Tes Covid-19 bagi sebagian orang mungkin menakutkan. Bukan karena biayanya yang mahal tapi proses pengabilan sample yang cukup menyakitkan, proses pengambilan cairan hidung diambil menggunakan batang plastic panjang setipis lidi yang dimasukan ke dalam hidung dan menembus tenggorokan. Proses ini biasa dikenal dengan tes antigen serta Polymerase Chain Reaction (PCR).
Hasil tes antigen keluar lebih cepat, yakni dalam 15 sampai 60 menit setelah tes. Sementara PCR, tes yang saat ini paling akurat, punya waktu lebih lama untuk keluar hasilnya. Yakni enam jam sampai tiga hari setelah tes.
Di tengah kebutuhan tes ini, muncul juga GeNose, alat tes tiup yang dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada. Di awal kemunculannya, efektifitas tes ini sarat kontroversi.
Tapi toh penggunaannya cukup laris manis. Selain murah, GeNose juga lebih nyaman karena untuk sampelnya hanya mengandalkan nafas yang diembuskan pengguna ke kantung udara sebelum kemudian diperiksa melalui alat.
Namun, di tengah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, penggunaan GeNose sebagai deteksi awal Covid-19 ditangguhkan.
Lalu muncul PCR Kumur. Apalagi ini?
Melansir Kumparan, metode PCR Kumur dikembangkan oleh Bio Farma dengan Nusantics. Dinamakan Bio Saliva, metode pengecekan yang dianggap lebih nyaman ini diklaim punya sensitivitas yang tinggi yakni mencapai 93,57 persen.
PCR kumur Bio Saliva diklaim mampu mendeteksi sejumlah varian virus baru. Biofarma menyebut, penggunaan bersamaan Bio Saliva dan alat PCR BioCov-19 mampu mendeteksi mutasi virus corona varian B 117 (Alpha), B 1.351 (Beta), P.1 (Gamma), B 1.617.2 (Delta), hingga virus varian B 1.617.1 (Kappa), B 1.525 (Eta), B 1.526 (Iota), B 1.466.2 (varian Indonesia), B 1.427/29 (Epsilon), dan C.37 (Lambda).
Per hari ini, beberapa laboratorium sudah menyediakan PCR kumur. Dijual terbatas dengan harga Rp 799.000, tes PCR Bio Saliva yang punya izin edar dari Kementerian Kesehatan pada 1 April 2021 ini di antaranya bisa didapatkan di laboratorium medis GSI di Cilandak dan Kuningan, Jakarta.
Tapi apakah seefektif itu?
Berdasarkan keterangan Bio Farma, alat deteksi Covid ini sudah melalui proses pengembangan yang melibatkan 400 sampel dari pasien Covid baik pasien rawat jalan, maupun rawat inap. Lama riset validasinya memakan waktu tujuh bulan.
Uji validasi alat tes PCR kumur ini dilakukan di beberapa lokasi di antaranya Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, RS Nasional Diponegoro (RSND) dan RS Dokter Kariadi Semarang.
Bio Farma menyebut PCR Kumur ini mempunyai banyak keunggulan dibandingkan dengan alat uji yang kini beredar di pasaran. Alat ini mampu mendeteksi hingga angka CT 40 dan memiliki performa yang sangat baik untuk CT
“Hal ini tentunya menjadikan Gargle-PCR sebagai alternatif selain gold standard Swab Nasofaring-Orofaring menggunakan PCR Kit yang memiliki sensitivitas hingga 95%,” tulis Bio Farma, Sabtu (3/7/2021).
Baca Juga : Menelaah Kandungan Kelapa Muda Sebagai Penangkal COVID-19
Bio Farma berharap alat ini mampu membantu meningkatkan kapasitas tracing dalam skala nasional. Terutama tes untuk orang kalangan anak-anak dan lansia.
Kepada Asumsi, epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menyebut PCR kumur atau yang disebut dengan metode gargling punya dasar rujukan ilmiah yang kuat. Ini berbeda dengan GeNose yang menggunakan tes nafas dan perlu pembuktian ilmiah yang lebih panjang.
Menurutnya, sudah banyak kajian yang dilakukan terkait metode kumur ini. Beberapa negara di dunia juga sudah menggunakannya.
Sensitivitas yang diklaim oleh produk PCR metode kumur ini sangat variatif tergantung mereknya. Mengingat penggunaannya di luar negeri sudah cukup lazim.
Kendati begitu, hal umum yang perlu diperhatikan agar akurasi PCR kumur ini lebih manjur adalah tidak mengkonsumsi apapun sebelum menggunakannya.
“Sekira 30 menit sebelum menggunakan tes ini sebaiknya tidak makan, tidak minum, atau bahkan gosok gigi apalagi merokok,” kata dia.
Tidak Menggantikan PCR
Namun, Dicky mengingatkan, meski namanya PCR kumur, metode ini belum mengalahkan akurasi PCR yang jadi gold standart dalam mendeteksi Covid-19. Oleh karena itu, metode ini tak bisa menggantikan PCR.
“Ini seperti ya rapid test antigen. Jadi dia sifatnya seperti screening bukan diagnostic,” kata Dicky.
Oleh karena itu, PCR kumur tidak bisa menjadi acuan laporan negara atas kasus harian Covid-19. Apalagi belum ada rekomendasi dari WHO terkait penggunaan tes ini. “Untuk kemudahan ya boleh, tetapi kalau bicara dari sisi kapasitas testing daerah ya tetap harus menggunakan rapid tes antigen untuk bisa masuk laporan. Kecuali kalau nanti WHO sudah mengeluarkan rekomendasi,” kata dia.
Baca Juga : Masyarakat Borong Susu Beruang, Ini Pendapat Sosiolog dan Ahli Gizi
Mengutip CNN Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kini membuka peluang agar produk PCR kumur Bio Saliva bisa menjadi salah satu standar dalam media testing dan tracing deteksi pasien Covid-19 di Indonesia.
Kepada CNN, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Arianti Anaya mengatakan PCR kumur buatan dalam negeri telah memenuhi standar WHO. Jika nanti hasil validasi ulang menyatakan produk ini bagus bukan tidak mungkin ke depan akan jadi salah satu standar tes di Indonesia.
“Tentu akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan testing dan tracing di masa pandemi,” kata Arianti.