Di Jakarta, mencari tong setan tak ubahnya mencari setan itu sendiri: dia melekat pada ingatan banyak orang, namun sedikit yang tahu di mana keberadaannya.
Situasi berbeda saya rasakan belasan tahun lalu, sewaktu bocah. Di kota kelahiran saya, Solo, tong setan dapat ditemui dengan mudah. Anda tinggal datang ke Sekaten, semacam ‘pesta rakyat’ untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad, pasti ada yang sedang menggeber motor mengelilingi tong.
Saya sering merengek, memaksa orangtua agar kami mampir di tong setan setelah berkeliling di pasar malam. Kadang mereka menolak dengan alasan saya masih terlalu kecil. Tapi saya tak pernah menyerah. Bermodal tangisan yang naik turun seperti bunyi knalpot, keinginan itu selalu terkabul.
Pengalaman tersebut, sekalipun tergolong antik, tersimpan baik di ruang-ruang ingatan saya. Alasan paling masuk akal, mungkin, karena memang wahana tong setan sangat menyenangkan untuk ditonton. Melihat para pengendara tong setan kebut-kebutan memutari arena, bagi anak kecil seperti saya, pada waktu itu, jelas menggetarkan.
Hasrat untuk merasakan sensasi serupa membuat saya kembali mencari tong setan saat umur hampir diawali angka tiga dan tangisan meraung-raung tak lagi menggemaskan. Sayang, tak seperti di Solo, pencarian tong setan di Jakarta butuh usaha ekstra.
Saya menjelajah hingga batas, puluhan kilometer dari keriuhan Jakarta, tepatnya di sekitar Cengkareng, Tangerang. Namun, setelah berkali-kali tersasar, melewati gang-gang kecil yang hanya bisa dilewati dua motor, serta terus mengulang pertanyaan yang sama setiap berjumpa warga lokal, upaya ini tak membuahkan hasil. Pencarian pertama saya berakhir dengan tangan kosong.
Belajar dari pengalaman, saya mematangkan persiapan. Saya menggali lebih dalam informasi di media sosial sembari menghubungi kolega di tempat kerja lain dengan harapan ada yang mampu menjawab di mana keberadaan tong setan di Jakarta.
Upaya tersebut ternyata tak berakhir sia-sia. Jawaban ada di timur sana: Bekasi. Tanpa pikir panjang, saya segera memastikan informasi ihwal tong setan kepada pemilik bisnis pasar malam bersangkutan, yang nomornya saya peroleh dari Instagram dan seorang wartawan yang baru saya kenal.
Saya menekan nomor telepon yang tertera. Telepon diangkat. Saya memperkenalkan diri, lalu menjelaskan maksud dan tujuan. Tak sampai sepuluh menit kami berbincang, kalimat yang saya tunggu pun keluar dari mulut laki-laki di ujung sana:
“Tong setannya ada. Besok main, Bang, habis Isya’.”
Rasa lega bercampur bahagia terbit di dada. Pelan-pelan, saya menggumamkan sepotong lagu “Take the Long Way Round” dari Teenage Fanclub yang terngiang di dalam benak: “Feels like maybe I’ve been here before.”
***
Perawakan Bondet mudah dikenali. Badan lumayan berotot, kulit cokelat terbakar matahari, serta rambut gondrong yang senantiasa dikucir. Sepintas dia mirip Yayan Ruhiyan atau Bucek Depp sewaktu main di sinetron Anak Menteng (1997).
Kami berjumpa di pasar malam yang dikelola grup Kelana Jaya Putra, letaknya di Tambun, Bekasi. Bondet menyambut kedatangan saya dengan ramah.
“Setengah jam lagi main, Bang,” kata lelaki 30 tahun ini membuka obrolan.
Bondet merupakan pengendara—biasa disebut joki—tong setan di pasar malam itu. Sudah sejak 2018 dia memutuskan banting haluan jadi joki, setelah sebelumnya bekerja sebagai kru pasar malam. Keputusan Bondet didasari pertimbangan yang tak muluk-muluk: atraksi tong setan membikinnya terpesona dan dia ingin terlibat di dalamnya.
