Isu Terkini

Roda-Roda Balap Liar Terus Berputar

Faisal Irfani — Asumsi.co

featured image

Ilustrasi: Ibam/Asumsi.co

“Gue pikir elu polisi, Mas,” kata Barney membuka percakapan. “Awalnya sempet was-was juga.” Dia tertawa.

Sore itu, saya bertemu Barney di Ciputat, Tangerang Selatan. Pembawaannya ramah, terbuka, dan jauh dari kesan garang dunia yang dia geluti: balap liar.

Kecemasan Barney tentu beralasan. Sebelum saya menghubunginya via pesan Instagram, sudah banyak orang tak dikenal tiba-tiba mengajaknya bertemu dengan dalih “bertanya soal motor.” Usut punya usut, rupanya aparat.

Barney menyadari segala risiko balap liar, tetapi ia belum ingin berhenti. Dan Barney tentu tak sendirian. Ada banyak anak muda sepertinya, merayakan hidup dalam kecepatan dan bahaya yang gegap gempita.

***

Pandemi COVID-19 membikin kehidupan banyak orang berubah. Adaptasi, kata yang sering diucapkan selama pagebluk, jadi kunci buat bertahan. Tak terkecuali bagi Barney.

“Udah tertarik dari dulu. Cuma, baru saat pandemi ini memutuskan, ‘Ya udah, lah, nyemplung aja sekalian,’” kata lelaki yang berprofesi sebagai desainer grafis ini kepada saya.

Awalnya, perasaan gugup—dan takut—menyelimuti Barney. Dia belum punya pengalaman cukup untuk masuk ke dunia yang keras ini. Lebih-lebih, dia pernah dicokok polisi.

“Itu pengalaman buruk banget, sih, walaupun cuma ditahan sebentar dan motor dibawa,” katanya. “Kejadian tersebut membuat gue menjadi hati-hati dalam mengambil setiap keputusan dalam balap liar.”

Dunia balap liar punya empat penyangga yang saling berhubungan. Bila satu tak ada, balap liar tak bisa terlaksana. Itulah bos, calo, joki, dan bengkel.

Barney sendiri menempati posisi paling tinggi di piramida balap liar: bos. Tugas bos, dalam balap liar, secara umum, ialah mencari joki yang siap dipertandingkan, selain menyediakan kendaraan serta berkoordinasi dengan bengkel terkait untuk mesin yang hendak dipakai.

Dalam mencari joki, kriteria mutlak yang mesti dipenuhi yaitu pekerja keras. Hal tersebut, untuk Barney, merupakan harga mati lantaran terdapat aspek kompetisi di dunia balap liar. Baru setelahnya berbicara pengalaman dan bentuk fisik (semakin kurus dan kecil semakin bagus).

“Karena gue prinsipnya pengin setiap joki itu tahu apa yang dilakukannya. Nggak sekadar ngejar menang aja,” tuturnya.

Sampai detik ini, joki yang dipilih Barney umumnya mendatangkan hasil yang memuaskan. Dengan kata lain, lebih banyak menang ketimbang kalah. Meski begitu, Barney tidak puas karena masih mengejar catatan waktu terbaik.

“Kalau motor gue udah bisa melaju cepat sekian detik itu rasanya bakal puas banget,” kata Barney.

Mempersiapkan motor untuk ajang balap liar adalah implementasi dari kerja kolektif, dan di sinilah peran bengkel sangat besar. Eduard, pemilik Jaya Motor & Jaya Garage, mengatakan bahwa waktu yang dibutuhkan dalam memodifikasi motor agar siap dipakai di balap liar kurang lebih tiga hingga empat minggu.

“Itu udah ideal kalau menurut gue,” katanya saat saya jumpai di bengkel yang dia kelola. “Enggak gampang. Ada banyak aspek [teknis] yang harus dilihat. Semua saling mendukung [keberlangsungan] motor.”

