Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tengah menyiapkan rencana kenaikan tarif pajak di tahun depan, di antaranya adalah tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Nah, kenaikan pajak ini membidik orang-orang super kaya alias konglomerat di Indonesia.
Pajak Buat Konglomerat Naik 5%
Melansir CNBC, Menkeu mengatakan, perubahan tarif ini akan tertuang dalam revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Namun ia menekankan perubahan tarif PPh OP dan PPN ini hanya berlaku bagi orang super kaya saja. Kenaikan PPh OP ditujukan bagi konglomerat dengan penghasilan bulanan Rp 5 miliar ke atas.
“Untuk high wealth individual itu kenaikan tidak terlalu besar, dari 30% ke 35%, dan itu untuk mereka yang pendapatannya di atas Rp 5 miliar per tahun,” ujarnya saat rapat kerja bersama dengan Komisi XI DPR RI, Senin (24/5/2021).
Ia menambahkan, peningkatan tarif PPh OP untuk orang super kaya ini diberikan demi menciptakan keadilan di tengah masyarakat. Sebab, saat ini hanya sedikit masyarakat yang masuk ke golongan tersebut.
“Itu hanya sedikit sekali orang di Indonesia yang masuk dalam kelompok itu. Mayoritas masyarakat kita masih tidak berubah dari sisi bracket atau tarifnya,” ucapnya.
Sementara itu, rencana kenaikan PPN di tahun depan sudah bergulir sejak bulan lalu. Wacana ini pun mendapat kontroversi dari para ekonom dan pelaku usaha.
Baca juga: Banyak PHK, Gaji Para Eksekutif di AS Tetap Selangit! | Asumsi
Terkait hal tersebut, Menkeu mengaku pihaknya hanya ingin menciptakan kebijakan pajak yang adil untuk masyarakat. Oleh karenanya, PPN akan diubah menjadi multi tarif. “Kami melihat PPN jadi sangat penting dari sisi keadilan atau jumlah sektor yang tidak dikenakan atau dikenakan,” ucapnya.
Menurutnya dengan multi tarif ini, maka barang atau jasa yang tergolong mewah akan dikenakan tarif lebih tinggi dibandingkan dengan non mewah. Tarif yang berlaku sekarang adalah 10%. Ia mengatakan terdapat multi tarif yang akan menggambarkan kepentingan afirmasi.
“Kami juga kan perlu fasilitas PPN yang lebih rendah untuk barang/jasa tertentu, tapi juga PPN yang lebih tinggi untuk barang yang dianggap mewah, sedangkan untuk GST atau PPN Final diberlakukan untuk barang/jasa tertentu. Ini untuk membuat rezim PPN kita lebih comparable dan kompetitif dengan negara lain,” ujarnya.
Menyikapi rencana ini, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudistira menilai, kenaikan tarif pajak bagi konglomerat sebesar 5% masih terlalu kecil.
“Masih telalu kecil kalau hanya 35%. Sebelumnya kan 30%. Naiknya cuma 5%. Saran saya sih kenaikannya 40 sampai 45% kalau arahnya menargetkan lebih banyak pajak yang ditarik dari orang-orang super kaya di negara kita,” kata Bima kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Selasa (25/5/21).
Selain itu, menurutnya, pemerintah sebaiknya bukan cuma meningkatkan tarif PPh OP dan PPN buat konglomerat, melainkan juga menerapkan biaya pajak buat aset mereka.
“Nah ini juga penting. Ini dua hal yang berbeda. Penghasilan kan penerimaan dari tahun berjalan, sedangkan aset adalah dari tahun-tahun yang sebelumnya. Itu seharusnya juga diberikan pajak yang tinggi, disertai dengan pajak atas warisan juga penting untuk mengurangi ketimpangan sosial,” ujarnya.
Baca juga: Jakarta Masuk Daftar 25 Kota Termahal Dunia, Kok Bisa? | Asumsi
Kenapa Baru Sekarang?
