Isu Terkini

Tan Malaka Bukan Kesalahan

Heru Joni Putra — Asumsi.co

featured image

Ilustrasi: Ikbal/Asumsi.co

Awal Oktober lalu, arena politik Indonesia dipenuhi aksi penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 5 Oktober 2020. Tak hanya di Jakarta, rangkaian demonstrasi besar, umumnya dimotori para pelajar, terjadi berhari-hari di berbagai daerah di Indonesia.

Di Serang, Banten, 6 Oktober 2020, pedemo berhimpun di depan kampus UIN Sultan Maulana Hasanudin. Polisi menganggap itu kerusuhan, lalu menangkap 13 orang yang terdiri dari siswa, mahasiswa, dan pedagang dengan tuduhan mereka merupakan provokator.

Penangkapan tak hanya terjadi di lokasi unjuk rasa. Seorang demonstran berinisal OA ditangkap di tempat tinggalnya. Ia dikenakan pasal 212 KUHP dan diancam 1,4 tahun penjara.

Namun, yang mengherankan, “bukti” yang digunakan polisi bukanlah temuan di lapangan, melainkan sebuah buku di rumah OA: Menuju Merdeka 100 % (2017), gabungan sejumlah karya Tan Malaka yang dikemas ulang Penerbit Narasi.

Peristiwa itu bukan kali pertama, juga bukan yang terakhir, bagaimana negara menempatkan Tan Malaka sebagai kesalahan. Tan Malaka. Salah satu bapak bangsa Indonesia.

Pada 1963, Presiden Sukarno memberikan penghargaan untuknya sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Namun, sejak rezim antikomunis Soeharto berkuasa, kontribusi Tan Malaka dilupakan secara sistematis dari sejarah nasional. Dalam memori kebangsaan kita yang dihantui momok-momok Perang Dingin, Tan Malaka dipaksa sekadar jadi bagian dari bahaya yang tak lekas jadi pudar.

Sejak 1965, Soeharto membangun kekuasaannya di atas pembantaian ratusan ribu hingga berjuta-juta orang serta segala narasi tentang keburukan politik kiri. Dia memenggal dan merakit ulang sejarah komunisme di Indonesia semau-maunya. Perjuangan antikolonialisme Partai Komunis Indonesia (PKI) pada akhir 1920an, misalnya, dipepatkan ke dalam bingkai kisah-kisah “pengkhianatan” ala 1965.

Tan Malaka, yang merupakan ketua PKI era 1920an sekaligus Wakil Komintern tahun 1923 (dan kemudian memilih keluar dari PKI serta melepas keterkaitannya dengan Moskow), pun terbenam bersama riwayat kiri Indonesia yang sesungguhnya amat dinamis.

Kejatuhan Soeharto pada 1998 tak berarti memori negara tentang Tan Malaka turut berubah. Jasa-jasanya tetap dilupakan, nama dan karyanya dijadikan kenang-kenangan tentang bahaya.

Pada 2015, dalam momen 50 tahun peringatan Peristiwa 1965, Mabes TNI secara resmi memproduksi film Jendral Soedirman (2015). Itu hanya salah satu contoh terbaru bagaimana negara secara sistematis terus memperpanjang wacana rezim Soeharto tentang Tan Malaka. Sebagaimana buku-buku sejarah yang diproduksi Orde Baru, secara prinsip, film tersebut hanya mengulangnya.

Untunglah, kita dapat mengakses buku-buku sejarah tentang Tan Malaka yang terlegitimasi secara akademik, sebutlah karya Harry A Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Obor, 2008). Buku yang terdiri dari 6 jilid itu dapat menunjukkan seberapa pentingnya Tan Malaka bagi Indonesia. Adapun Java in Time of Revolution karya Benedict Anderson yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Revolusi Pemoeda (Marjin Kiri, 2018) turut menambah catatan penting tentang kontribusi besar Tan Malaka pada perjuangan generasi muda dalam revolusi Indonesia.

Ada harapan bahwa kerja-kerja akademik beserta penyebarluasannya dapat membantu masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pemahaman yang berbeda dari narasi hitam-putih yang terus menerus direproduksi negara. Semakin banyak pembahasan yang bermutu atas Tan Malaka, semakin kuat pula upaya kita mengguyah-lemahkan “sejarah” warisan Orde Baru yang manipulatif.

Selain di ranah akademik yang kadang terbatas, perlawanan terhadap memori negara juga bisa hadir di gelanggang digital.

Beberapa hari setelah penangkapan OA, Minggu (11 Oktober 2020), “Tan Malaka” menjadi salah satu topik paling populer di Twitter. Paling tidak, sampai pukul 12.08 WIB, terdapat 6.710 twit tentang Tan Malaka. Kemunculan namanya sebagai trending topic di Twitter mungkin dapat memicu masyarakat untuk kembali mengingat Tan Malaka sebagai sosok yang berbeda.

Kompas.com menerbitkan berita “Trending di Twitter, Bagaimana Perjalanan Hidup Tan Malaka?” Pada hari yang sama, di tengah hiruk-pikuk itu, media sejarah populer pertama di Indonesia, Historia, mempublikasikan kembali tulisan tentang Tan Malaka di akun Twitter resmi mereka. Tulisan-tulisan itu telah dikomentari oleh ratusan pengguna media sosial tersebut, disukai lebih dari dua ribu, dan di-retweet oleh lebih dari seribu netizen.

Hal-hal di atas, sekecil apa pun, adalah bagian dari kontestasi terhadap memori negara. Sedikit demi sedikit, Tan Malaka bisa diingat kembali dengan segala kompleksitasnya.

Banyak orang mengaku baru tahu bahwa Tan Malaka lebih luas dari narasi yang diproduksi negara selama ini. Tak hanya tentang kisah perjuangan, di momen itu kita juga menemukan berbagai narasi, mulai dari kisah kasih tak sampainya  hingga kedekatannya dengan ulama, soal hubungan Tan Malaka dengan budaya lokalnya hingga kisah keakrabannya dengan Jendral Soedirman, dan sebagainya.

Namun, pada saat yang sama, Tan Malaka pun dapat dengan mudah dilupakan kembali. Seiring keliaran isu di media sosial, trending topic pun berlalu. Ini tentu risiko tak terelakkan di arena digital. Platform digital yang penuh kesementaraan itu membuat usaha untuk merebut narasi dari tangan kekuasaan menjadi semakin rumit.

Apalah artinya kajian akademik yang sangat berguna tentang Tan Malaka bila karya-karya berharga itu tidak menjadi bagian dari sumber terlegitimasi dalam kurikulum pendidikan kita? Sebagaimana berita di CNN Indonesia (4 Januari 2021), permintaan ahli waris Tan Malaka agar “sejarah perjuangan penggagas Republik Indonesia itu dimasukkan ke dalam pelajaran Sejarah di sekolah” agaknya layak dipertimbangkan.

Dan apalah artinya trending topic yang sesekali saja bila di sisi lain negara tetap saja aman-damai menjaga memori warisan Orde Baru? Apalah artinya kepedulian terhadap hari ini bila tak diikuti dengan keadilan dalam melihat masa lalu?

*Heru Joni Putra adalah seorang penyair dan kurator seni rupa. Majalah Tempo memilihnya sebagai Tokoh Seni pada 2017. Dia juga menulis tesis pascasarjana berjudul “Kontestasi Memori dalam Pemindahan Makam Tan Malaka dari Jawa Timur ke Sumatra Barat” di Universitas Indonesia.

Share: Tan Malaka Bukan Kesalahan