Foto: Ramadhan Yahya/Asumsi
Esok, 9 Desember 2020, pemilihan kepala daerah berlangsung serentak di hampir seluruh Indonesia. Setiap kandidat telah menyampaikan visi dan misinya kepada para calon pemilih.
Namun, satu hal yang mungkin luput dari perhatian sebagian besar kandidat: isu krisis iklim dan lingkungan, yang berkaitan erat dengan banyak aspek lain, mulai dari pembangunan hingga ketersediaan pangan.
Bagaimana pemilih muda menanggapi masalah ini?
Asumsi mengadakan webinar dengan tiga narasumber; Andhyta F. Utami (Afu), ekonom lingkungan dan inisiator Think Policy Society, Maharddhika (Dhika), peneliti dari Perludem, dan Ahmad Arif (Ai), jurnalis Kompas dan co-founder laporcovid.org, untuk membicarakan bagaimana pemilih muda bisa berkontribusi dalam krisis kebencanaan.
Ketahanan pangan memang kerap disorot oleh para calon kepala daerah, sayangnya, isu tersebut tidak dibicarakan dalam kaitannya dengan masalah iklim dan kebencanaan. Menurut Ai, ini kelemahan yang mesti diatasi.
Afu mengatakan, isu perubahan iklim masih sepi dari kampanye para kandidat karena isu ini sangat kompleks. Hal ini juga terekam dalam catatan CSIS (Center for Strategic and International Studies). Sementara itu, masyarakat lebih tertarik dengan permasalahan yang terkesan lebih praktis.
Menurut Afu, seharusnya para kandidat bisa mengolah permasalahan ini dengan cara bercerita, seperti cerita-cerita apokaliptik yang disukai masyarakat sehingga kesadaran pun bisa tumbuh.
Beberapa daerah di Indonesia memang telah menerapkan peraturan yang berkaitan dengan isu lingkungan. Misalnya, di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, terdapat peraturan mengenai pembukaan lahan dan perluasan kebun sawit.
Contoh lainnya Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, yang bupatinya membuat peraturan untuk kembali ke pangan lokal supaya mengurangi risiko perubahan iklim.
Terobosan-terobosan semacam ini, menurut Ai, membutuhkan pemimpin yang memiliki imajinasi dan kepekaan terhadap lingkungan, bukan sekadar pemimpin yang fokus pada jabatan dan kesempatan untuk berinvestasi.
Krisis lingkungan yang sudah memasuki fase mengkhawatirkan ini sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia, namun secara global. Jika tidak ditangani dengan baik, krisis ini akan berdampak sangat buruk pada ekosistem dalam waktu yang tidak lama lagi.
Negara-negara di seluruh dunia telah membuat kesepakatan untuk berkomitmen dalam menjaga lingkungan, sebab hal ini tidak ada artinya jika tidak dilakukan secara bersamaan di seluruh dunia.
Komitmen Indonesia untuk menjaga lingkungan masih perlu banyak pembenahan. Seperti yang telah disebutkan, beberapa pemimpin daerah memang telah memiliki inisiatif yang baik, tetapi secara keseluruhan tentu saja ini masih sangat kurang jika tidak disusul oleh daerah-daerah lainnya.
Berbicara mengenai keterlibatan anak muda, khususnya dalam menanggapi isu krisis iklim dan kebencanaan ini, Dhika mengatakan bahwa anak muda sering kali dianggap susah berpendapat dan kebingungan dalam mencari kanal untuk berkontribusi.
Nyatanya, anak muda memiliki suara dan telah memperjuangkan suaranya di ruang-ruang non-formal. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya organisasi yang berfokus pada isu lingkungan, melakukan kampanye di media sosial, turun ke jalan, berdiskusi langsung dengan kepala daerah, bahkan beberapa di antaranya bergabung ke ruang-ruang penyusunan kebijakan. Dhika merasa hal ini bukanlah sebuah masalah. Sebaliknya, yang menjadi masalah apakah suara-suara anak muda ini didengar oleh orang-orang di ruang formal.
Bagaimana generasi muda dapat menyiasati perkara ini? Ai menjawab, sering kali anak muda yang digadang-gadang akan membawa perubahan ini tiba-tiba menghilang suaranya ketika masuk ke dalam birokrasi negara.
Menurutnya, kita perlu mulai memahami bahwa kultur di dalam birokrasi bisa jadi sangat menekan dan tidak memungkinkan anak-anak muda untuk melawan, sehingga seiring berjalannya waktu mereka akan kalah dengan habitus yang dominan: korup dan lamban.
Menutup diskusi, ketiga narasumber menekankan kepada generasi muda untuk tetap kritis. Suara anak muda memang didengar, tetapi jangan sampai suara ini hanya didengar ketika dibutuhkan saja, atau lebih buruk lagi, digiring masuk ke dalam pengkubuan yang menghilangkan sikap kritis.