tengah memiliki sifat terbuka terhadap perubahan peradaban dan mereka terbiasa berpindah-pindah tempat tinggal untuk bertahan hidup. Ia mengatakan masyarakat Timur Tengah seperti di Qatar ini memang terbiasa dengan adanya penyerbukan kebudayaan. 

“Kalau dibilang konservatif atau kolot segala macam, keliru. Masyarakat Timur Tengah ini suku bangsa tertua yang ada di muka bumi dan paling terbuka dengan gaya hidup baru. Ketika masyarakat di Al Jumail pindah ke Doha karena dianggap kehidupan mereka di sana bisa lebih baik karena tidak perlu lagi bergantung pada penghasilan dari laut, tentu ini wajar,” kata pria yang akrab disapa Aldi ini kepada Asumsi.co, Sabtu (24/7/21).

Pusat Kapitalisme Global

Daniealdi menyebut eksistensi masyarakat Timur Tengah di peradaban global itu tak terhingga tahunnya. “Sejak ada awalnya manusia di muka bumi, masyarakat Timur Tengah sudah ada. Mereka lebih tua dari suku bangsa manapun termasuk Tiongkok, yang kalau saya boleh mengutip Profesor Kishore Mahbubani, Tiongkok itu usia mereka di peradaban adalah 2000 tahun,” ujarnya.

Menurutnya, kalau bukan karena mampu beradaptasi dengan perubahan zaman serta bersedia hidup nomaden, maka tidak mungkin suku bangsa berusia ribuan atau bahkan puluhan juta tahun ini bisa bertahan hingga hari ini.

“Ya, mana mungkin masyarakat suku bangsa paling tua di muka bumi bisa bertahan kalau bukan karena pintar beradaptasi. Sejarah ribuan tahun juga menunjukkan kalau pusat kapitalisme global pada masanya itu ada di Timur Tengah,” ucapnya.

Ia mencontohkan, keberadaan berhala di zaman nabi itu yang diperjualbelikan secara komersial di Timur Tengah menunjukkan kalau bisnis kapitalisme sudah ada sebelum adanya peradaban canggih seperti sekarang.

“Kemudian berabad-abad kemudian saat era Yunani dan Romawi kuno melakukan pengenalan budayanya ke berbagai belahan dunia. Di negara-negara Timur Tengah ada tulisan Romawi dan peninggalan tulisan Yunani juga. Artinya masuknya dua budaya ini, diterima di sana. Kemudian Timur Tengah bagian dari pusat perdagangan jalur sutra, artinya pusat kapitalisme. Suku bangsa di sana itu juga kan, sebutannya quraisy artinya adalah orang yang suka berjalan-jalan. Jadi, citra mereka sebagai masyarakat yang adaptif sudah dari peradaban kuno,” jelas dia.

Aldi menambahkan, Kota Baghdad merupakan salah satu contoh kota yang tadinya kosong, justru malah menjadi ramai dan pusat peradaban baru manusia, khususnya umat Islam. 

“Baghdad ini dulunya kota kosong sampai akhirnya dibangun oleh Khalifah Al-Mansyur. Jadi, masyarakat Timur Tengah adalah bangsa tertua di muka bumi dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Mereka adalah suku bangsa dengan kemampuan adaptasi paling mutakhir dengan peradaban yang paling diunggulkan merka bukan teknologi atau bangunan, melainkan bahasa yang dimanfaatkan sebagai artefak kognitif manusia yang menunjukkan kemampuan mereka untuk mengorganisir peradaban baru,” tandasnya.

Share: Al Jumail, Kota Hantu Penuh Misteri di Qatar