Isu Terkini

Hukuman Kebiri Kimia Tak Mencabut Akar Masalah Kekerasan Seksual

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Ilustrasi: Freepik

Apakah hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual akan memberikan keadilan kepada korban?

Presiden Joko Widodo baru saja meneken peraturan yang mengatur tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Selain kebiri kimia, Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2020 ini ikut mengatur soal ketentuan rehabilitasi, pemasangan alat deteksi elektronik pada pelaku kekerasan seksual, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Isi PP menyebutkan bahwa peraturan ini ditetapkan dalam rangka untuk, “Mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberikan efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.”

Kekerasan Seksual Adalah Penaklukan

Kekerasan seksual adalah soal kuasa. Kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi selama ini bukan cuma didorong oleh berahi, tetapi juga hasrat pelaku untuk menguasai, mendominasi, atau menaklukkan korbannya. Perempuan, misalnya, rentan jadi korban kekerasan seksual karena budaya patriarki membuat relasi antara perempuan dan laki-laki tidak setara.

Pola ini dapat ditemukan di banyak kasus kekerasan seksual: pekerja yang lebih muda menerima komentar melecehkan dari atasannya hingga dipaksa untuk berhubungan seks dengan iming-iming karier yang lebih cemerlang. Perempuan dan anak perempuan paling banyak jadi korban kekerasan di ranah domestik.

Penaklukkan terhadap etnis Tionghoa pada Mei 1998 salah satunya dilakukan melalui perkosaan massal. Begitu pula dengan kekerasan berbasis gender online yang didefinisikan oleh Kolektif Purple Code sebagai “perpanjangan dari kekerasan berbasis gender offline” dan merupakan “wujud dari proses kontrol sosial, politik, dan kultural terhadap eksistensi dan agensi perempuan.”

Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menjelaskan bahwa ketidaksetaraan itu bisa jadi karena faktor usia ataupun cara pandang pelaku terhadap korban.

“Mengontrol hormon seksual [dengan kebiri kimia] tidaklah menyelesaikan problem kekerasan seksual. Kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena relasi kuasa yang tidak setara,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi.

Oleh karena itu, hukuman kebiri kimia yang berfokus pada menghilangkan hasrat seksual pelaku dinilai bukanlah langkah solutif dalam mengurai fenomena kekerasan seksual yang berakar dari ketimpangan relasi kuasa.

Peraturan pemerintah yang disusun untuk melaksanakan Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini juga pernah dikecam oleh Amnesty International Indonesia. Amnesty menilai peraturan ini adalah cara instan yang tidak benar-benar menjawab persoalan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia yang kompleks.

“Kami memahami bahwa pemerintah berupaya menunjukkan ketegasannya dalam memerangi kejahatan seksual terhadap anak yang menjadi masalah serius di Indonesia lewat penghukuman kebiri kimia. Namun, menurut kami, ini adalah cara instan yang justru menjauhkan pemerintah dari tanggung jawab untuk mereformasi kompleksitas instrumen hukum dan kebijakan terkait perlindungan anak,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid ketika Jokowi meneken perppu pada 2016.

Minim Keadilan bagi Korban, Pelanggaran HAM terhadap Pelaku

Praktik kebiri kimia hingga pemasangan alat pendeteksi elektronik membutuhkan anggaran yang besar, sementara itu, Institute For Criminal Justrice Reform (ICJR) melihat anggaran untuk melindungi korban kekerasan seksual justru mengalami pemangkasan setiap tahunnya.

Sejak 2015 hingga 2019, jumlah layanan yang dibutuhkan korban dan diberikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terus meningkat: dari 148 layanan pada 2015 menjadi 9.308 layanan pada 2019.

Namun, anggaran yang diberikan kepada LPSK justru terus mengalami penurunan. Pada 2015, misalnya, anggaran untuk layanan LPSK adalah Rp148 miliar. Namun, pada 2020, anggarannya berkurang drastis menjadi Rp54,5 miliar. ICJR juga membandingkan anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk lembaga penegakan hukum lain yang jumlahnya jauh lebih besar, seperti aktivitas digital pemerintah oleh kepolisian yang jumlahnya mencapai Rp937 miliar.

“Angka ini jelas jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran yang disediakan untuk pendampingan, perlindungan, dan pemulihan korban tindak pidana, termasuk korban kekerasan seksual di Indonesia,” ujar ICJR dalam rilis persnya. “Politik anggaran dari pemerintah yang selalu memangkas kebutuhan korban seperti LPSK menunjukkan bahwa perlindungan dan pemulihan korban belum menjadi prioritas negara.”

Selain tak memberikan keadilan bagi korban, hukuman kebiri kimia ini pun termasuk dalam pelanggaran HAM. Amnesty menyebut praktik ini melanggar peraturan internasional “Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat” yang diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). Peraturan ini pun telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1998.

Apalagi, berbeda dari Indonesia, kebanyakan negara lain menerapkan hukuman kebiri kimia hanya ketika pelaku terpidana kekerasan seksual bersedia melakukannya. Finlandia, Republik Ceko, dan sejumlah negara bagian di Amerika Serikat menawarkan kebiri kimia sebagai alternatif terhadap durasi penjara yang lebih lama.

Begitu pula dengan di Denmark dan Jerman yang hanya menerapkan hukuman ini dengan consent dari terpidana pelaku—yang berarti mereka mesti menerima informasi utuh tentang prosedur, risiko, dan manfaat dari kebiri kimia.

Kebanyakan negara dengan hukuman kebiri kimia pun hanya menerapkannya kepada pelaku kekerasan seksual yang melakukan kejahatan secara berulang.

Menurut Siti Aminah Tardi, tindak pidana pengebirian kimia juga bertentangan dengan prinsip pemidanaan itu sendiri. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan dengan menegakkan norma hukum, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, dan menyelesaikan konflik.

Oleh karena itu, jika berkomitmen untuk menghapus kekerasan seksual, ia meminta negara mengambil langkah yang lebih serius.

“Pertama, melakukan pencegahan dengan pendidikan seksual. Kedua, perumusan tindak pidana kekerasan seksual yang tidak terbatas pada perkosaan dan pencabulan. Ketiga, penanganan korban yang ramah. Keempat, pemenuhan hak-hak korban. Kelima, pemberian sanksi kepada pelaku kekerasan seksual melalui rehabilitasi khusus dalam bentuk konseling perubahan perilaku,” ujar Siti.

Share: Hukuman Kebiri Kimia Tak Mencabut Akar Masalah Kekerasan Seksual