Perjalanan setelah kehidupan menjadi hal yang sakral dalam
tatanan budaya mana pun. Itulah mengapa selalu ada prosesi yang mengiringi
kepergian seseorang menuju alam sana. Bagi Suku Dayak yang memegang ajaran
Kaharingan, prosesi ini mesti digenapi dengan sebuah ritual akhir bernama
Tiwah.
Mengutip laman budaya-indonesia.org, Tiwah dilakukan untuk
membuat roh orang yang meninggal dikembalikan kepada pangkuan leluhur dan
Tuhan.
Suku Dayak menggambarkan perjalanan pengembalian roh dalam
tiga proses. Pertama, pengembalian roh kepada orangtuanya. Zat atau roh dari
ayah dikembalikan ke ayahnya, roh dari ibu dikembalikan kepada ibunya,
sementara roh dari Tuhan kembali ke Tuhan, yang disebut roh Panyalumpuk atau
Hambaruan.
Masyarakat Dayak Ngaju, khususnya di Desa Bangkal, percaya
apabila mereka belum meniwahkan keluarganya, maka arwah orang yang meninggal
akan tetap berada di bumi dan tidak bisa menuju ke surga.
Selain untuk meluruskan perjalanan sang mati menuju surga
dan bersatu dengan nenek moyang serta Tuhan (Sangiang), tujuan lain dari Tiwah
adalah menghindarkan keluarga yang ditinggalkan dari kesialan serta segala
pengaruh buruk.
Dengan ritual akhir inilah, masyarakat Dayak percaya akan
memberi ketenangan pada orang yang meninggal. Dalam pengertian masyarakat
Dayak, orang yang mati akan hidup sempurna di surga: Lewu Tatau Dia Rumpang
Tulang Rundung Raja Isen Dia Kamalesu Uhat.
Prosesi dan Makna Religi
Dalam “Ritual Tiwah Sandung Runi dan Tiwah Sandung
Tulang” yang terbit di Jurnal Sosiologi Vol. II Edisi 2, Desember 2019,
Ina Malania menjelaskan, ritual Tiwah biasanya digelar ketika seseorang
meninggal. Jenazahnya akan dimasukan dalam Runi (peti mati). Runi itu kemudian
dihantarkan menuju suatu rumah berukuran sedang atau kecil untuk disimpan.
Rumah ini dinamakan sandung.
Sebelum runi diantar dan diletakkan ke Sandung, banyak
sekali acara-acara ritual yang digelar, mulai dari tarian, suara gong, bukung
danlainnya. Acara ini dikemas meriah layaknya sebuah pesta.
Lantaran prosesnya yang tidak sederhana, masyarakat Dayak
mempersiapkan upacara Tiwah selama berbulan-bulan. Lama pelaksanaannya sendiri
bervariasi, bisa tiga hari, tujuh hari atau bahkan satu bulan. Segala persiapan
dan pelaksanaan Tiwah juga tentunya memerlukan biaya yang besar. Biayanya
mencakup persyaratan-peryaratan dalam upacara ritual Tiwah, seperti menyediakan
makanan, hewan kurban dan sesaji. Tak heran, besarnya gelaran Tiwah yang
dilakukan sebuah keluarga, pada akhirnya menunjukkan strata sosial orang atau
keluarga itu.
Dua jenis Tiwah
Secara umum Tiwah dibagi menjadi dua, yakni Tiwah Sandung
Runi dan Tiwah Sandung Tulang. Tiwah Sandung Runi hanya memasukkan runi atau
tulang belulang orang mati ke dalam sandung atau rumah yang memang
diperuntukkan untuk menyimpan jenazah. Sementara Tiwah Sandung Tulang ditambah
dengan prosesi membakar tulang belulang hingga menjadi abu dan tulang yang akan
diambil lalu dimasukkan ke dalam botol kecil yang sudah disediakan.
Meski tak begitu banyak perbedaan, dua jenis Tiwah ini
membutuhkan alat ritual yang berbeda. Untuk Tiwah Sandung Runi, upacara
dilakukan di rumah duka dengan menyediakan rotan, bambu, daun kelapa,
garantung, gandang kalenang, mandau, lunju, kain kuning, kain merah dan
kain putih, serta kurban ayam, tiga belas ekor Babi, dan kerbau satu ekor.
