Isu Terkini

Betapa Panjangnya Jalan Pemenuhan Hidup Layak untuk Kelompok Disabilitas

Faisal Irfani — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Ilustrasi: Ibam/Asumsi.co

Suara Triyono terdengar cukup antusias tatkala saya menghubunginya siang kemarin. Saking antusiasnya, dia bahkan tak mengapa untuk menunda agenda yang sedianya mesti dijalani.

“Monggo, mas, mau tanya-tanya soal apa? Silakan,” terangnya ramah, dari sambungan telepon.

Nama Triyono mungkin asing di telinga Anda semua. Namun begitu, kontribusinya dalam menyediakan fasilitas ramah difabel sudah tak perlu diragukan lagi. Dia merupakan pendiri Difabike, layanan transportasi yang khusus dibuat untuk kelompok penyandang disabilitas.

Kisah Difabike dimulai sekitar enam tahun lalu. Triyono merasa sektor transportasi publik tak mengakomodir kebutuhan para difabel. Contoh sederhananya: layanan transportasi tidak dibekali ruang untuk kursi roda.

“Ini berbeda, misalnya, di luar negeri seperti Amerika, Sydney, sampai London. Di London aja semua taksi bisa naikin kursi roda,” terangnya. “Sementara di sini [Indonesia] belum.”

Akhirnya, setelah tekad terkumpul penuh, Triyono memberanikan diri untuk mendirikan usaha yang harapannya mampu menjadi solusi atas kegelisahannya itu. Langkah pertama Triyono adalah mendesain ulang kendaraan yang sesuai kebutuhan. Dia membeli motor dua tak dan di bagian samping body-nya dia pasang properti khusus untuk penumpang—mirip becak.

Proses ini tak mudah. Berkali-kali Triyono harus bongkar pasang motor dan desain. Dia menginginkan alat transportasi bikinannya tak sekadar berfungsi optimal, melainkan juga punya nilai estetika yang bernas. Dengan kata lain, mengutip pernyataannya, “Enggak norak.”

Sembari jalan menyempurnakan alat transportasinya, Triyono juga mulai merekrut pekerja dari kelompok difabel ringan. Dengan ini, Triyono berharap bisa membuka lapangan pekerjaan baru untuk mereka, yang seringkali terpinggirkan oleh kesempatan.

Total waktu yang dibutuhkan Triyono kurang lebih sekitar delapan bulan. Cukup lama, memang. Akan tetapi, Triyono mengaku tak mempersoalkannya.

“Dengan delapan bulan trial and error ini saya jadi bisa melihat secara jelas apa saja kekurangannya dan bagaimana saya dan tim yang ada memperbaiki kekurangan itu,” paparnya.

Setelah semua dirasa cukup memadai, akhir 2015, Difabike diluncurkan di Yogyakarta. Animo masyarakat, menurut keterangan Triyono, cukuplah tinggi. Situasi tersebut membuat Triyono makin termotivasi. Langkah ekspansi pun lekas diambil: tak sekadar Yogyakarta, Difabike hadir pula di Cilacap, Sidoarjo, dan—yang terbaru—Samarinda. Di empat daerah ini, keseluruhan konsumen Difabike menyentuh lebih dari 1.000 orang.

Keinginan untuk sampai di kota-kota besar seperti Jakarta bukannya tak terlintas di kepala Triyono. Dia mengungkapkan bahwa upaya merintis bisnis di sana sudah mulai diambil. Namun, Triyono tak ingin tergesa-gesa. “Fokus yang ada dulu sekarang,” demikian ucapnya.

Mengelola bisnis layanan transportasi sudah pasti butuh modal yang tak sedikit. Lima tahun berjalan, selain mengandalkan uang dari dompet sendiri, Triyono aktif pula menjaring peluang tambahan modal melalui program CSR perusahaan hingga berpartisipasi dalam lomba-lomba.

Bagaimana dengan injeksi dana dari perusahaan lain? Triyono mengaku tak ingin menjajaki pintu tersebut, kendati peluang memperoleh pendanaan yang lebih besar—ketimbang sumber dana selama ini—sangat terbuka.

“Karena dari awal tujuannya [pendirian Difabike] memang bukan bisnis murni,” tegasnya. “Kami lebih ke arah sosial yang mengutamakan solusi, khususnya bagi teman-teman kelompok disabilitas.”

Pijakan kokoh yang telah dibangun Difabike sempat tergoncang ketika pandemi COVID-19 melanda Indonesia sejak Maret silam—hingga entah kapan. Triyono bercerita bahwa pandemi membikin kegiatannya terhenti selama empat bulan sebab pemberlakuan PSBB, yang ditujukan guna memutus mata rantai penyebaran virus.

“Kena [dampak] sekali selama empat bulan pandemi,” keluhnya. Beruntung, Difabike punya lini bisnis lain seperti jasa kargo dan pindah kos yang menurutnya cukup membantu agar asap dapur tetap mengepul. “Yang penting bertahan dulu, mas,” imbuhnya.

