Luar Jawa

Suntiang Minang, Hiasan Kepala Hasil Akulturasi Budaya Simbol Tanggung Jawab Ibu

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Mahligai/Bella Donna

Suntiang merupakan salah satu hiasan kepala yang identik dengan wanita di Minangkabau, Sumatera Barat. Hiasan ini menjadi simbol kebesaran anak daro atau pengantin perempuan di Minangkabau, khususnya di Kabupaten Padangpariaman.

Hiasan kepala ini, aslinya biasanya terbuat dari bahan emas, perak dan tembaga tetapi untuk saat ini sudah banyak di modifikasi seperti menggunakan bahan aluminium yang di sepuh. 

Berdasarkan jurnal ilmiah ”Upacara Adat Perkawinan di Padangpariaman” (2000) yang ditulis Riza Mutia, disebutkan bahwa suntiang merupakan simbol  Untuk melewati masa peralihan dari remaja menjadi perempuan dewasa yang memiliki keluarga kecil. Pengantin perempuan harus mengikuti berbagai acara adat perkawinan. 

Sementara itu, Anwar Ibrahim dalam bukunya “Pakaian Adat Daerah Sumatera Barat” (1985) menuliskan, bahwa tak hanya untuk pengantin perempuan, suntiang juga biasanya dikenakan oleh para pendamping pengantinnya. Ada perbedaan penyebutan nama untuk kedua jenis suntiang ini. Apakah itu?

Identik dengan Kembang Berjumlah Ganjil

Ibrahim menjelaskan, hiasan kepala bagi pengantin perempuan ini disebut suntiang gadang, sementara untuk suntiang ketek dipakai oleh pendamping pengantin yang disebut pasumandan.

Selain itu, Ibrahim juga menjelaskan perbedaan lainnya antara suntiang gadang dengan suntiang ketek dalam hal jumlah tingkat dari penyusunan hiasan di kepala. Jumlah tinggkat kembang goyang suntiang pada pengantin wanita minang ini biasanya ganjil. Jumlah tingkat suntiang yang paling tinggi adalah sebelas tingkat sedang yang paling rendah tujuh tingkat. 

Ada empat jenis hiasan yang disusun membentuk suntiang pada hiasan kepala pengantin wanita Minang ini. Lapisan yang paling bawah adalah deretan bungo sarunai (bunga seruni). 3 hingga 5 lapis bunga seruni ini, membentuk dasar ke dalam strukrur suntiang minang. 

“Kemudian diletakkan deretan bunga gadang sebanyak 3 hingga 5 lapis. Hiasan yang paling atas adalah kambang goyang. Sedangkan hiasan suntiang yang jatuh di pipi kanan dan pipi kiri pengantin minang ini disebut kote-kote,” jelas Ibrahmim. 

Jumlah ganjil pada kembangnya memang menjjadi kekhasan dari suntiang yang dikenakan para pengantin Minangkabau. Menurut Puti Raudha Thaib dalam buku “Pakaian Adat Perempuan Minangkabau” (2014) dijelaskan, kembang-kembang suntiang ini umumnya bertingkat dengan ganjil dimulai dari tiga hingga lima tingkat, sampai tujuh hingga sebelas tingkat.

“Untuk alasan kepraktisan dan menyesuaikan dengan bentuk wajah, tingkatan pada Suntiang dipertahankan ganjil namun jumlah tingkatannya disesuaikan dengan kemampuan dan kemauan si pengantin,” tulis Puti.

Hasil Akulturasi Budaya

Suntiang merupakan hasil dari akulturasi budaya antara Indonesia dengan negara lain. “Suntiang merupakan pencampuran budaya Cina dan masyarakat setempat. Namun, sampai saat ini telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Padangpariaman bahkan telah meluas ke seluruh wilayah Minangkabau (Mutia dalam Mustika, 2019).

Penyebabnya, tidak terlepas dari keindahan warna dan keberagamana hiasan yang ada dalam suntiang tersebut. Ia pun menjelaskan, ragam hias yang dijadikan sebagai elemen pembentuk suntiang umumnya terinspirasi dari apa yang ada di alam, mulai dari unsur kehidupan yang ada di darat, udara hingga air atau laut.

“Sesuai dengan falsafah hidup masyarakat Minangkabau pada umumnya yaitu alam takambang jadi guru, artinya semua yang ada di alam luas dapat dijadikan pelajaran atau contoh,” tulis jurnal tersebut.

Simbol Tanggung Jawab Seorang Ibu 

Berat suntiang berkisar antara 3,5 sampai 5 kilogram. Namun, belakangan suntiang dibuat dengan ukuran lebih kecil dan bahan yang lebih ringan untuk memudahkan proses pembuatan dan pemakaiannya.

Filosofi dari beban suntiang ini, melambangkan simbol beratnya tanggung jawab yang besar yang akan dipikul seorang wanita Minang, setelah menikah. Tanggung jawab besar ini, tak hanya sebatas rumah tangga dan keluarga saja, melainkan juga lingkungan sekitarnya tinggal bersama sang suami.

Di dalam rumah tangga si perempuan berperan sebagai seorang istri bagi suaminya dan ibu bagi anak-anaknya yang harus menjaga keutuhan rumah tangganya yang bermaanfaat bagi kehidupan manusia (Mustika, 2019).

Memakai suntiang menjadi kebanggaan tersendiri bagi setiap wanita Minangkabau saat melangsungkan pernikahan. Meski memikul hiasan kepala yang memiliki beban berat, mereka tetap terlihat anggun, sopan dan feminin. 

Share: Suntiang Minang, Hiasan Kepala Hasil Akulturasi Budaya Simbol Tanggung Jawab Ibu