Pandemi COVID-19 merupakan momentum untuk mengevaluasi kebijakan jaminan dan perlindungan sosial, terutama yang berkaitan dengan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas.
Guncangan dampak sosial-ekonomi akibat pandemi terhadap kesejahteraan penyandang disabilitas mendorong perlunya revitalisasi peran organisasi penyandang disabilitas (DPO) sebagai jembatan antara kelompok penyandang disabilitas dengan para pembuat kebijakan.
Pada webinar KSIxChange #30 yang diadakan Rabu lalu (02/12), Knowledge Sector Initiative bekerja sama dengan Program PEDULI dan Asumsi membahas peran organisasi penyandang disabilitas dalam pembangunan pascapandemi COVID-19.
Webinar yang ditayangkan langsung di kanal YouTube Asumsi ini mengundang beberapa panelis dari Kementerian PPN/Bappenas dan Bappeda Kota Padang, serta beberapa perwakilan dari organisasi penyandang disabilitas seperti Yayasan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK), Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA).
Ada pula perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Centre for Improving Qualified Activity in Life of People with Disabilities (CIQAL) dan Pusat Rehabilitasi YAKKUM.
Sesi KSIxChange ini dimoderatori oleh Fajri Nursyamsi selaku Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).
Dalam sambutannya, Vivi Yulaswati selaku Staf Ahli Menteri Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian PPN/Bappenas menyatakan bahwa kasus COVID-19 di Indonesia kian memburuk. Tidak hanya mempengaruhi sektor kesehatan, pandemi juga berdampak pada sektor-sektor lainnya, termasuk ekonomi.
Vivi menekankan, “Dari sisi perekonomian, kita lihat dalam kuartal tiga kemarin ternyata Indonesia juga tetap mengalami kontraksi ekonomi.” Perlambatan ekonomi ini menyebabkan peningkatan angka pengangguran sebesar 7,07%. Bagaimana dampaknya terhadap para penyandang disabilitas?
53% penyandang disabilitas di Indonesia yang terdata merupakan pekerja yang tersebar di berbagai sektor. Selama pandemi, ditemukan bahwa mereka mengalami penurunan penghasilan. Pandemi memang meningkatkan kerentanan seluruh orang Indonesia, namun mereka yang menyandang disabilitas rawan semakin dipinggirkan.
Salah satu aspek yang perlu disorot mengenai pemenuhan hak para penyandang disabilitas adalah urusan partisipasi politik. Nuning Suryaningsih sebagai Ketua Yayasan CIQAL mengatakan, “Hak (politik) teman-teman penyandang disabilitas belum terwakilkan secara penuh.” Para penyelenggara pemilu belum mengakomodasi kebutuhan para penyandang disabilitas di tempat-tempat pemungutan suara.
Menurut Nuning, di sinilah peran organisasi penyandang disabilitas (DPO). Penyelenggara pemilu harus berinisiatif melibatkan DPO untuk memetakan kebutuhan para penyandang disabilitas dalam berpartisipasi dalam pemilihan. Dengan begitu, diharapkan kawan-kawan penyandang disabilitas dapat mempunyai hak politik yang sama utuhnya dengan warga negara lainnya.
Tantangan tidak hanya menghinggapi mereka yang menyandang disabilitas fisik. Para penyandang disabilitas mental pun menghadapi beberapa masalah. Desty Endah Nurmalasari, salah seorang penyandang disabilitas mental dampingan Pusat Rehabilitasi YAKKUM mengatakan, “Data jumlah ODDP (orang dengan disabilitas psikososial) belum tersedia dengan cukup baik.” Sulit untuk memberikan bantuan-bantuan dan pendampingan yang tepat guna tanpa dibekali data yang cukup.
Selain itu, para ODPP juga belum mendapatkan kesempatan partisipasi yang setara dengan warga-warga lain. Mereka tidak diberikan kesempatan untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan mereka. Tantangan lain yang mereka hadapi adalah keterbatasan kesempatan kerja. Beberapa ODPP mengaku sulit mendapatkan surat sehat jasmani dan rohani untuk melengkapi syarat melamar pekerjaan.
Idealnya, DPO harusnya bersinergi dengan pemerintah dalam proses perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pemantauan dan evaluasi kebijakan. Hal ini penting dilakukan guna memastikan agar kebijakan yang dibuat selaras dengan aspirasi dan kebutuhan para penyandang disabilitas.