Bima tak heran pemerintah baru sekarang menerapkan kebijakan kenaikan pajak buat orang tajir. Menurutnya, kebijakan ini sebenarnya sudah lama dipertimbangkan pemerintah. Akan tetapi, alasan politik yang menyebabkan lama diimplementasikan.
“Ini hambatannya bukan bersifat data, tapi lebih bersifat political will. Perlu kita tahu juga banyak orang kaya yang menyumbangkan hartanya saat pilpres, punya bisnis atau berada di lingkaran kekuasan saat ini,” tuturnya.
Ia mengharapkan rencana ini bisa dijalankan dengan sungguh-sungguh tanpa adanya hambatan negosiasi dari para konglomerat untuk menawar biaya pajak yang harus dibayarkan oleh mereka.
“Keinginan pemerintah memajaki orang kaya dengan kenaikan yang lebih tinggi memang ide lama, tapi sulit terlaksana karena dihambat secara politis. Padahal penghindaran pajak oleh orang kaya sudah banyak diungkap dalam dokumen-dokumen internasional,” kata Bima.
Ia mencontohkan, salah satu dokumen yang menunjukkan banyak konglomerat menghindar membayar pajak adalah “Panama Papers” yang ramai menjadi sorotan publik pada tahun 2016.
“Itu isinya kan, orang-orang kaya di Indonesia yang sengaja menghindari pajak dengan membawa kabur uangnya ke negara seperti Panama. Datanya lengkap, tapi pemeriksaannya dianggap terlalu bertele-tele dan memakan waktu yang terlalu lama. Ini karena memang ada kepentingan politik,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Bima menjelaskan, saat ini pemerintah benar-benar sedang membutuhkan uang dari pajak para konglomerat. Bukan cuma butuh untuk menambah kocek penanganan pandemi Covid-19, masalah utang negara juga jadi alasannya.
“Bukan sekadar pandemi karena yang dihadapi sekarang adalah beban bunga utang yang sebelum pandemi sudah meningkat. Jadi, beban bunga utang negara kita ini sudah cukup berat. Dari data Indef, beban bunga utangnya setara 19% dari penerimaan negara. Ini sudah besar sekali bisa dibilang di atas Rp 300 triliun per tahunnya,” katanya.
Banyak Konglomerat Semakin Kaya Saat Pandemi
Bima juga mengungkapkan hal menarik lainnya yang bikin pemerintah menaikkan pajak buat konglomerat. Selama pandemi, banyak dari mereka yang justru semakin bertambah kekayaannya.
Baca juga: Transaksi Uang Kripto Akan Dikenakan Pajak, Ini Kata Trader | Asumsi
“Terlihat di rasio gini yang meningkat selama pandemi. Kalau ini dibiarkan, maka bisa mengakibatkan jurang ketimpangan semakin besar,” kata peneliti Indef.
Ekonom dan Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Ina Primiana menimpali langkah Sri Mulyani yang bakal menaikkan pajak buat konglomerat merupakan hal yang tepat.
“Sebetulnya yang pendapatannya di atas Rp 5 miliar itu kan enggak terganggu secara ekonomi, apalagi pejabat, direksi atau komisaris BUMN, mereka enggak terganggu. Jadi, artinya yang terganggu di bawah itu. Ini sebetulnya proporsional,” ujarnya.
Senada dengan Bima, Ina mengharapkan kebijakan ini bisa diterapkan dengan baik dan para konglomerat bisa mematuhinya tanpa lobi-lobi politik.
“Ini harus dijalankan secara tegas dan harus bisa efektif. Kembali lagi sejauh mana pemerintah nanti bisa menerapkannya dengan sungguh-sungguh. Jangan sampai juga mereka nanti melarikan dananya ke luar negeri, seperti yang sudah-sudah, disimpan di sana supaya enggak kelihatan,” ujarnya.