Gembar-gembor vaksinasi swadaya sudah mulai berhembus sejak Mei lalu. Pemerintah RI menyatakan program ini bertujuan untuk menggenjot target penerima dosis vaksin di Indonesia demi terwujudnya herd immunity sekaligus menekan laju penyebaran virus Corona. Namun belum efektif dua bulan kebijakan itu berjalan, persoalan terus bergulir bak bola salju.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sebagai penghubung antara pengusaha dan pemerintah pusat menyatakan komitmen mereka untuk memfasilitasi keinginan perusahaan swasta menggelar vaksinasi massal bagi karyawan. Dalam keterangan pers yang diterima Asumsi.co, Ketua Umum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid mengatakan pihaknya akan melakukan pendataan perusahaan, kemudian menjadi penghubung dengan Bio Farma dan Kimia Farma selaku pelaksana serta distributor vaksin.
Kadin mencatat, hingga 13 Juli, sudah lebih dari 28 ribu perusahaan yang mendaftar dengan 10,5 juta peserta mencakup karyawan dan keluarga karyawan. Namun, Kadin baru mengalokasikan 330 ribu dosis untuk 165 ribu peserta di tahap pertama, kemudian 600 ribu dosis untuk 300 ribu peserta di tahap kedua.
Arsjad menjadwalkan tahap ketiga alokasi vaksin sebanyak 1 juta dosis untuk 500 ribu peserta bisa terlaksana. Saat ini, pihaknya masih berusaha menyelesaikan pelaksanaan vaksin di tahap pertama dan kedua.
“Saat ini kami lebih intens berkoordinasi dengan semua pihak agar vaksinasi untuk dunia usaha ini bisa cepat pelaksanaannya sesuai dengan yang kita harapkan,” ujar Arsjad.
Baca Juga: Target Vaksinasi Terus Naik, Apa Mungkin Terkejar? | Asumsi
Sementara Ketua Umum Kadin periode 2015-2020, Rosan Roeslani yang sempat menangani proses vaksinasi gotong royong itu menyebut belum ada data terbaru selain 28.400 perusahaan yang sudah tercatat sebagai peserta vaksinasi gotong royong di masa jabatannya.
“Belum ada data lainnya,” katanya saat dihubungi Asumsi.co.
Sebelumnya, Rosan menyebut per 28 Juni hanya ada 500 perusahaan dari total 28 ribu lebih peserta. Ini artinya, belum ada lima persen dari total pendaftar yang melakukan vaksinasi gotong royong.
Menurut dia, masih rendahnya angka vaksinasi gotong royong juga disebabkan oleh macetnya pasokan dosis vaksin ke Indonesia. Sebagai informasi, sejauh ini program tersebut hanya menggunakan vaksin Sinopharm. Sebanyak 1,4 juta dosis vaksin Covid-19 buatan Tiongkok itu baru datang pada Selasa (13/7/2021) lalu.
Komersialisasi dan keterbatasan dana perusahaan
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan buruh Indonesia mendukung upaya pemerintah untuk melawan pandemi Covid-19 dengan cara melakukan vaksinasi. Namun, Presiden KSPI Said Iqbal mempermasalahkan kemungkinan komersialisasi yang dilakukan segelintir orang untuk mengambil keuntungan.
“Setiap transaksi jual beli dalam proses ekonomi berpotensi menyebabkan terjadinya komersialisasi oleh produsen yang memproduksi vaksin dan pemerintah sebagai pembuat regulasi,” kata Said kepada Asumsi.co, Kamis (15/7/2021).
Ia meminta Kadin sebagai jembatan antara pengusaha dengan pemerintah memastikan vaksin gotong royong untuk buruh tetap gratis. Gembar-gembor program yang sudah berjalan sejak Mei itu diminta tetap sesuai rencana dan amanat konstitusi. Sebab menurutnya, realisasi vaksin yang mandeg juga disebabkan oleh kondisi finansial perusahaan yang berbeda.
Baca Juga: Benarkah Indonesia Geser India Puncaki Kasus Covid-19 di Asia? | Asumsi
Said memperkirakan, jumlah perusahaan menengah ke atas yang mampu membayar vaksin tidak lebih dari 10 persen dari total jumlah perusahaan di Indonesia. Dengan kata lain, hanya 20 persen dari total jumlah pekerja di seluruh Indonesia yang perusahaannya mampu membayar vaksin gotong royong tersebut.
Ini artinya, hampir 90 persen dari total jumlah perusahaan di seluruh Indonesia atau lebih dari 80 persen dari total jumlah pekerja di Indonesia, perusahaannya tidak mampu membayar vaksin gotong royong.
“Maka ujung-ujungnya akan keluar kebijakan pemerintah bahwa setiap pekerja buruh harus membayar sendiri biaya vaksin gotong royongnya. Jika ini terjadi apakah Kadin dan Apindo akan ikut bertanggungjawab? Jangan membuat kebijakan yang manis di depan tapi pahit di belakang bagi buruh Indonesia,” ucapnya.
Said menyampaikan jumlah buruh formal sekitar 56,4 juta orang, sedangkan buruh informal sekitar 75 juta orang. Dengan demikian, total jumlah buruh di Indonesia dapat mencapai 130 juta orang. Ia mempertanyakan apakah perusahaan mampu membayar seluruh biaya vaksinasi tersebut.
“Kalau harga vaksin gotong royong Rp800-an ribu dikalikan 130-an juta buruh, maka dana yang harus disediakan mencapai Rp104 triliun. Begitu pula secara individu, tidak semua warga negara mempunyai kemampuan bayar secara mandiri,” kata dia.
Vaksinasi gotong royong belum efektif
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menyatakan program vaksinasi gotong royong belum efektif karena realisasi yang tersendat mengakibatkan peserta vaksinasi satu demi satu mengundurkan diri.
Ia sepakat dengan tujuan vaksinasi gotong royong dilakukan untuk menggenjot angka penerima vaksin dalam lingkup nasional. Namun setelah menyaksikan realisasinya, ia merasa program tersebut terkesan kontradiktif.
“Ini tidak efektif karena pada awalnya, perusahaan punya animo tinggi karena mendapat stimulus dari pemerintah dan harapan baiknya,” kata Trubus saat dihubungi Asumsi.co.
Baca Juga: Viral Tampilkan Saturasi Oksigen Pensil, Ini Tips Cek Keaslian Oximeter | Asumsi
Trubus menyayangkan keputusan perusahaan yang mengundurkan diri dari program vaksinasi gotong royong karena akan memperlambat target vaksinasi nasional. Namun di satu sisi, ia tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada perusahaan karena realisasi dari hulu pemerintahan yang mandek.
“Memang tak elok ketika di awal sudah komitmen. Mungkin mereka (perusahaan) memiliki keraguan dan kekhawatiran itu menjadi nyata,” ujarnya.