Hiburan

Riuh Godzilla VS Kong di Social Media: Sebuah Kisah Sedih mengenai Perang yang Bikin Trauma Berkepanjangan

Desika — Asumsi.co

featured image
Godzilla vs Kong/Mashable.com

Monster penguasa laut asal Jepang, Godzilla kembali hadir. Dalam film besutan Adam Wingard ini, karakter yang pertama kali diperkenalkan pada 1954 itu akan berhadapan dengan Kong, monster Gorilla yang sedang dalam perjalanannya mencari rumah.

Mengambil tajuk sederhana dan eksplisit, yakni “Godzilla VS Kong”, film ini merupakan sekuel dari “Godzilla: King of The Monsters” yang rilis pada 2019 lalu. Mulanya, “Godzilla VS Kong” dijadwalkan untuk tayang pada 13 Maret 2020 lalu. Namun, pandemi Covid-19 mau tak mau membuat Warner Bros dan Legendary selaku rumah produksi menyimpan lebih dulu kegarangan si monster hingga 20 November 2020.

Belum ada tanda-tanda kenormalan, Godzilla kembali “dikarantina” hingga akhirnya resmi rilis di Maret 2021 ini. Kehadiran kembali Godzilla setelah ditunggu lama tentu jadi berita menggembirakan buat para fans-nya. Tak heran kalau kemudian perbincangan soal monster ini ramai terdengar di jagad maya.

Tapi memang apa sih keistimewaan dari monster bawah laut Jepang yang usianya hampir mencapai tujuh dekade ini?

Fakta soal Godzilla

Godzilla memang lebih dari sekadar karakter monster di film laga dan science fiction. Kepopuleran Godzilla yang di negara aslinya dilafalkan dengan Gojira, sudah membentuk monster yang dibuat oleh Tomoyuki Tanaka, Ishiro Honda, dan Eiji Tsubaraya ini sebagai ikon budaya populer. Singkatnya, dia diminati dari generasi ke generasi.Mengutip Jesse Ingoglia dalam “Godzilla: Monster, Metaphor, Pop Icon”, monster yang namanya merupakan gabungan dari dua bahasa Jepang yakni “Gorira” (Gorila) dan “Kujira” (Paus) ini sebetulnya lahir dari trauma sejarah Perang Dunia kedua.

Jalan cerita yang memaparkan Gojira diciptakan dari efek radiasi nuklir terinspirasi dari pemboman Amerika atas Hiroshima-Nagasaki yang menewaskan 120.000 orang sekaligus. Perilisan pertamanya di tahun 1954 pun hanya berselang dua tahun setelah berakhirnya pendudukan Amerika di Jepang. Ini juga tak lama setelah insiden Lucky Dragon 5 atau Daigo Fukuryu Maru, di mana kapal penangkap ikan tuna Jepang dengan awak 23 orang terkontaminasi oleh dampak nuklir dari uji senjata termonuklir Castle Bravo Amerika Serikat di Bikini Atoll pada 1 Maret 1954.

Pada uji coba ini, Amerika melepas 15 megaton bom hidrogen yang kekuatannya disebut-sebut 750 kali lipat dari bom yang menghancurkan Hiroshima-Nagasaki.William Tsutsui dalam “Godzilla On My Mind” menyebut, dengan segala popularitasnya,

Godzilla Lahir dari Trauma Perang hingga Keprihatinan Politik

Godzilla lahir dari keprihatinan politik, pengaruh budaya, inspirasi sinematik, tradisi genre, kekasaran ekonomi, oportunisme sederhana, dan kreativitas murni. Dalam sosok Godzilla, kata Tsutsui, masih menguntai jeratan nostalgia akan perang nuklir dan ketegangan sejarah dunia yang belum selesai.Ingoglia menilai trauma perang dalam “Gojira” (1954) sebetulnya cukup tergambar jelas dengan suasana film yang gelap dan pesan yang dalam.

