Foto: Unsplash
Sejak kecil, saya mengenal nasi sebagai sumber utama karbohidrat. Dari sarapan hingga makan malam, nasi selalu tersedia di meja makan. Setelah saya dewasa dan mengenal lebih banyak alternatif sumber karbohidrat, nasi tetap jadi pilihan utama keluarga saya.
Ibu saya akan memandang aneh saya jika menu sarapan saya hanya terdiri dari setangkup roti. Ia juga akan bersikeras menambahkan nasi di mi goreng instan yang saya santap—tetapi tak menghiraukan minimnya sayur-sayuran di piring.
“Belum makan namanya kalau belum makan nasi,” katanya.
Kebiasaan yang ditanamkan oleh orang tua saya ini sebenarnya tidak mengherankan. Mereka adalah generasi yang tumbuh besar di era Orde Baru. Kelahiran mereka di tahun 1960-an bertepatan dengan lahirnya juga agenda “Revolusi Hijau” di Indonesia.
Saat itu, negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, dan Brasil berupaya untuk meningkatkan produksi bahan pangan—utamanya beras atau gandum—untuk menekan angka kelaparan. Di Indonesia, tujuannya lebih ambisius lagi: mencapai swasembada pangan demi menciptakan stabilitas pembangunan nasional.
Berpuluh-puluh tahun telah berlalu, dampak dari Revolusi Hijau masih terasa. Di satu sisi, International Food Policy Research Institute menyebutkan Revolusi Hijau telah berkontribusi dalam mengurangi angka kemiskinan di Asia sepanjang 1975-1995.
Namun, kebijakan ini juga membawa masalah-masalah serius: kesenjangan ekonomi dan sosial di Indonesia meningkat karena hanya petani yang memiliki tanah dan modal besar yang mampu mengadopsi teknologi yang dibutuhkan. Ada pula dampak kerusakan lingkungan karena penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan.
Satu dampak yang dapat dengan mudah kita lihat sehari-hari: rakyat Indonesia jadi punya ketergantungan besar terhadap beras hingga saat ini.
Indonesia menduduki peringkat ketiga konsumsi beras terbesar di dunia. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa konsumsi beras di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada 2011, jumlah beras yang kita makan mencapai 27,34 juta ton atau 113,72 kg per kapita. Angka ini meningkat menjadi 28,69 juta ton pada 2014 dan 29,13 juta ton pada 2017.
Jika ditarik ke belakang lagi, Food Security Agency menunjukkan bahwa konsumsi beras meningkat pesat sejak zaman kemerdekaan: dari 53,3% pada 1945, 88,1% pada 1999, hingga menjadi 78,04% pada 2010.
Krisis Iklim, Krisis Pangan
Ada kekhawatiran bahwa laju konsumsi yang terus meningkat tidak akan sebanding dengan ketersediaan beras. Pertumbuhan penduduk merupakan salah satu faktornya. Selain itu, krisis iklim juga membuat pertumbuhan padi jadi kian tidak menentu.
Dalam studi “Assessing Risks of Climate Variability and Climate Change for Indonesian Rice Agriculture” (2007), Naylor dkk menemukan bahwa krisis iklim yang terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah dapat membuat produksi beras terhambat hingga satu bulan—yang kemudian berdampak pada menurunnya produksi hingga 65%.
Padahal, kedua wilayah ini termasuk sebagai pengkonsumsi beras terbesar se-Indonesia: Jawa Barat sebesar 6,15 juta ton dan Jawa Tengah sebesar 3,69 juta ton pada 2017.
Begitu pula dengan produksi beras di Bali yang berkurang hingga 20% sepanjang 20 tahun terakhir karena krisis iklim (Takama dkk, 2014). Proyeksinya, krisis iklim ini juga akan berdampak pada berkurangnya luas sawah di Indonesia pada 2050, yaitu sebesar 182 ribu hektar di Jawa dan Bali, 78 ribu hektar di Sulawesi, 25 hektar di Kalimantan, 3 ribu hektar di Sumatera, dan 2 ribu hektar di Lombok.
Persoalannya, masyarakat sudah begitu bergantung pada beras hingga sumber-sumber bahan karbohidrat lain tak lagi diminati hingga berhenti diproduksi. Ini berdampak pula pada berkurangnya keberagaman sumber pangan lokal, sebagaimana yang disorot oleh Ayu dkk dalam studinya “How to Feed 311 Million of Indonesian People by 2050?” pada 2016.