Bersama adiknya, Peank, laki-laki berumur 25 tahun, Bondet pun memulai petualangannya. Mereka berlatih secara otodidak sekaligus berguru kepada joki senior. Jalannya tak mudah, tapi mereka menolak kalah.
Hal pertama yang mesti dibenahi ialah soal spesifikasi kendaraan. Bondet bilang bahwa sebetulnya semua motor—dua atau empat tak—bisa digunakan untuk memutari medan tong. Namun, bila merujuk pada tradisi yang ada sebelumnya, para pengendara lebih nyaman ketika memakai motor empat tak, tepatnya jenis RX-King.
Bodi RX-King dimodifikasi menjadi sangat ramping, menyisakan bagian esensial saja macam rem kaki, knalpot, serta mesin. Tujuannya tak lain dan tak bukan supaya motor ringan tatkala dibawa beraksi.
“Kalau motornya berat, otomatis akan jadi lebih susah ngendaliinnya,” kata Bondet.
Kalau urusan motor telah beres, fase berikutnya adalah melatih kemampuan joki, dan di sinilah prosesnya memakan waktu yang cukup panjang. Urusan kemampuan berbanding lurus dengan ketahanan mental para joki. Artinya, ketika ingin menguasai banyak gaya, setiap joki diwajibkan melenyapkan rasa takut. Menyimpan rasa takut saat mengendarai motor di atas arena sama berarti memperlebar kemungkinan untuk jatuh—dan kemudian tak ingin mencobanya lagi.
“Pokoknya kalau ingin jadi joki itu jangan takut. Kemampuan bisa diasah, tapi kalau urusan mental kayaknya susah,” ujar Bondet.
Teknik paling dasar adalah mengitari lingkaran tong. Walaupun tergolong basic dan mudah, tapi Bondet dan Peank berkali-kali tersungkur hingga akhirnya bisa masuk dalam kualifikasi mahir.
“Wah, udah enggak keitung, Bang,” jawab Peank seraya tertawa tentang pengalaman jatuhnya. “Untungnya enggak yang sampai kenapa-kenapa kayak patah tulang gitu. Paling cuma lecet atau keseleo aja.”
Mengitari lingkaran tentu bukan satu-satunya hal yang harus dikuasai para joki jika ingin benar-benar menyajikan atraksi yang memukau. Terdapat banyak gaya yang dapat dicoba. Mulai dari duduk bersila, handstand, hingga freestyle. Semua punya kesulitannya masing-masing. Meski begitu, untuk Bondet dan Peank, tak ada yang paling menantang—sekaligus paling susah—ketimbang teknik kalajengking, atau populer disebut scorpio.
Teknik scorpio merupakan puncak keindahan, gaya agung dalam dunia tong setan. Dia membutuhkan semua kepiawaian joki ketika melakukan atraksi: fokus, keseimbangan, kelenturan tangan, stamina fisik prima, sampai intuisi yang tajam. Secara garis besar, gaya scorpio punya gambaran kurang lebih seperti ini: tubuh joki berdiri di atas motor, menjorok sedikit ke depan, dan satu kaki diangkat ke atas—membentuk ekor kalajengking.
“Saya masih belum bisa ngelakuin gaya [scorpio] itu,” kata Peank, dia menggeleng-geleng. “Udah cobain berkali-kali, tapi masih belum nemu jalan. Tinggal [gaya] itu aja yang belum saya kuasai.”
Berbeda dari Peank, Bondet sudah lebih dulu mampu melakukan teknik kalajengking, dan malam itu, kawan saya Ramadhan berhasil mengabadikannya. Keesokan harinya, saya melihat jepretan gaya scorpio yang dibawakan Bondet dan seketika berteriak:
“Anjing, bisa gini, ya!”
***
Atraksi tong setan bukanlah permainan kemarin sore. Sejarah mencatat, kemunculan tong setan dapat dilacak sejak awal dekade 1900-an. Di Barat, tepatnya AS dan Inggris, di mana dua negara ini sering dinilai saling berebut klaim soal siapa yang menjadi pelopor wahana menegangkan tersebut, tong setan punya istilah yang cukup mengerikan: Wall of Death.