Antoni Tsaputra selaku Ketua Jaringan Peduli Difabel dan Analis Litbang Bappeda Kota Padang menceritakan pembelajaran yang ia dapatkan dari negara bagian New South Wales, Australia, mengenai peran DPO dalam perumusan kebijakan.
Ia menjelaskan, “DPO tidak hanya dituntut peran aktifnya (oleh pemerintah), tapi juga dibukakan pintu yang selebar-lebarnya dan diberikan ruang partisipasi yang penuh dan luas serta sumber daya yang mereka butuhkan.”
Antoni mengatakan bahwa peran advokasi sistemik yang dilakukan DPO di Australia tersebut berkontribusi mendorong terjadinya perubahan positif dalam kebijakan pemerintah yang belum inklusif pada para penyandang disabilitas.
Sayangnya, di Indonesia, hal seperti itu masih jauh dari kenyataan. Maulani A Rotinsulu selaku Ketua HWDI mengeluhkan, “Ada beberapa kebijakan turunan UU di mana saat dirancang, teks dan konteks sudah selaras dan disepakati kedua belah pihak, akan tetapi produk yang muncul berbeda tanpa ada pemberitahuan kepada organisasi penyandang disabilitas.” Padahal pelibatan suatu kelompok dalam penyusunan kebijakan dan penghormatan akan identitas mereka penting untuk membuat kebijakan-kebijakan yang interseksional dan inklusif.
Ada beberapa inisiatif yang sudah dilakukan para penggiat DPO untuk mengatasi masalah tersebut. Abdul Rahman selaku Direktur Eksekutif Yayasan PerDIK menggalang para penyandang disabilitas di Makassar untuk duduk bersama mempelajari APBD.
Dari hasil pembelajaran tersebut, mereka menyusun masukan-masukan perencanaan dengan mempertimbangkan kebutuhan penyandang disabilitas dan juga kapasitas anggaran. Dengan begitu, para penyandang disabilitas juga dapat terlibat dalam perencanaan pembangunan selama 5 tahun ke depan.
Tapi, apakah cukup? Pandemi makin mengganas dan mereka yang menyandang disabilitas makin kesulitan. Fatum Ade selaku Wakil Direktur SAPDA menceritakan riset kecil yang mereka kerjakan di Jogja terkait kondisi penyandang disabilitas dan bagaimana mereka bertahan hidup.
Fatum menjabarkan, “Temuan riset ini memberikan pukulan ke kami bahwa pandemi memporakporandakan apa yang sudah dibangun teman-teman penyandang disabilitas di komunitas”.
Sejak pandemi tiba, banyak di antara para penyandang disabilitas tidak bisa bertahan hidup secara mandiri. Mereka harus dibantu oleh keluarga dan organisasi demi bertahan hidup. Dari riset ini, Fatum juga sudah menyampaikan ke pemerintah soal kasus kekerasan yang terjadi pada penyandang disabilitas saat pandemi.
Dalam penjabarannya, Fatum menyampaikan satu poin penting: tidak ada keterlibatan penyandang disabilitas dalam program-program pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Ia berpendapat, pemerintah lebih mengakomodasi pasar daripada rakyatnya yang menyandang disabilitas.
Pengesahan UU Omnibus baru-baru ini dianggapnya semakin mengikis hak-hak penyandang disabilitas, salah satunya hak atas sarana dan prasarana dalam gedung yang sebetulnya sudah diatur dalam UU no. 28 tahun 2002 pasal 27-31 yang justru malah dihilangkan. Selain itu, banyaknya penghapusan hak-hak pekerja yang diakibatkan oleh UU tersebut juga berpotensi membuat kondisi penyandang disabilitas makin rentan.
Isu disabilitas ada di mana-mana, baik di sektor ekonomi, ketenagakerjaan, lingkungan, bahkan sampai dengan pembangunan infrastruktur. Pelibatan penyandang disabilitas sebagai salah satu kelompok yang rentan dipinggirkan dalam segala isu menjadi sangat penting diprioritaskan dalam penanganan COVID-19. Hal tersebut adalah tantangan buat pemerintah pusat dan daerah untuk mulai melibatkan penyandang disabilitas secara aktif dan bermakna dalam kebijakan dan program-program mereka.
Diskusi interaktif KSIxChange#30 mempertemukan pemangku kebijakan, organisasi penyandang disabilitas dan lembaga penelitian kebijakan dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional 2020 dengan mengusung tema terkait peran organisasi penyandang disabilitas dalam konteks pembangunan pasca COVID-19 di Indonesia.
Saksikan diskusinya di sini.