Hasil riset yang dilakukan kelompok Uighur Human Rights Project (UHRP) mengungkap fakta mengejutkan. Mereka melaporkan, pemerintah Tiongkok menahan dan memenjarakan secara massal ratusan ulama Uighur sejak tahun 2014 hingga saat ini dalam operasi di Xinjiang. Apa alasan mereka dipenjara?
Didakwa Propaganda Ekstremisme
Melansir BBC, setidaknya ada 630 ulama Uighur yang diciduk lalu dipenjara. Dominan dari mereka ditahan usai didakwa melakukan propaganda ekstremisme dan separatisme, mengumpulkan massa untuk mengganggu ketertiban umum, serta indikasi perbuatan yang memicu separatisme.
Berdasarkan kesaksian sanak saudara para ulama, dakwaan ini merupakan fitnah. Pasalnya, menurut mereka yang sebenarnya dilakukan para ulama ialah menyampaikan khotbah, berkumpul dalam kelompok pengajian, dan bertindak sebagai imam.
Baca juga: Diskriminasi Muslim Uighur di Tiongkok, Bagaimana Respon Pemerintah dan Oposisinya?
Masa hukuman yang dikenakan kepada para ulama pun beragam, mulai dari hukuman 5 tahun penjara hingga seumur hidup. Seperti yang terjadi pada ulama asal Kazakhstan dari Qaba di Xinjian, Oken Mahmet.
Dalam surat penahanannya, Mahmet didakwa mempropagandakan ekstremisme kepada para jamaah. Namun, menurut kesaksian yang dikumpulkan Xinjiang Victims Database, keluarganya mengatakan ia ditahan karena menjadi imam salat Jumat dan menjadi saksi pernikahan di satu masjid. Atas dakwaan ini, Mahmet dihukum 10 tahun penjara.
Ada juga imam berusia 58 tahun dari wilayah Hami, Baqythan Myrzan yang ditahan pada Agustus 2018 dan mendekam sampai Mei 2019 di rumah tahanan. Terkini, ia dilaporkan dijatuhi hukuman 14 tahun di penjara Bingtuan Urumqi karena didakwa melakukan propaganda serupa saat menjalankan tugasnya sebagai imam masjid.
“Masa penahanan para imam itu, sekitar 96% dihukum paling tidak lima tahun penjara dan 26% dijebloskan 20 tahun penjara atau lebih, termasuk 14 orang yang dijatuhi hukuman seumur hidup,” demikian disampaikan hasil penelitian UHRP.
Riset yang sama juga menemukan bukti 18 ulama meninggal dunia di tahanan atau tidak lama setelah ditahan. Tiongkok menampik tuduhan melakukan penangkapan paksa, hingga kekerasan terhadap para ulama.
Penahanan, kata mereka dilakukan dalam rangka program pembinaan terhadap ulama di Xinjiang, supaya mereka berperan aktif menumpas ekstremisme di kalangan Uighur dan minoritas Muslim lain.
RI Berikan Perhatian Khusus
Pemerintah Tiongkok mengklaim, saat ini mereka lagi aktif melakukan program deradikalisasi yang bertujuan untuk menekan penyebaran ekstremisme agama, serta menyumbang upaya deradikalisasi global.
“Xinjiang menikmati kebebasan agama yang belum pernah terjadi sebelumnya. Upaya deradikalisasi secara efektif menekan penyebaran ekstremisme agama dan menyumbang deradikalisasi global,” kata salah satu juru bicara negara setempat seperti dikutip sumber yang sama.
Di sisi lain, konflik yang terjadi di Xinjiang merupakan salah satu masalah kemanusiaan yang kini menjadi perhatian dunia internasional. Tiongkok diduga menahan lebih dari satu juta Muslim Uighur dan Muslim lain di Xinjiang, kawasan di barat daya China dengan penduduk mayoritas Islam. Secara etnis mereka berasal dari bangsa Turk.
Pemerintah setempat juga dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia di kawasan itu termasuk dengan menerapkan kerja paksa sterilisasi dan pemerkosaan. Banyak juga dari mereka yang dipenjara di dalam sebuah kamp untuk waktu yang tak terbatas, tanpa adanya dakwaan secara hukum.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah menegaskan selama ini Indonesia aktif melakukan komunikasi kepada Tiongkok untuk meminta penjelasan terkait dugaan kekerasan terhadap etnis dan agama yang terjadi di Xianjiang.
