Pandemi Covid-19 telah mendatangkan malapetaka di industri
perjalanan dan pariwisata secara global, termasuk Indonesia. Industri
pariwisata di negara ini melambat selama pandemi.
Kedatangan wisatawan asing turun 75% dari 16,11 juta pada
2019 menjadi hanya 4,02 juta pada 2020. Ini merupakan pukulan telak bagi
ekonomi pariwisata yang memasok 5,7% produk domestik bruto Indonesia dan
menyediakan 12,6 juta pekerjaan pada 2019.
Untuk menghidupkan kembali industri ini, pemerintah telah
meluncurkan pendekatan baru untuk mempromosikan pariwisata kelas atas.
Pariwisata kelas atas bertujuan untuk menghalangi
pertumbuhan pariwisata massal, yang seringkali tidak berkelanjutan. Pariwisata
ini menarik lebih sedikit turis tetapi mengeluarkan uang lebih banyak ketimbang
pariwisata massal pada umumnya.
Secara teori, hal ini mengurangi dampak lingkungan sekaligus
meningkatkan manfaat ekonomi.
Baca juga: Labuan Bajo: Antara Ambisi Wisata Super Premium dan Nasib Warga Lokal
Riset terbaru dari Marine Systems & Policies, University
of Edinburgh, di Taman Nasional Wakatobi, kawasan dengan keanekaragaman hayati
laut yang sangat tinggi yang tersebar di empat pulau utama di provinsi Sulawesi
Tenggara, menunjukkan keterbatasan pengembangan pariwisata kelas atas.
Meskipun mungkin menawarkan beberapa manfaat konservasi,
harga yang tinggi terbatas untuk melayani kelas masyarakat yang paling istimewa
dan hanya elit politik lokal yang memperoleh keuntungan.
Pengembangan pariwisata seharusnya lebih fokus pada
pemberian manfaat bagi masyarakat lebih dari sekadar keuntungan finansial. Harus
mendukung masyarakat lokal untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan
mereka untuk menjadi bekal mereka agar tahan terhadap krisis dan goncangan
ekonomi.
Wisata yang tidak
berkelanjutan
Selama enam bulan, riset membandingkan tiga tipe pariwisata,
yaitu kelas atas, berbasis sukarelawan, dan berbasis komunitas yang beroperasi
di Taman Nasional Wakatobi dengan tujuan melihat bentuk pengembangan pariwisata
mana yang paling membantu masyarakat untuk merespons krisis seperti Covid-19.
Taman Nasional Wakatobi adalah bagian dari inisiatif
pemerintah untuk mengembangkan destinasi pariwisata “berkualitas tinggi” di
seluruh negeri melalui apa yang disebut “10 Bali Baru”. Upaya ini bertujuan
untuk mempercepat perkembangan pariwisata di 10 destinasi baru di luar
destinasi wisata unggulan Tanah Air, Bali.
Menurut wawancara dengan dinas pariwisata daerah di
Wakatobi, pemerintah daerah telah menetapkan tujuan untuk meningkatkan jumlah
pengunjung dari 20.000 menjadi 100.000 pada tahun 2025 dengan mengandalkan
pengembangan pariwisata kelas atas.
Taman Nasional Wakatobi menjadi taman nasional pada tahun
1996 dan meliputi area seluas 13.900 kilometer persegi. Ada dua operator selam
milik asing yang terdapat di Pulau Tomia dan Hoga, sedangkan operator homestay lokal berkembang di seluruh
bagian Taman Nasional.
Operator selam untuk kalangan atas di taman nasional menjadi
studi kasus yang berharga dalam mencontohkan bagaimana pengembangan pariwisata
yang eksklusif dan mahal telah membuat masyarakat kurang tangguh dan tidak siap
menghadapi krisis.
Para tamu membayar antara USD 300 hingga USD 1.000 (sekitar
Rp5-15 juta) per orang untuk satu malam menginap.
Dari hasil ini, operator dapat membayar antara Rp1,25 dan
Rp7 juta untuk setiap desa (total 17) di sekitar Tomia setiap bulan sebagai
imbalan untuk menghentikan praktik penangkapan ikan yang merusak dan
menghindari penangkapan ikan di terumbu karang sepanjang 30 kilometer, termasuk
zona larang ambil (no-take zone)
Lebih lanjut, operator selam milik lokal tidak dapat membawa
tamu ke atau dekat terumbu karang resor milik asing tersebut.
Meski ini secara signifikan melindungi dan meningkatkan
sumber daya alam dan finansial, namun para nelayan dan operator selam lokal
sama-sama kehilangan agen dan kemampuan untuk memanfaatkan potensi terumbu
karang.
