Tren menjual gawai flagship tanpa adapter charger menjadi sorotan publik belakangan ini.
Pelopornya adalah Apple dengan produk iPhone 12 yang dikeluarkan pada tahun
lalu. Dalam penjualan iPhone 12, hanya disediakan satu buah kabel konverter
Lightning to USB-C. Dengan demikian, kotak kemasan gawainya menjadi lebih ringkas
dan tipis.
Apple mengklaim tujuan menjual gawai dengan cara ini adalah
untuk menjaga lingkungan dari limbah elektronik. Para pesaingnya pun kemudian
latah mengikuti langkah serupa. Contohnya seperti Samsung dengan produk handphone (HP) flagship Galaxy
S21 Series. Produk Samsung itu hanya menyediakan kabel Type-C to Type-C.
Terkini, Xiaomi juga menerapkan hal yang sama dengan memberikan
pilihan paket penjualan produk flagship Mi 11 dengan atau tanpa adapter charger untuk pasar pengguna di Tiongkok.
Dinilai rugikan konsumen
Keputusan perusahaan brand ternama
melakukan penjualan produk handphone flagship tanpa memasukkan adapter charger ini dikritisi oleh YouTuber teknologi
David Gadgetin. Ia menilai hal
tersebut merugikan konsumen. Seharusnya, menurut dia, pembeli produk premium
memperoleh pelayanan lebih bahkan mendapatkan bonus.
Kebijakan ini dianggapnya menaruh beban peduli
terhadap lingkungan kepada konsumen alih-alih sebagai tanggung jawab
perusahaan. “Kalau brand-brand memang mau lebih ramah lingkungan, ya
tolonglah konsumen jangan dibebanin, bebannya bisa dibagi rata,” kata
David dikutip dari pernyataannya di kanal YouTube GadgetIn.
Bukan menyalahkan alasan ini diambil perusahaan teknologi
ternama untuk menjaga lingkungan, ia justru meragukan pada praktiknya upaya ini
justru tidak sesuai dengan perilaku konsumennya. Pasalnya, konsumen tetap akan
membeli adapter
charger baru untuk gawainya
ketika mereka pindah merek atau terpaksa harus membeli kepala charger lain.
“Kalau berbicara soal lingkungan, tapi kayaknya enggak
bakal mau kita setia pada hape sampai
lima tahun kedepan, mereka pengen kita ganti hape tiap
tahun. Lucu, ganti hape tiap tahun, alasan ekonomi, tapi
bawa-bawa lingkungan,” tuturnya.
Gerakan “Go Green” lewat
produk gawai flagship
Gawai flagship merupakan produk yang paling banyak
digunakan brand ternama untuk menerapkan strategi
penjualan tanpa mengikutsertakan adapter charger dan aksesoris di dalamnya. Pengamat gawai dari
Komunitas Gadtrade, Lucky Sebastian mengaku tak heran dengan hal ini.
Menurut Lucky, produk gawai tipe ini memang
paling tepat untuk jadi sasaran gerakan peduli menjaga lingkungan dari limbah
elektronik atau singkatnya disebut dengan “Go Green” oleh pihak
perusahaan.
Gawai flagship, kata dia, laris manis dibeli masyarakat kelas
atas. Mereka biasanya menjadikan barang premium bukan
lagi sebagai barang mewah. Bahkan. sanggup membelinya lebih dari satu unit.
“Flagship ini memang produk terbaik yang berada di kelas premium atau termahal dari brand teknologi. Biasanya, gerakan “Go
Green” semacam ini memang harus dimulai dari ponsel-ponsel flagship.
Sebagai produk kalangan atas, pembelinya kan pejabat, artis, selebgram dan
lainnya. Nah, keterlibatan mereka dalam satu gerakan pasti paling
diperhitungkan,” katanya kepada Asumsi.co, Rabu (17/3) melalui
sambungan telepon.
Ia mengatakan, adanya sikap protes yang
disampaikan masyarakat Indonesia terhadap kebijakan penjualan produk flagship
karena memang pengguna gawai Tanah Air saat ini lebih banyak dari kalangan
menengah.
“Memang pengguna gawai di kita sebagian
besar masih kalangan menengah dan rendah. Jadi gerakan ini masih belum terlalu
terasa pas. Terlebih pengguna gawai tertentu, misalnya iPhone. Tentu terbebani
bila harus membeli charger-nya terpisah yang harganya bisa Rp400-500
ribu,” kata dia.
Sementara itu, di
negara-negara yang lebih maju dan sebagian besar masyarakatnya adalah pengguna
gawai flagship, penjualan paket gawai tanpa berisikan kelengkapan lainnya tak
menjadi masalah.
“Memang sekarang ini, orang kita juga
banyak saat membeli smartphone, tanpa kelengkapannya, membeli sendiri
charger-nya,” katanya.
Sejauh apa pengolahan limbah
elektronik di Indonesia?
Bicara soal limbah elektronik, Manajer Kampanye Perkotaan dan
Energi Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Dwi Sawung mengakui pengolahan
limbah elektronik di Indonesia memang belum dilakukan secara maksimal.
Pada tahun lalu saja, kata dia, jumlah limbah elektronik (e-waste) di Jakarta pada periode Februari sampai
dengan Oktober 2020, mencapai 22,6 ton. Proses daur ulang limbahnya pun tak
dilakukan secara maksimal, bahkan cenderung berbahaya.
“Ada beberapa tempat yang mendaurulang produk elektronik,
tapi praktiknya masih membahayakan. Setahu kami, praktiknya juga illegal,”
ujarnya saat dihubungi.
Sawung menyebut ada salah satu tempat pengolahan limbah
elektronik di daerah Tangerang, yang lokasinya dekat perbatasan Jakarta,
menyebabkan para pelaku daur ulangnya keracunan.
“Kalau lihat tubuh para pelaku daur ulangnya, tampaknya
mereka sudah keracunan dari bahan-bahan elektronik. Entah dari logam atau
material lain yang diekstraksinya,” kata Sawung.
Menurutnya, persoalan ini harus disikapi pemerintah secara
serius dengan membuat kebijakan khusus yang mengatur tanggung jawab perusahaan
teknologi terhadap produk buatan mereka yang berpotensi menyebabkan masalah
lingkungan yang parah.
“Kami berharap pemerintah extended producer responsibility,
produsen bertanggung jawab, terhadap produknya. Kemudian menciptakan standar
yang membuat limbah elektronik bisa diminimalkan,” ujarnya.