Jaya Motor. (Faisal Irfani/Asumsi)

Kerja-kerja modifikasi motor, menurut Eduard, tak hanya melibatkan naluri sebagai seorang mekanik. Pemanfaatan data juga penting. Untuk setiap motor yang dipermak, Eduard berpedoman pada database miliknya. Tujuannya jelas: memastikan perkembangan motor tidak melenceng dari rencana awal.

“Kombinasi data dan insting itu harus kami pakai. Artinya, naluri sebagai mekanik aja nggak cukup buat melihat apakah motor itu berhasil melaju kencang atau malah lambat,” jelasnya.

Relasi bos balap liar dan bengkel ialah rekanan. Bos butuh motor yang mampu digeber sekilat mungkin, sedangkan pihak bengkel memanfaatkan order-an itu untuk mempromosikan jasanya ke khalayak ramai.

“Kalau misalnya menang, orang-orang juga akan tahu [motor] itu digarap di bengkel mana. Hitung-hitung bisa jadi promosi,” kata Eduard.

Di Jakarta, balap liar lazimnya dilakukan di arena pacu sepanjang 500 meter. Balap bisa dihelat ketika terdapat dua pihak yang telah sepakat. Calo punya fungsi menjembatani mereka. Dia harus dapat memastikan bahwa kedua kubu yang akan bertarung menyetujui ‘kontrak’ yang ditawarkan, termasuk soal lokasi, spesifikasi kendaraan, hingga jumlah hadiah.

“Kalau calo sendiri itu, Mas, bisa pakai dari pihak luar atau dari internal. Kayak gue, nih, ya, seringnya juga bisa jadi calo buat nyari lawan,” terang Barney. “Istilahnya bisa merangkap kerja, lah. Nggak cuma bos, tapi juga calo.”

Jumlah hadiah menjadi bahasan menarik—sekaligus penting—ketika membicarakan balap liar. Kata Barney, besaran hadiah bervariasi dan tergantung persetujuan dari orang-orang yang bertanding. Pengalaman Barney memperlihatkan bahwa dalam sekali main hadiahnya bisa mencapai Rp10 juta. Angka yang menggiurkan untuk ukuran kompetisi tak resmi.

Uang yang berhasil dibawa pulang dari balap liar dibagi-bagi antara bos, bengkel, dan joki. Persenan yang diperoleh bos, umumnya, 30 persen. Barney menganggap pembagian tersebut sangatlah wajar mengingat kemenangan dalam balap liar merupakan kemenangan kolektif, bukan individu.

“Lagi pula, buat gue pribadi, menang itu bonus, Mas. Yang gue kejar adalah senang-senangnya. Senang bisa lihat motor kenceng, senang bisa ngurus ini dan itu,” kata Barney.

***

Eza terburu-buru mendatangi saya di sebuah tanah lapang di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, pada satu siang yang sangat terik. Napasnya tak beraturan dan wajahnya berlumuran keringat.

Sorry, Bang. Tadi habis ada kerjaan motret. Udah lama nunggu, ya?” tanya Eza, mengawali pertemuan kami.

Kami duduk di warung kopi yang berdiri di samping lapangan. Eza memesan es teh manis, dan tak lama berselang dia membuka cerita ihwal lika-liku profesinya, sebagai joki balap liar, dengan nada kekecewaan.

“Lagi sepi [balapan] selama pandemi ini,” tuturnya. “Saya juga bingung sampai kapan kayak gini. Udah kangen ke jalan lagi.”

Perjalanan Eza di dunia balap motor dimulai pada 2015. Kala itu, dia tampil di hajatan balap resmi yang populer dengan sebutan road race. Usianya masih sangat muda: 14 tahun. Walaupun demikian, prestasinya cemerlang. Berbagai trofi kejuaraan dapat dia bawa pulang. Reputasinya pun seketika menjulang.

“Memang sejak kecil suka dengan motor. Apalagi orang tua saya mendukung,” kata Eza.