Selain itu, responden lain mencatat bahwa pembayaran tidak
sampai ke masyarakat secara langsung. Badan Permusyawaratan Desa (BPD), yang
dianggap sebagai “parlemen” desa setempat di era baru otonomi daerah,
mengontrol uang tersebut.
Responden merasa mereka tidak memiliki pendapat tentang
bagaimana BPD membelanjakan uang dari operator selam untuk kalangan atas
tersebut.
Mereka berargumen bahwa hal tersebut menguntungkan “elit
politik” lokal di BPD karena para politisi membelanjakan uang berdasarkan
“kemauan mereka, bukan kemauan masyarakat”.
“Yang dilakukan [operator kelas atas] itu benar, dengan
peraturan dan uang mereka, tetapi mereka memiliki tanggung jawab yang lebih
besar kepada masyarakat. Masyarakat tidak butuh uang, kami butuh keterampilan.
Jika mereka hanya memberi uang, itu hanya akan menguntungkan elit politik,”
kata salah satu responden.
Karena sifat resor yang eksklusif
dan tertutup, para tamu jarang berinteraksi dengan penduduk setempat. Mereka
sering menyebut ini sebagai titik frustrasi. Padahal, dengan adanya pertukaran
antarbudaya dan interaksi informal melalui operator homestay akan membantu meningkatkan sumber daya manusia dan
keterampilan masyarakat. Pada resor kelas atas, interaksi ini jarang terjadi.
Selain itu, tidak ada penduduk lokal dari taman nasional
yang mendapatkan pelatihan sebagai pemandu selam selama 25 tahun operator asing
menjalankan bisnis mereka.
Beberapa responden mampu mengidentifikasi peluang
peningkatan untuk mobilitas dan pelatihan keterampilan bagi staf lokal yang
dapat dilakukan oleh operator selam milik asing dan eksklusif tersebut.
Perkembangan pariwisata seperti itu mengingatkan pada
struktur kolonialis yang masih terjadi di Indonesia hingga hari ini, melalui
persetujuan elit pedesaan untuk mengambil keuntungan dan mengontrol sumber
daya, baik melalui eksploitasi atau mode konservasi modern saat ini.
Baca juga: 3 Tempat Wisata di Indonesia yang Berasal dari Eksploitasi Lingkungan
Pariwisata untuk
semua
Model wisata selam untuk kalangan atas, di mana daerah
perlindungan laut mendapatkan dana dan pengelolaan oleh swasta, memang telah
menghasilkan keuntungan dan berperan nyata dalam menjaga keanekaragaman hayati
laut dan keberhasilan konservasi.
Misool di Raja Ampat, pulau paling timur Indonesia, adalah
contoh wilayah yang telah melihat manfaat keanekaragaman hayati yang
substansial. Total biomassa cagar laut meningkat 250% hanya dalam enam tahun
karena model pariwisata untuk kalangan atas yang serupa dengan di Tomia,
Wakatobi.
Namun, siapa penerima manfaat dari kelestarian sumber daya
ini? Apa usaha yang dilakukan sehingga menjadi resilien? Mengapa?
Apabila jawabannya adalah untuk mendorong pertumbuhan
pariwisata di masa depan, maka model pariwisata seperti ini hanya terbatas pada
mereka yang cukup kaya untuk menyediakan dan mengakses pengalaman pariwisata
yang “berkualitas tinggi”.
Dalam hal ini, kita harus kembali melihat krisis yang sedang
dihadapi.
Dengan kegiatan pariwisata yang terhenti selama lebih dari
satu tahun, komunitas lokal harus menghadapi konsekuensi tanpa kesempatan untuk
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka, yang akan membantu memastikan
ketahanan mereka terhadap krisis semacam itu.
Selain itu, ancaman pasca-Covid-19, seperti perubahan iklim
yang membayangi daerah di mana pariwisata pernah berkembang pesat, maka
pengembangan pariwisata seharusnya terlebih dahulu dan terutama
mempertimbangkan komunitas lokal.
Seperti yang dikatakan salah satu responden dalam FGD:
“[Orang dari] Jakarta hanya ingin mengembangkan pariwisata kelas atas, tapi
saya tidak setuju. Pariwisata haruslah untuk semua orang yang datang
berkunjung, bukan hanya orang kaya.”
Artikel ini terbit
pertama kali di The Conversation dengan judul “Riset tunjukkan wisata
mewah di Indonesia gagal berdayakan penduduk lokal selama pandemi”