Meski, hingga kini Tiongkok belum memberikan pernyataan yang jelas mengenai kondisi yang terjadi sebenarnya di sana, termasuk kabar adanya perbuatan sewenang-wenang terhadap para ulama setempat yang kini sedang menjadi sorotan.
“Mengenai perkembangan masalah terkait kehidupan beragama di salah satu wilayah Tiongkok dan atas adanya pemberitaan yang menyebutkan perbuatan tidak sepatutnya pada komunitas tertentu, pemerintah Indonesia dalam berbagai kesempatan sudah melakukan pembicaraan bilateral secara langsung kepada Tiongkok,” terang Faizasyah melalui sambungan telepon kepada Asumsi.co, Minggu (16/5/21).
Oleh sebab itu, Kemenlu RI berencana akan melakukan kajian mendalam terkait dugaan adanya perbuatan melanggar hak asasi manusia (HAM) yang kian menjadi terhadap etnis Uighur.
Faizasyah menegaskan konflik di Xianjang juga menjadi salah satu perhatian Indonesia karena disebut sebagai salah satu tragedi kemanusiaan yang tak bisa ditoleransi. Hasil kajian ini, sangat memungkinkan untuk dbawa ke dalam pembahasan tingkat internasional.
“Kami akan coba minta semacam kajian dari tim yang menangani isunya. Kami memang tidak secara terus menerus mengikuti isu ini, namun tentu saja menjadi salah satu concern kami. Intinya, kami sudah melakukan pembahasan kepada Tiongkok juga soal hal-hal yang menjadi kepedulian masyarakat atas peristiwa yang terjadi di sana. Komunikasi dilakukan baik melalui duta besar kita yang ada di Beijing, atau kami sampaikan ke duta besar Tiongkok yang ada di Jakarta,” tuturnya.
MUI Kutuk Tiongkok
Profesor di Universitas George Washington, Donald Clarke menyebut dakwaan ekstremisme kerap digunakan di Xinjiang sebagai legalitas untuk menindak pihak yang secara subjektif dianggap melanggar oleh mereka, padahal dalam pandangan negara lain perbuatan tersebut tak bisa disebut sebagai pelanggaran hukum.
Baca juga: Pesawat China Masuk Teritori Taiwan, Apakah Hubungan Kedua Negara Memanas Lagi?
“Pertanyaannya adalah apakah yang dilakukan sepadan dengan dakwaan? Dugaan pelanggaran yang kita lihat sejauh ini adalah orang berjenggot atau bepergian ke luar negeri, tidak dilakukan mereka,” kata Clarke dikutip dari BBC.
Sementara itu perwakilan UHRP, Peter Irwin menyebut alasan para ulama ditahan karena pemerintah Tiongkok khawatir mereka menyerukan tuntutan keadilan atas perbuatan yang selama ini dianggap melanggar HAM.
“Mereka (ulama) dapat mengumpulkan orang bersama di komunitas. Negara telah lama menghadapi para imam karena mereka tahu, para imam berpengaruh. Penahanan dan pemenjaraan dalam beberapa tahun terakhir adalah puncak dari represi tiga dekade yang dirancang untuk membatasi agama dan budaya komunitas Uighur,” jelas Irwin.
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas pun mengutuk keras perbuatan Tiongkok yang disebutnya tidak bermoral karena menunjukkan sikap penindasan terhadap para ulama.
“Kami mengutuk segala perbuatan yang tidak berakhlak, tidak bermolral yanh dilakukan para ulama dimana pun. Ulama adalah pewaris nabi untuk menyampaikan ajaran Allah. Kalau para ulama dibunuh, disakiti, dipenjara itu sangat tercela dan patut dikutuk,” ungkap Anwar saat dihubungi terpisah.
Ia menegaskan, pada prinsipnya beragama merupakan hak asasi manusia. Mendakwa para ulama dengan tuduhan melakukan propaganda ekstremisme dan separatisme, menurutnya dilakukan Tiongkok atas dasar kebencian terhadap kelompok agama yang ada di sana.
“Kalau tidak mau dimusuhi masyarakat dunia, Tiongkok harus menghormati HAM. Mereka alasan begitu supaya bisa menangkap ulama sebenarnya didasari pada kebencian, Islamofobia. Jadi, menurut saya supaya bisa menindak para ulama dituduh macam-macam. Di negeri kita juga begitu kan? Sikap seperti ini mungkin ya, karena mereka enggak percaya sama Tuhan ya,” ujarnya.