Maka, Eza tak pikir panjang ketika ada tawaran berpartisipasi dalam balap liar. Orang tuanya sempat melarang sebab merasa balap liar kelewat berbahaya. Akan tetapi, Eza ngeyel. Berkali-kali dia bertanding tanpa sepengetahuan orang tuanya.

“Lama-lama mereka biasa aja. Luluh dengan sendirinya, yang penting hati-hati,” kata laki-laki asal Pangandaran ini, tertawa.

Eza mengaku bahwa balap liar punya keseruan tersendiri ketimbang kompetisi balap lainnya. Dia menyebut faktor track yang pendek serta antusiasme penonton yang melimpah ruah sebagai pembeda.

Namun, tak semua aspek dalam balap liar punya kesan yang baik. Kerasnya persaingan membikin setiap pihak punya potensi menghalalkan cara untuk menang. Dan di balap liar, salah satu cara yang dipakai, selain memanipulasi ukuran mesin, ialah menggunakan ilmu hitam.

Anda tak salah membaca. Ilmu hitam. Perdukunan.

Eza mengaku pernah jadi korbannya. Dalam satu kesempatan, motor yang dia kemudikan tiba-tiba rusak parah di tengah jalan. Baginya, hal tersebut tidak masuk akal mengingat beberapa menit sebelum knalpot meraung gahar, para mekanik sudah melakukan pengecekan final dan memberi kesimpulan bahwa motor siap digeber.

Kejadian serupa dirasakan pula oleh Barney. Ini lebih brutal ketimbang pengalaman Eza. Entah dari mana, Barney menemukan seekor burung tersangkut di mesin motor. Pemandangan itu bikin dia dan seluruh tim terperanjat.

“Bayangin, Bang, sampai ada burung di motor. Malem-malem,” ungkapnya dengan nada yang penuh keheranan.

Tidak ada yang dapat membuktikan secara terang perkara tersebut. Para pelaku di balap liar sudah menganggapnya sebagai rahasia umum.

“Cuma kadang gue mikir masa iya segitu pengin menangnya, sih? Toh, yang penting di sini, kan, senang-senangnya,” tambah Barney.

Namun, bagi joki seperti Eza, sepahit-pahitnya didukuni, dia lebih khawatir dengan penurunan intensitas balap liar sejak pemberlakukan pembatasan sosial.

Dengan begitu, artinya, pendapatan Eza kian menurun. Padahal, Eza berharap ajang balap liar dapat jadi penyambung hidupnya setelah kompetisi balap resmi telah banyak ditiadakan.

“Lumayan, sebetulnya, Bang, karena sekali main, joki dapat 10 sampai 30 persen, tergantung deal sama bos gimana. Kalau kayak gini, kan, jadi nggak dapet,” katanya. Raut mukanya tampak kecewa. “Akhirnya, ya, cari [kerja] sampingan.”

***

Sukar memastikan kapan pertama kali balap liar dilangsungkan di Jakarta. Yang jelas, kultur semacam ini telah muncul sejak lama. Beberapa bahkan menjadi bagian dari produk budaya populer, seperti yang tersaji dalam seri film Catatan Harian Si Boy yang dibintangi Onky Alexander.

Hampir semua ruas jalanan di ibu kota dan sekitarnya bisa menjadi latar balap liar. Akan tetapi, dari sekian banyak sirkuit yang ada, hanya sebagian di antaranya yang menyabet status legendaris: Bintaro (sebutan “Titan”), Lebak Bulus (“FedEx”), Kemayoran, serta Cempaka Putih.

“Karena memang ruas di daerah-daerah itu udah dipakai balap liar sejak dulu. Makanya legendaris,” kata Barney.

Tiap daerah memiliki karakteristik perlombaan yang berbeda. Yang paling keras, merujuk keterangan Barney, ialah di Jakarta Timur dan Pusat. Di dua daerah tersebut, balap liar tak sekadar ajang senang-senang, melainkan juga sumber penghidupan utama.