Di AS, mulanya, tong setan diisi oleh para joki yang menunggangi sepeda. Sedangkan di Inggris, pada 1920-an, tong setan telah memanfaatkan mesin motor sebagai pijakan utama atraksinya. Seiring waktu, wahana ini terus bertransformasi—bahkan ada yang membawa hewan di atas motor—dan menjadikannya atraksi yang laris dikunjungi di setiap pasar malam yang dihelat di dataran AS maupun Eropa.
Kecamuk Perang Dunia II sempat melenyapkan atraksi tong setan beserta joki-joki terkenal di eranya. Namun begitu, upaya untuk bangkit bukannya tak ditempuh. Usai perang, orang-orang di balik bisnis tong setan Eropa dan AS perlahan terjun kembali membangun wahana ini. Usaha itu membuahkan hasil: tong setan meraih popularitas berskala masif lewat eksistensi world fair yang dilangsungkan di banyak negara.
Gegap gempita tong setan rupanya sampai juga di Indonesia. Tak jelas kapan persisnya tong setan masuk ke Tanah Air. Dugaan paling kuat menyebut bahwa tong setan hadir pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, bersamaan dengan modernisasi wahana permainan pasar malam lokal di bawah rezim kekuasaan Orde Baru.
Di kawasan Asia, tong setan tak hanya muncul di Indonesia. India, misalnya, juga terhipnotis pesona wahana permainan ini. Di sana, tong setan sampai pada taraf yang mungkin di luar nalar: menggunakan mobil.
Wahana tong setan—atau “tong stand”—memerlukan sumber daya yang tak sedikit, terutama dari sisi modal.
Roni, pengelola pasar malam Kelana Jaya Putra, menuturkan bahwa sekali produksi wahana tong setan dapat menguras tabungan sampai hampir Rp200 juta. Keseluruhan dana itu, mayoritas, dipakai untuk membangun arena atraksi yang berukuran cukup besar.
“Kami memakai kayu jati, jadi enggak bisa sembarangan. Besi-besinya, walaupun beli second, juga kualitas masih bagus,” terangnya. “Nah, yang paling penting juga bahwa ukuran berpengaruh sama modal yang dikeluarin. Semakin lebar [arenanya], semakin banyak duitnya.”
Di Indonesia sendiri, mengutip pernyataan Roni, rata-rata lebar arena tong setan berada di kisaran angka 14 hingga 16 meter. Ada yang mencapai 20 meter, ukuran terbesar, namun keberadaannya makin susah dijumpai. Ukuran 14 meter dianggap paling sesuai untuk karakteristik atraksi tong setan di level lokal. Selain biaya yang dikeluarkan tak kelewat banyak, ukuran ini juga memudahkan para joki dalam memuluskan aksi-aksinya.
“Di sini belum ada yang sampai 40 [meter] kayak [atraksi tong setan] di India. Di India itu tong setannya gede banget, Bang,” Roni memberi tahu saya.
Modal yang besar tersebut seperti tak jadi persoalan manakala bisnis tong setan mengalami masa keemasannya sepanjang 2000 hingga 2010. Wahana tong setan tersebar tak sekadar di Jawa, melainkan singgah pula sampai Sumatera, entah itu di daerah kabupaten maupun kota-kota utama. Dapat dipastikan di setiap pasar malam yang berlangsung, terdapat setidaknya satu arena tong setan.
Anwar, mantan joki tong setan yang memutuskan pensiun dua tahun lalu dengan alasan ingin menyediakan ruang untuk mereka yang lebih muda, membenarkan informasi itu. Masa keemasan tong setan, Anwar bilang, ditandai juga dengan penuhnya arena oleh kehadiran penonton. Atraksi tong setan tak ubahnya panggung konser, dengan para joki berdiri sebagai rock star-nya.
“Saya pernah main di banyak daerah, enggak hanya di Jawa aja, dan selalu penuh [penonton]. Tiket habis terjual dan saweran—uang yang diberikan langsung ke joki saat mereka bermain—juga banyak,” kenang Anwar, yang juga jadi mentor bagi Bondet dan Peank ini.
