Nasabah Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) siap-siap bakal dikenakan biaya sebesar Rp2.500 per transaksi saat melakukan cek saldo melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Padahal sebelumnya transaksi ini bebas biaya. Apa alasannya?
Permudah Bank Mengecek Perilaku Nasabah
Informasi ini disampaikan langsung jajaran Himbara, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk melalui situs resmi mereka.
“Dalam rangka mendukung kenyamanan nasabah bertransaksi maka setiap transaksi cek saldo dan tarik tunai kartu BRI di ATM Bank Himbara atau ATM dengan tampilan ATM Link akan dikenakan biaya,” tulis BRI melalui situs resmi yang dikutip CNBC, Jumat (21/5/21).
Disampaikan bahwa biaya transaksi akan didebet langsung dari rekening nasabah pada saat nasabah melakukan transaksi. Sementara biaya transfer melalui ATM Link ke bank BUMN tetap sama Rp4.000 per transaksi. Untuk biaya tarik tunai di ATM Link oleh kartu non Bank BUMN dikenakan biaya Rp7.500, transfer Rp6.000, dan cek saldo Rp4.000.
Baca juga: Mengenal Digital Banking dan Apa Saja Keuntungannya untuk Nasabah
Menyikapi hal ini, praktisi ekonomi sekaligus konsultan keuangan OneShildt Financial Planning, Mohammad Andoko menilai, langkah Bank Himbara yang bakal memberlakukan biaya tambahan bagi nasabah yang melakukan pengecekan saldo di ATM mulai bulan depan, terlalu tergesa-gesa.
Semestinya, kata Andoko perlu ada jangka waktu untuk mempersiapkannya. “Menurut saya, perlu ada adjusment. Ini terlalu cepat dan pasti banyak yang kaget. Kurang dari sebulan ada aturan cek saldo kena biaya admin. Paling tidak 3 bulan lah sosialisasi dulu,” katanya saat dihubungi Asumsi.co melalui sambungan telepon, Jumat (21/5/21).
Ia menilai langkah Bank Himbara mengenankan biaya administtrasi bagi nasabah yang mengecek saldo lewat ATM merupakan upaya mereka mendorong nasabah menggunakan layanan perbankan secara daring, khususnya melalui aplikasi di gawai.
“Cuma persoalannya kalau anak muda, menurut saya enggak masalah karena mereka terbiasa dengan teknologi. Pola pikir mereka kan, kalau mau cek saldo ngapain ke ATM soalnya bisa online. Nah, buat orang tua dan pensiunan ini berpengaruh banget. Orang tua, khususnya pensiuanan ini banyak yang pakai jasa perbankan Himbara untuk menaruh uang sampai transfernya. Harus diperhatikan juga bagaimana mengarahkan mereka supaya mau pakai layanan online,” ucapnya.
Adapun melalui layanan daring seperti mobile apps, lanjutnya pihak perbankan jadi bisa mengetahui perilaku para nasabah terkait aktivitas apa saja yang paling banyak dilakukan nasabah saat menggunakan layanan perbankan.
“Kalau di aplikasi, pihak bank bisa tahu behavior nasabah paling banyak ngapain saja sih mereka kalau lagi transaksi atau pakai layanan perbankan. Kalau di ATM enggak bisa. Jadi, memang sekalian supaya mereka punya data perilaku nasabah kayak jam berapa saja yang ramai mengecek saldo dan sebagainya. Cuma buat saya ada dua sisi, bagi yang enggak melek teknologi ini jadi merepotkan dan mereka harus mulai dibiasakan pakai layanan online. Memang ini fokusnya sepertinya untuk menggenjot pemakaian aplikasi mobile dan layanan internet banking,” jelasnya.
Andoko menilai saat ini bank-bank yang ada di Indonesia memang sedang menghadapi masalah dari segi pemasukan akibat dampak pandemi Covid-19 yang berkepanjangan. Biaya administrasi yang ditarik dari pengecekan saldo ini, kata dia sangat mungkin diberlakukan sebagai bagian dari pemasukan mereka.
Memahami kondisi ini, dirinya menyarankan bila Bank Himbara tetap mau memberlakukan aturan ini, maka perlu ada batas nasabah akan dikenakan biaya tambahan supaya mereka juga tidak terbebani.
“Menurut saya sebaiknya dibuat aturan misalnya 2 kali cek saldo di ATM kena charge setelah itu gratis dalam sehari. Kalau enggak ada batasan, 10 kali saja kita cek saldo artinya sudah keluar uang Rp25.000,” ungkapnya.
Tak hanya itu biaya yang dikenakan menurutnya perlu disesuaikan ulang karena Rp2.500 terasa masih terlalu besar hanya untuk sekedar mengecek saldo rekening. “Rp2.500 ini kemahalan karena pakai OVO, buat transfer saja cuma dikenakan Rp1000. Jadi, bisa disesuaikan ulang lah besaran biayanya,” tuturnya.
Berpotensi Rugikan Nasabah
Ambisi Bank Himbara supaya layanan mobile banking milik mereka jadi super app memang pernah disampaikan Direktur Operation, IT, and Digital Banking BTN Andi Nirwoto. Ia mengatakan perseroan terus berupaya untuk mendorong kenyamanan nasabah dalam menggunakan mobile banking.
“Kami akan fokus pada pengembangan super app. Itu berbasis tetap pada bisnis kami KPR,” katanya, seperti dikutip dari Tempo.
Baca juga: Geger Seleb TikTok Sukses Endorse Bank Digital Hingga 1,5 Juta Akun
Namun, ekonom senior sekaligus Direktur Eksekutif Instite for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai tidak semudah itu mengarahkan orang tua atau kalangan yang kurang melek teknologi untuk migrasi menggunakan layanan perbankan dari ATM ke mobile banking.
“Menurut saya yang jadi problem, kalau orang mau migrasi layanan ke online ini butuh trust. Tidak semua masyarakat memahami dan sangat trust dengan digital banking karena isu keamanannya. Menurut saya keinginan mendorong pemakaian mobile apps dengan mengenakan biaya cek saldo tidak tepat,” katanya saat dihubungi terpisah.
Menurutnya hal ini dilakukan Bank Himbara semata-mata demi keuntungan mengejar profit di masa pandemi karena layanan kredit mereka yang sangat terdampak situasi saat ini.
“Kondisinya sekarang memang kredit tidak tersalurkan. Sumber penghasilan perbankan sebagian besar memberikan kredit, baik kredit konsumsi, kredit modal kerja maupun investasi. Disebabkan setahun lebih tidak ada sumber pemasukan yang signifikan dari kredit bahkan terkontraksi, otomatis mereka mengalami penurunan keuntungan. Saya termasuk yang menolak untuk pungutan cek saldo. Menurut saya tidak pas bahkan merugikan konsumen karena kepentingannya bank cuma mengejar profit,” jelasnya.
Tauhid menilai masyarakat bahkan sangat bisa mengajukan protes ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) jika keberatan dengan kebijakan ini karena berpotensi merugikan mereka.
“Konsumen mesti melakukan gerakan protes. Masalahnya juga banyak masyarakat kalangan bawah yang setiap habis transaksi seringkali dua kali cek saldo, sebelum ambil uang dan sesudahnya. Perlu diingat masyarakat kita kebanyakan mungkin tabungannya dibawah Rp10 juta atau Rp1 juta sampai Rp2 juta. Bayangkan kalau harus mengeluarkan biaya administrasi mengambil uang di ATM lalu kena biaya lagi saat mengecek saldo di awal dan akhir transaksi. Sangat mahal dan merugikan konsumen,” pungkasnya.