Sementara Tiwah Sandung Tulang ditambah dengan sapundu,
behas bahenda, katambung, dawen sawang, bahalai, laung, sipa dan ruku, sio atau
manas, serta behas hambaruan. Untuk kurbannya, Tiwah Sandung Tulang memerlukan
kurban babi, lima belas ekor ayam, dan satu ekor kerbau.
Setelah komplit syarat yang harus disiapkan, prosesi Tiwah
dimulai oleh tiga sampai lima orang basir atau tokoh adat yang melaksanakan
ritual. Di hari pertama, secara gotong royong masyarakat membuat bangunan
berbentuk rumah yang disebut Balai Pangun Jandau. Dalam proses pembuatannya,
terdapat syarat yang harus dipenuhi yakni kurban seekor babi yang disembelih
oleh keluarga yang menggelar Tiwah.
Pada hari kedua, dilakukan prosesi pembuatan sangkaraya
sandung rahung yang diletakkan di depan rumah keluarga yang menggelar Tiwah.
Bangunan tersebut berfungsi sebagai tempat menyimpan tulang belulang salumpuk
liaw atau orang yang meninggal.
Selanjutnya, darah babi diambil sebagai syarat untuk
melakukan mamalas sangkaraya sandung rahung. Selain itu, pada hari ini berbagai
macam alat musik seperti gandang, garatung, kangkanung, katambung, toroi, dan
tarai mulai dibunyikan. Sebelumnya, semua alat musik tersebut harus di-palas
atau di-saki dengan darah hewan kurban terlebih duhulu.
Pada hari ketiga, basir melakukan prosesi ritual dengan
mengelilingi sangkarya selama tiga kali. Kemudian dilanjutkan dengan mendirikan
tenda di dekat sangkarya. Runi kemudian diturunkan dan dibawa ke tenda di dekat
sangkarya itu. Basir melanjutkan prosesi dengan runi untuk kemudian membawanya
ke sandung. Sementara keluarga yang ditinggalkan kembali ke kediamannya untuk
melakukan prosesi mengorbankan hewan, seperti kerbau, ayam atau babi.
Selanjutnya mereka membuat sangkarya di dalam rumah, dilanjutkan dengan proses
bapalas dan memasangkan manas di tangan mereka. Prosesi itu sekaligus
menandakan bahwa keluarga yang ditinggalkan sudah menyelesaikan ritual.
Pada hari keempat, tidak jauh dari Sangkaraya didirikan
tiang panjang yang disebut Tihang Mandera. Tiang tersebut menjadi tanda bahwa
kampung tersebut tertutup karena sedang berlangsung upacara Tiwah. Penduduk
yang belum di-saki atau di-palas, dilarang masuk ke dalam kampung. Pada hari
ini, ahli waris arwah atau salumpuk liaw mulai melaksanakan sejumlah pantangan.
Pada hari kelima, hewan-hewan yang akan dikurbankan diikat
di sapundu. Para tamu yang hadir biasanya akan mengelilingi hewan kurban
tersebut. Selain itu, pada hari ini sandung mulai dibangun. Ini dilanjut dengan
prosesi hari keenam di mana para tamu akan hadir dengan menaiki rakit atau
kapal yang berisi sesaji atau persembahan. Kapal tersebut dinamakan lanting
laluhan atau kapal laluhan.
Lalu pada hari ketujuh yang merupakan hari terakhir
pelaksanaan inti upacara Tiwah, arwah anggota keluarga atau salumpuk liaw akan
melakukan perjalanan menuju Lewu Liaw atau nirwana. Proses ini diawali dengan
proses pengurbanan hewan yang diikat di sapundu dengan cara ditombak. Selanjutnya,
ada prosesi tarian kanjan. Terakhir, untuk Tiwah Sandung Runi, tulang belulang
yang telah dibersihkan akan dibungkus menggunakan kain merah dan dimasukkan ke
dalam sandung.
Dengan berakhirnya semua prosesi ini, seperti ditulis di
bagian sebelumnya, keluarga berharap arwah keluarga yang meninggal akan tenang
bersama leluhur. Tidak lagi mengganggu keluarga atau berkeliaran di lingkungan
sekitar rumah, membuang segala sial, dijauhkan dari segala sakit-penyakit,
marabahaya maupun segala sesuatu yang tidak diinginkan. Bagi pasangan yang
ditinggalkan bertujuan untuk melepaskan ikatan status janda dan duda agar
mereka sudah bisa memulai hidup baru dengan keluarga yang baru.