Sebelum Revolusi Hijau diterapkan, sumber karbohidrat di Indonesia amat beragam. Sagu, ubi, dan singkong dulunya makanan pokok yang populer di Indonesia bagian timur. Begitu pula dengan jagung di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat, atau singkong di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Namun, jika mengulik data BPS, jumlah konsumsi alternatif sumber karbohidrat ini jauh lebih rendah dari konsumsi beras. Besaran konsumsi jagung, misalnya, sempat berkurang: dari 6,97 juta ton pada 2014 menjadi 5,44 juta ton pada 2017.
Begitu pula dengan Sagu. Tanaman ini ada di berbagai wilayah di Indonesia dengan estimasi luas mencapai 1,28 juta hektar—atau 51,3% dari luas total tanaman sagu di dunia. Flach dalam bukunya The Sago Palm telah menyebutkan sejak 1983 bahwa sagu dapat menjadi alternatif dari beras: sumber karbohidrat yang ramah lingkungan dan berpotensi menjadi kunci untuk menjaga keamanan pangan di Indonesia dalam jangka panjang.
Namun, jumlah sagu yang diproduksi di Indonesia baru 10% dari potensialnya—yang semestinya dapat mencapai 12-18 juta ton per hektar tiap tahunnya. Metaragakusuma dkk dalam studinya “The Current Status of Sago Production in South Sulawesi” (2017) menyorot bahwa produksi sagu di Sulawesi Selatan berkurang hingga 86% sepanjang 2006-2013.
Selain karena warga di sana telah bergantung pada beras, Metaragukusuma juga berargumen bahwa masyarakat setempat beralih menanam tanaman lain yang lebih punya nilai jual. Minimnya dukungan dari pemerintah setempat pun tidak membantu membuat sagu lebih populer di kalangan masyarakat.
Di satu sisi, pemerintah memang tidak berpangku tangan. Sejak 2009, telah keluar Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 yang mengatur tentang program diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal.
Di sisi lain, Ayu dkk. (2016) menyorot komitmen pemerintah masih setengah-setengah. Anggaran yang dikeluarkan untuk program ini hanya 0,57% dari total anggaran sektor ketahanan pangan di Kementerian Pertanian. Berasal dari anggaran negara (APBN), tak ada pula informasi lebih lanjut tentang tata cara pensinergian anggaran dengan daerah (APBD).
Tahun demi tahun berlalu, pemerintah memang terus memperlihatkan upayanya untuk meningkatkan keberagaman bahan pangan. Terakhir, Kementerian Pertanian bilang akan berfokus untuk mengembangkan enam komoditas lokal: ubi kayu, jagung, sagu, pisang, kentang, dan sorgum.
Meski begitu, data pemerintah juga menunjukkan bahwa konsumsi sumber karbohidrat non-beras di Indonesia masih belum mengalami peningkatan signifikan. Konsumsi sagu masih di angka 0,4-0,5 kg per kapita setiap tahunnya sepanjang 2013-2018. Begitu pula dengan jagung, singkong, ubi, ataupun kentang yang tingkat konsumsinya masih puluhan kali lipat di bawah konsumsi beras.
Kita kerap lupa bahwa melepas ketergantungan dari beras bukanlah sekadar pilihan, melainkan siasat untuk bertahan hidup. Guru Besar Ilmu Gizi dan Ketahanan Pangan dari Institut Pertanian Bogor, Ahmad Sulaeman, pernah berkata bahwa keberagaman sumber pangan akan menghindarkan Indonesia dari bencana kelaparan.
“Meski kekurangan pangan, tetapi kita tetap bisa bertahan hidup, tidak mengalami kelaparan seperti di Afrika. Karena, kita punya sumber daya lokal, tidak bergantung semata-mata kepada beras,” katanya dalam podcast “Mengapa keragaman pangan di meja makan begitu penting?” pada 2018.
Namun, ia memandang fokus diversifikasi bahan pangan pemerintah Indonesia masih terlalu sempit. Bukan cuma singkong, jagung, ataupun sagu, totalnya terdapat sekitar 77 jenis sumber karbohidrat yang sebenarnya tersebar di Indonesia. Sumber-sumber karbohidrat itu sayangnya perlahan kehilangan popularitas—bahkan tak lagi dikenal.
“Sekarang, siapa anak-anak Indonesia yang tahu uwi-uwian, uwi ungu, garut, ganyong?” katanya, menyebut nama umbi-umbian yang saya sendiri baru mendengar untuk pertama kalinya.