Tingginya euforia tersebut kemudian melahirkan pendapat klasik yang kira-kira berbunyi seperti ini: jika pasar malam ingin besar atau terkenal, bangun tong setan. Tong setan, pendek kata, serupa jaminan pasar malam untuk sukses dan dikunjungi banyak orang.
Akan tetapi, masa emas bisnis tong setan tak selamanya bertahan. Setelah 2010, popularitasnya perlahan meredup, tergantikan dan tertutup oleh pancaran sinar wahana permainan lainnya macam kora-kora sampai komidi putar yang konon dianggap lebih ‘ramah’ terhadap pengunjung.
Ada pula yang menyebut, dengan melihat fenomena secara luas, bahwa turunnya pamor tong setan berbarengan dengan turunnya gemerlap pasar malam itu sendiri sebab munculnya arena bermain yang lebih modern macam Dunia Fantasi atau Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
“Saya kira karena faktor selera saja, ya. Orang-orang merasa tong setan bakal seperti itu-itu aja,” Anwar mencoba memberi jawaban ihwal turunnya pamor tong setan.
Tak ada jawaban yang mutlak. Tapi, yang pasti, dampaknya terhadap roda bisnis tong setan cukup signifikan. Di Jakarta sendiri, ambil contoh, eksistensi tong setan bisa dihitung dengan jari. Satu per satu mereka berguguran, entah pindah lokasi ke daerah pinggiran seperti Bogor atau Bekasi maupun dijual ke bos pasar malam lainnya untuk kemudian dibawa ke Jawa Barat, Timur, dan Tengah, di mana di tiga lokasi ini bendera tong setan masih berkibar, walaupun pandemi membikin kibaran bendera itu tak segagah dulu kala karena kebijakan pembatasan sosial.
“Kemarin ada tong setan dari sini yang baru dibeli bos [pasar malam] di Jawa [Tengah]. Kami kasih Rp150 juta. Nggak balik modal, memang. Tapi, daripada numpuk dan nggak laku, ya udah, akhirnya dijual saja,” ungkap Roni. “Jadi, [tong setan] yang ada di sekitaran Jakarta cuma tinggal ini.”
Kehadiran tong setan yang tersisa pun tak serta merta penuh kesuksesan. Jumlah penonton yang hadir makin hari makin menyusut, meninggalkan lubang kesepian yang asing di arena yang biasanya padat manusia. Ini berimbas juga pada jadwal bermain joki, yang sekarang hanya sebanyak dua kali dalam satu minggu, tepatnya di akhir pekan.
“Ini [tong setan] kalau sampai tahun depan belum bisa balik [ramai], enggak menutup kemungkinan bakal ditutup juga,” kata Roni, dengan nada yang agak berat.
***
Wajah Bondet terlihat masih segar meski dia baru saja merampungkan atraksi malam itu. Selepas mengecek urusan mesin motor, dia berjalan keluar arena, lalu bersandar pada balok kayu tempat joki masuk gelanggang yang tingginya di atas sebahu. Tangannya mengambil bungkus rokok di saku kemeja, dan pelan-pelan dia menghidupkan batang tembakau tersebut. Satu tarikan dan asap seketika mengepul di udara.
Wajahnya memperlihatkan rasa lega sekaligus kegamangan.
“Saya kalau ada pekerjaan lain, kemungkinan akan saya ambil,” katanya. “Karena kalau kondisi [pandemi] gini, semua jadi susah. Sempat kemarin beberapa bulan nggak main. Itu jadi pikiran sekali.”
Wajar bila Bondet merasa demikian. Hari-hari depan di masa pandemi tak ubahnya parade keterasingan dan kebingungan. Semua serba aneh. Tak pasti. Dan tak ada yang bisa menjamin nasib kita akan seperti apa: entah terpapar virus, terjebak di ruang karantina, terpisah dari keluarga, jadi pengangguran, atau mungkin jatuh dalam lubang kemiskinan.
Bagi Bondet dan Peank, rasa takut terhadap hal-hal tersebut mungkin lebih mengerikan ketimbang tersungkur di arena.