Film garapan Toho Studio ini juga semakin komplet dengan lagu latar garapan komposer Akira Ifukube yang punya suasana menegangkan dan melankolis dalam waktu bersamaan. Gojira generasi pertama ini, kata Ingoglia, berhasil menciptakan pengalaman yang benar-benar menawan.

Hanya butuh waktu dua tahun untuk kemudian film ini dibawa ke Amerika. Mengacu Ingoglia, bagi banyak orang Amerika, Godzilla adalah perkenalan pertama mereka dengan budaya Jepang.Citra gelap pada Godzilla mulai berubah seiring Perjanjian Larangan Uji Coba Terbatas mulai ditandatangani pada tahun 1963. Di masa ini, fungsi asli Godzilla sebagai peringatan terhadap pengujian nuklir tidak lagi relevan. Akibatnya, film-film dengan tajuk Godzilla selanjutnya mulai menggambarkan Godzilla sebagai pahlawan daripada peringatan dan pengingat tragis tentang nuklir.

Perubahan Latar Karakter Godzilla

Mengutip artikel Chon Noriega pada 1987 yang bertajuk “Godzilla and the Japanese Nightmare: When” Them! “Is U.S.”, pengalihan latar belakang Godzilla kekinian berfokus pada peran seorang anak yang membimbing monster untuk menyelamatkan Jepang dari monster lain.

Ini mencerminkan perubahan pasca-perang di Jepang di mana keluarga yang sebelumnya terpisah oleh reformasi pendudukan mulai stabil seiring kesuksesan ekonomi Jepang pada pertengahan dekade 60 yang bisa meredakan kecemasan sosial.Anak-anak yang lahir di tahun 60-an pun diarahkan menjadi generasi yang disingkirkan jauh dari kenangan buruk Perang Dunia II dan membuat realitas yang dicerminkan Godzilla menjadi sejarah, bukan pengalaman hidup.

Lantas Godzilla menjadi menjadi semacam pahlawan aksi untuk anak-anak. Utamanya di rentang dekade 60 sampai 70. Filmnya pun terus dibuat ulang hingga menampilkan pertarungan terkini antara Godzilla kontra Kong yang baru saja rilis. Keseluruhan, Godzilla terdiri dari 36 film sejak 1954 yang 32 di antaranya dibesut oleh Toho Studio dan enam lainnya dibuat oleh Studio Film Amerika, TriStar Pictures dan LegendaryPictures.

Karakter Godzilla juga hadir dalam banyak bentuk. Menjadi bagian dari episode sejumlah tayangan TV populer seperti The Simpsons dan South Park, diadaptasi pada serial komik dan video games, hingga dinyanyikan menjadi sebuah lagu seperti yang dilakukan band rock Amerika Blue Oyster Cult dengan hit “Godzilla” pada 1977.

Bahkan, saking populernya, pada bulan April 2015, distrik Shinjuku di Tokyo menyebut Godzilla sebagai penduduk khusus dan duta pariwisata resmi untuk mendorong pariwisata.

Di Amerika, saat ulang tahun ke-50 Godzilla, Hollywood Walk of Fame menganugerahinya bintang. Namun, sejauh apapun Godzilla besar, kelahirannya tetaplah menjadi monumen dari kisah sedih perang.

Seperti kata-kata pencipta Godzilla Tomoyuki Tanaka yang dikutip oleh David Kalat dalam “A Critical History and Filmography of Toho’s Godzilla Series”: Godzilla adalah putra bom atom. Dia adalah mimpi buruk yang tercipta dari kegelapan jiwa manusia. Dia adalah binatang suci kiamat. Selama kesombongan manusia ada, Godzilla akan bertahan.

Penulis: Muhammad Irfan

Share: Riuh Godzilla VS Kong di Social Media: Sebuah Kisah Sedih mengenai Perang yang Bikin Trauma Berkepanjangan