Selain itu, Barney menambahkan, para pemain yang turun ke jalanan didominasi akamsi—“anak kampung sini”—yang akrab dengan dunia underground, seperti aksi-aksi kriminal dan sejenisnya.

Perbedaan karakter itu berimbas pula pada cara aparat dalam menangani balap liar, yang sejak awal sudah ditempatkan sebagai pelanggaran hukum. Bila di kawasan Jakarta Selatan aksi balap liar hanya berujung pada pembubaran, tidak demikian di Pusat atau Timur.

“Setahu gue yang di sana itu sampai pakai cara-cara yang keras. Ditembaki peluru karet dan semacamnya, lah. Mungkin karena emang udah saking seringnya [balap liar], ya,” kata Barney.

Perubahan zaman, rupanya, ikut memengaruhi bagaimana anak-anak muda merayakan balap liar. Eduard, mantan joki balap liar yang sekarang mengelola bengkel, mengungkapkan bahwa bila di era dulu, balap liar identik dengan spontanitas, murni sebagai ruang penyalur hasrat dan suka cita.

Di masa lampau, balap liar tak perlu persiapan yang rumit. Ajakan balapan bisa dilontarkan langsung kepada calon lawan di tempat mereka bertemu. Tradisi seperti ini kerap disebut “gabrukan.”

“Sekarang kayak ribet banget. Harus lewat media sosial, lah. Bikin ini, lah. Itu, lah. Jadi banyak gimmick aja kalau menurut saya,” ucap Eduard. “Kalau dulu, mah, mau adu tinggal adu aja. Pasang duit berapa taruh di bawah. Menang [atau] kalah yang penting senang.”

Memang di media sosial, terutama Instagram, konten-konten balap liar mudah dijumpai. Anda tinggal mengetik kata kunci terkait untuk menemukan ribuan unggahan balap liar.

Bahkan, terdapat beberapa akun yang didedikasikan khusus untuk menginformasikan seluk beluk soal balap liar, mulai dari profil joki, jadwal bertanding, hingga kursus singkat memoles motor supaya melaju sekencang kilat. Kehadiran media sosial, pendek kata, membikin tradisi balap liar tak lagi tertutup.

“Memang ada tradisi yang memudar. Tapi, sejujurnya, media sosial membantu banget. Karena dari situ kami nggak sekadar bicara soal balap liar, melainkan juga bisa jadi tempat promosi bengkel, jualan spare part, atau sharing pengetahuan soal motor,” kata Barney.

Dia menambahkan, “Ya walaupun, sekali lagi, polisi bisa mudah memantau gerak anak-anak. Untuk itu, kami sendiri udah mulai punya cara khusus buat mengatasinya.”

Media sosial juga membantu mengurangi persepsi negatif publik terhadap balap liar. Barney merasa balap liar merupakan bagian dari dinamika anak-anak muda yang tak difasilitasi oleh pemangku kebijakan. Bagian negatifnya memang tetap ada, seperti tawuran maupun kemungkinan jadi korban kecelakaan. Namun demikian, sisi positifnya juga tak kalah banyak.

“Balap liar itu juga soal team work, etos kerja, atau utak-atik mesin yang perlu kemampuan khusus. Itu, kan, baik dilihat sebenernya. Tapi, orang-orang justru lebih sering mandang bagian yang negatif aja,” kata Barney, dengan menggebu-gebu.

Balap liar, diakui atau tidak, telah menjadi bagian dari kultur anak-anak muda di kota besar macam Jakarta. Ia akan selalu ada, mengiringi gejolak hasrat anak-anak muda dan kerasnya kehidupan kota, sekalipun berkali-kali diberangus dengan alasan melanggar hukum dan mengganggu ketertiban.

Share: Roda-Roda Balap Liar Terus Berputar