Belum tuntas polemik Work from Bali yang dicanangkan Menteri
Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, kini
muncul wacana “Work from Solo”. Dicanangkan oleh Wali Kota Surakarta
yang juga putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, wacana ini juga
punya alasan sama: Mendukung destinasi wisata lokal yang ambruk karena pandemi.
Namun, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti,
Trubus Rahadiansyah, menilai hal ini bisa menimbulkan kecemburuan dari
pengelola destinasi pariwisata lainnya. Sebelum “Work from Solo”,
beberapa hari ke belakang, Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta juga
tergiur melakukan program yang sama untuk daerahnya.
“Ya pasti ini akan menimbulkan kecemburuan. Karena
harusnya sejak awal tidak perlu menyebut lokasi. Cukup “Work from
Destination” misalnya. Kan destinasi pariwisata Indonesia bukan hanya
Bali,” kata Trubus kepada Asumsi.co, Minggu (30/5/21).
Lagi pula perlu dicermati lebih dulu terkait pelaksanaan
kebijakan ini. Menurut Trubus, mau bekerja dari mana pun, syarat dan kondisi
yang untuk memerintahkan Aparatur Sipil Negara bekerja dari daerah tertentu
harus disiapkan secara matang.
Baca juga: Gibran Pecat Bawahan, Pencitraan 100 Hari Jadi Wali Kota?
Sepanjang pengetahuannya saat ini belum ada kejelasan
anggaran dari mana ongkos untuk para ASN ini bekerja di destinasi wisata.
“Dari tujuh kementerian ini mau menggunakan anggaran yang mana? Malah
menurut saya ini kontraproduktif dengan permintaan Kementerian Keuangan yang
hendak melakukan penghematan (anggaran),” ucap dia.
Pertanyaan yang sama adalah siapa saja ASN yang
diberangkatkan. Dan bagaimana pemantauannya saat mereka sampai dan bekerja di
destinasi wisata tertentu.
”Akan lebih banyak jalan-jalannya atau bekerjanya? Itu
juga sulit nanti pengawasannya. Malah kesannya yang muncul nanti kayak piknik
gratis saja,” ucapnya.
Menurut Trubus dalam teori kebijakan publik dikenal yang
namanya cost and benefit. Kalau melihat dari wacana kerja dari tempat wisata,
antara ongkos dengan keuntungannya masih lebih mahal ongkosnya. Sementara,
keuntungannya, Trubus menilai belum bisa diukur dengan baik.
”Jadi saya kira kebijakan ini belum tepat. Waktunya
sendiri enggak mendukung. Apalagi di tengah kasus Covid-19 yang sedang
merangkak naik,” ucap dia.
Tidak Bijak
Epidemilog dari Griffith University Australia Dicky Budiman
menyebut kebijakan bekerja dari tempat wisata tidak bijak karena situasi
pandemi Covid-19 yang sedang serius. Kondisi ini merata terutama Jawa dan Bali.
Dengan begitu pergerakan orang menjadi cukup rentan pada penularan.
“Baik di perjalanan maupun di tujuan. Kondisi Bali
sendiri kan bukan dalam kondisi yang terkendali. Bali bukan salah satu daerah
yang masuk radar minimum requirement test WHO. Sehingga pemahaman terhadap
kondisi pandemi di wilayah ini sangat minim,” kata Dicky kepada dihubungi terpisah.
Kalau pun mau membuat kebijakan seperti ini, hendaknya
menunggu sampai Juli. Karena perlu diperhatikan dulu lonjakan kasus yang
terjadi di bulan Mei dan Juni mengingat kemarin sempat ada arus mudik.
”Potensi meledak kok ini. Serius banget. Jadi kalau
ada yang menyebut ini (aman), situasi ekonominya mungkin paham, tapi tidak
memahami situasi pandemi. Dan ini berbahaya,” ucap dia.
Kebijakan ini pun tak mempertimbangkan azas keadilan untuk
daerah lain. Karena pukulan pandemi pada ekonomi adalah sama. “Jadi
bekerja ya bekerja saja. Bukan dari Bali tapi dari rumah. Kalau mau pulihakan
Bali ya kendalikan situasi pandeminya. Pandeminya belum pulih mau kerja di mana
pun akan jadi masalah. Makanya ini bukan solusi di tengah pandemi yang tidak
terkendali,” ucap dia.
Sebelumnya, mengutip Liputan 6, Wali Kota Surakarta Gibran
Rakabuming Raka siap mengajukan program “Work From Solo” atau bekerja
dari Solo untuk mendukung pemulihan pariwisata lokal.
Baca juga: Kaesang-Erick Thohir Jadi Pemilik Saham, Bisakah Persis Solo Berjaya?
Menurut Gibran, Solo yang nyaman potensial untuk melakukan
program seperti yang dicanangkan Luhut di Bali. Saat ini usulan tersebut memang
belum ia ajukan. Tetapi dari segi fasilitas, Gibran yakin kotanya siap.
”Teman-teman hotel juga sudah divaksin semuanya,”
katanya.
Terkait hal itu, Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD)
Kota Surakarta siap mendukung program “Work From Solo”. Menurutnya
Kota Solo jadi kota yang dijuluki kota ternyaman. Selain itu, vaksinasi juga
sudah berjalan dengan cepat pada sektor kepariwisataan, baik dari Perhimpunan
Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) maupun Asita.
Sementara Kompas, menyebut Kepala Dinas Pariwisata Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) Singgih Raharjo juga mengusulkan hal yang sama.
Mengingat, amenitas atau fasilitas pendukung pariwisata di Yogyakarta juga tak
kalah dengan Bali.
Singgih menyampaikan, koneksi internet di Yogyakarta, baik
itu di hotel-hotel maupun di destinasi wisata juga dinilai mumpuni untuk
bekerja melalui daring.