Sulitnya Hidup Kelompok Disabilitas Semasa Pandemi

Nasib serupa tak sekadar dialami Triyono dan tim Difabike. Riset serta dokumentasi yang disusun Kota Kita, LSM yang fokus pada isu inklusivitas perkotaan, turut mengungkap tabir tak jauh berbeda. Temuan mereka, di Banjarmasin dan Solo, menyebut bahwa kelompok disabilitas mengalami kesulitan hidup selama masa pandemi.

“Di Banjarmasin, misalnya, ada disabilitas netra yang jadi tukang pijat terpaksa berkurang pendapatannya karena tidak bisa bekerja sebab physical distancing,” jelas Nina Asterina, Knowledge Management Officer Kota Kita, kepada Asumsi.

Nina menambahkan dampak pandemi tak sekadar berimbas pada penyandang disabilitas yang bekerja. Mereka yang masih sekolah hingga lansia turut pula merasakannya.

“Kelompok disabilitas itu cakupannya ada di semua umur. Di pandemi ini, mereka yang masih sekolah juga terdampak. Contohnya begini, mahasiswa atau murid yang tuli kesulitan mengakses pelajaran daring karena koneksi internet yang lambat. Atau tidak semua instansi pendidikan menyediakan translator bahasa isyarat dan memaksa mereka yang punya keterbatasan harus membaca terjemahan mesin YouTube yang kadang juga bikin susah karena nggak akurat,” terang Nina.

Temuan Kota Kita kiranya sejalan dengan hasil survey lainnya. Data dari Jaringan Organisasi Penyandang Respons COVID-19, ambil contoh, mencatat sekitar 80,9 persen responden—dari total 1.683 difabel—mengalami dampak negatif. Survey dilakukan dalam rentang waktu 10 sampai 24 April 2020 di 216 kabupaten dan kota di 32 provinsi di Indonesia.

Sebanyak 86 persen responden yang bekerja di sektor informal mengalami pengurangan pendapatan mencapai 50 sampai 80 persen selama pandemi. Kemudian partisipasi penyandang disabilitas pada program ketenagakerjaan padat karya hanya mencapai 1,95 persen.

Masalah yang muncul selama masa pandemi kurang lebih seperti menegaskan bahwa posisi kelompok dengan disabilitas memang tak pernah ideal, terlebih jika kita bicara dalam konteks Indonesia.

Jauh sebelum pandemi merusak banyak rencana dan hidup banyak orang, kelompok difabel di Indonesia seringkali berada di posisi terpinggirkan. Bentuknya macam-macam: dari tak dapat akses pendidikan secara layak hingga pemenuhan fasilitas publik yang tidak sesuai dengan kebutuhan.

Nina menjelaskan bahwa setidaknya ada dua penyebab besar mengapa posisi kelompok difabel sampai sekarang tak pernah ideal. Pertama, kelompok difabel jarang dilibatkan dalam pembicaraan ihwal perencanaan tata kota. Jika diajak, itu pun hanya sekadar formalitas. Kedua, implementasi dari Undang-Undang Penyandang Disabilitas masih serampangan.

“Beberapa kota inisiatif untuk memenuhi hak kelompok difabel sudah baik. Tapi, sayangnya, sebatas visualisasi aja,” katanya. “Ini yang jadi tantangan dalam mewujudkan kota inklusif. Karena, pada dasarnya, inklusif itu tidak hanya terkait infrastruktur, tapi juga bagaimana membuat nyaman bagi kelompok disabilitas. Prinsipnya, kalau untuk disabilitas nyaman, maka nyaman juga buat semuanya.”

Bagi Vanesha Tio Manuturi, Communication & Advocay Manager Kota Kita, yang penting dilakukan adalah meningkatkan kolaborasi dengan berbagai pihak, terutama pemerintah. Kebijakan yang ramah terhadap kelompok disabilitas akan terasa transformatif bila pemerintah menjadi pihak terdepan yang aktif menerapkannya.

“Kuncinya adalah kerja sama antara apa yang dilakukan di akar rumput dengan pemangku kebijakan,” jelasnya.

Apabila kerja sama sudah mulai terjalin dengan baik, maka, menurut Triyono, yang dilakukan berikutnya ialah menjaga konsistensi dan kejelasan program yang akan dikerjakan. Jangan sampai, Triyono mengingatkan, terlalu banyak program namun contingency plan tak tersedia.

“Jangan sampai program yang ada itu cuma workshop, seminar, dan pelatihan terus. Fase setelah itu juga penting dipikirkan,” tegasnya. “Pemberdayaan kelompok disabilitas itu krusial.”

Dan hari ini, tepat pada peringatan Hari Disabilitas Internasional, kita diingatkan betapa jalan ke sana masihlah panjang—dan berliku.

Share: Betapa Panjangnya Jalan Pemenuhan Hidup Layak untuk Kelompok Disabilitas