Isu Terkini

Ketidakpastian Hukum Bikin Seniman Takut Berekspresi

Irfan — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi: Jonne Huotari/ Unsplash

Maraknya perburuan dan naiknya pemberitaan soal penghapusan mural yang bernada kritis menimbulkan kekhawatiran publik, utamanya para seniman. Hal ini seolah menjadi potret muram dan kemunduran Indonesia dalam menghargai kebebasan berekspresi. Norma sopan atau tidak yang samar mampu membuat siapa saja terjerat pelanggaran hukum.

​Dalam diskusi dari yang diinisiasi oleh OMG! My Story, peneliti seni dan kurator Chabib Duta Hapsoro mengatakan selama ini para seniman mural atau graffiti memang secara sadar telah memahami kalau seni mereka sewaktu-waktu akan ditimpa. Entah oleh seniman jalanan lain atau oleh pemerintah. Biasanya alasan pemerintah menghapus mural karena alasan mengganggu keindahan.

“Seniman jalanan sudah sadar bahwa karya mereka ada di ruang publik, banyak kompetisi, jadi sudah siap kalau karya mereka dihajar oleh seniman grafiti lain atau dihapus,” kata Chabib.

​Hal ini seolah sudah menjadi norma dari para seniman jalanan. Namun, belakangan aparat tak cukup menghapus karya seniman jalanan. Lebih jauh lagi, aparat mencari siapa yang membuatnya. Ini terjadi pada sejumlah mural yang belakangan ramai jadi perbincangan di antaranya mural “404 Not Found” di Tangerang.

​”Baru kali ini pembuat mural diburu,” kata dia.

​Chabib menilai tindakan ini menunjukkan adanya represi terhadap suara kritis. Ia berasumsi ini terjadi karena situasi sosial politik yang juga sedang hangat. Di satu sisi Indonesia masih menghadapi pandemi, di sisi lain para elit mulai bersiap untuk menggapai kontestasi di Pilpres 2024. Ini terlihat dari sejumlah baliho yang terpampang di jalan.

​”Ini kan sama-sama ada di ruang publik. Saya lihat ada semacam kontestasi, ketakutan (dari pemasang baliho terhadap mural yang kritis). Yang mengkritik lewat mural itu kan mengkritik kinerja yang ada di baliho. Itulah kenapa mungkin kenapa aparat lebih sensitif,” kata dia.

Sementara itu, Kepala Analis Cyber Crime Investigation Centre Mabes Polri, Kompol Muhammad Yunus Saputra mengklaim sebetulnya polisi tak pernah ada masalah dengan karya seni. Baik itu yang ditampilkan di media sosial maupun jalanan seperti mural. Menurutnya, penindakan yang pihaknya lakukan jika karya seni sudah disalahgunakan.

​”Mural saya bilang karya seni jika digunakan dengan baik. Baik itu kritik, walaupun vandal sedikit, begitu pun orasi, itu enggak masalah. Makanya dari dulu pun karya seni enggak ada urusan dengan Polisi. Bentuk disalahgunakannya bagaimana? Misalnya lewat kegiatan kelompok radikal, provokasi, dan ujaran kebencian, itu baru kami dalami,” kata Yunus.

Ia menuturkan prosedur penindakannya adalah dengan memantau karya yang muncul di media sosial. Dari situ, penyidik akan melihat siapa yang ada di balik aktivitas ini. Untuk kasus mural “404 Not Found” misalnya, Yunus memastikan kalau Aeroboy –si pembuat mural berdasarkan nama yang di-tagging pada karyanya–, adalah betul seorang seniman jalanan yang tidak ada urusan sama sekali dengan politik dan kelompok radikal. Dengan begitu, karya Aeroboy adalah sah.

​Namun, karya Aeroboy menjadi salah kala digunakan oleh akun Twitter @OmBrewok3 sebagai bahan provokasi. Bahkan, akun yang menurut Yunus sudah berapa kali di-suspend karena konten provokatif ini membuatnya menjadi kaos.

​”Saya sangat mengetahui @OmBrewok3 ini berafiliasi ke kelompok radikal. Makanya kami melakukan pendalaman. Sifatnya menegur,” kata Yunus.

​Ia pun meyakinkan, kalau tindakan tersebut dilakukan bukan karena mural 404 Not Found menyertakan gambar wajah yang serupa Presiden Joko Widodo. Menurutnya, siapapun yang mengganggu ketertiban dengan menyalahgunakan seni bisa saja ditindak.

​”Tapi kami tidak melakukan interpretasi, kami tidak lihat objek saja tapi afiliasinya. Enggak ada batasan buat seni, walaupun ada yang menyalahgunakan. Kami juga tidak menuduh, kami menentukan bukti-bukti,” ucap dia.

​Yunus juga menyebut satu karya lain, yakni karya Toni Malakian. Kartunis ini pernah menggambar sebuah komik strip yang menunjukkan insiden penginjakan kepala orang Papua oleh aparat. Yunus tak menampik, karya Toni pernah jadi pantauannya. Musababnya, ada bendera Organisasi Papua Merdeka dalam gambar tersebut.

​”Saya pikir karya itu muncul dari kelompok OPM, tahunya dari mas Toni. Tahunya dia orang Indonesia dan seniman. Tidak ada afiliasinya dengan kelompok makar, ya sudah,” kata dia.

Ketidakpastian hukum

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menyebut ketidakj elasan pasal yang dibebankan membuat para seniman takut untuk mengekspresikan suaranya lewat karya. Pada kasus kaos “404 Not Found” misalnya, tidak ada kepastian pasal apa yang ditetapkan pada si pembuat.

​”Kalau (pasal) 207 pembuat mural juga kena, karena esensinya menghina presiden. Kalau pembuat mural dianggap seni, maka pembuat kaos juga seni. Dia misalnya dipanggil bukan karena 207 tapi di hukum pidana kita enggak ada pasal soal radikal. Harus ada manifestasi siapa radikal itu,” kata Erasmus.

Ia menambahkan, ketidak jelasan proses hukum ini yang buat orang takut. “Jangankan seniman, peneliti hukum bikin rilis pun ngecek dua tiga kali. Rekan-rekan ini takut karena enggak pasti,” ujar dia.

​Erasmus menegaskan, bila pemerintah telah menyatakan mural sebagai sebuah seni maka mestinya, pembuat kaos mural juga dianggap sama sebagai pembuat mural itu. Dengan penindakan saat ini, meskipun pembuat kaos sudah dibuatkan video permintaan maaf dan disebut kasusnya diselesaikan secara restorative justice, tetapi bukan berarti ada tindak pidananya.

​”Kalau bentuknya kritik, pejabat yang harus menahan diri,” ucap dia.

Share: Ketidakpastian Hukum Bikin Seniman Takut Berekspresi