Isu Terkini

Bencana Bisa Terjadi di Akhir Masa Jabatan Donald Trump

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Donald Trump kalah dan harus mengakui keunggulan lawannya Joe Biden dalam kontestasi Pilpres AS 2020. Trump sendiri masih menyisakan kurang dari tiga bulan jabatannya sebagai orang nomor satu di Negeri Abang Sam. Berbagai analisis menyebut Trump berpotensi melanjutkan berbagai kebijakan buruk di sisa masa baktinya itu.

Pasangan dari Partai Demokrat, Joe Biden dan Kamala Harris, dapat dipastikan memenangkan Pilpres AS 2020. Berdasarkan data perolehan suara elektoral yang ditampilkan The Associated Press, Joe Biden-Kamala Harris memimpin dengan perolehan 290 suara elektoral, sementara Donald Trump-Mike Pence jauh tertinggal dengan 214 suara elektoral.

Untuk menjadi pemenang dalam Pilpres AS 2020, pasangan calon harus meraup sedikitnya 270 suara elektoral. Sejauh ini, masih ada tiga negara bagian yang belum merampungkan penghitungan suara yakni Carolina Utara, Georgia, dan Alaska.

Berdasarkan laman resmi Pemerintah AS, dalam periode empat tahunan, presiden dan wapres terpilih AS akan dilantik pada 20 Januari 2021, atau 21 Januari jika tanggal 20 bertepatan dengan hari Minggu. Pelantikan akan berlangsung di Gedung Capitol, Washington DC.

Trump sendiri menolak mengakui kekalahannya dan mengingatkan bahwa kemenangan Biden hanyalah hasil proyeksi media massa, dan belum ada pengumuman resmi dari negara. Trump berkali-kali menyatakan bakal mengambil langkah hukum terkait hasil pilpres kali ini. Selain juga berpeluang melanjutkan berbagai kebijakan buruknya yang memicu kekacauan di AS.

Sisa Masa Jabatan

Salah satu persoalan gawat yang diputuskan Trump adalah AS yang secara resmi keluar dari Perjanjian Paris pada Rabu (4/11/20) lalu, sesuai janji lama Trump di tengah ketidakpastian hasil pilpres.

Langkah itu bisa saja berubah mengingat pilpres justru menunjukkan bahwa Biden tampil sebagai pemenang berdasarkan perolehan suara elektoral. Seperti yang diwartakan Reuters, Rabu (4/11), Biden sendiri telah berjanji untuk bergabung dalam kesepakatan tersebut jika terpilih sebagai presiden yang baru.

Bencana lain yang nyata dan masih dihadapi masyarakat seantero AS saat ini adalah pandemi COVID-19. Trump dianggap gagal menangani virus SARS-CoV-2, sehingga membuat AS memiliki jumlah kasus positif dan angka kematian tertinggi di seluruh dunia.

Kekacauan ini belum lagi selesai, ketika Trump berseteru dengan Dr. Anthony Fauci, ahli penyakit menular kenamaan di AS dan berpeluang mendepaknya. Cara Trump menepikan peran direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases itu pun cukup mengerikan.

Pemerintah melarang Fauci berbicara tentang COVID-19 tanpa persetujuan langsung dari Trump. Bahkan, pernyataan Fauci tentang virus tersebut bertentangan dengan pernyataan Trump. Sebagai contoh, Trump sempat berkelakar bahwa AS bakal segera bikin vaksin yang serupa vaksin flu “dalam waktu dekat”.

Sementara itu, Fauci menyatakan bahwa vaksin virus Corona baru mungkin diramu dalam waktu satu sampai satu setengah tahun ke depan. Trump, yang merupakan sosok keras kepala, tentu saja tak senang dengan pernyataan Fauci.

Sekadar informasi, Fauci merupakan salah satu ahli penyakit menular yang paling dihormati di dunia. Ia memimpin lembaga negara yang berwenang menangani penyakit menular sejak 1984. Fauci juga dipandang sebagai salah satu dokter yang paling berjasa menangani epidemi AIDS, Ebola, dan Zika di berbagai belahan dunia. Secara keilmuan, bagi orang ini, persetujuan Trump berbobot sama dengan pendapat seekor kuda yang nyasar ke rumah sakit.

Trump Kalah di Pilpres, Ada Potensi Muncul Kerusuhan Sipil?

Jadi, kurang dari tiga bulan tersisa atau sekitar 11 minggu dari sekarang akan menjadi hari-hari yang cukup panjang bagi publik AS. Pada rentang sisa masa jabatannya itulah Trump akan menuntaskan tugas-tugas kenegaraannya sebagai orang nomor satu di AS dan berpotensi membuat malapetaka lain.

“Jika Trump kehilangan kekuasaan, dia akan menghabiskan 90 hari terakhirnya menghancurkan Amerika Serikat seperti anak yang jahat dengan palu godam di toko Cina,” kata Malcolm Nance, seorang analis intelijen veteran dan penulis politik, dalam pernyataannya sebelum hasil pilpres keluar, dikutip dari The Guardian, Senin (9/11).

“Kita cenderung melihat amukan politik terbesar dalam sejarah. Dia (Trump) mungkin memutuskan ingin keluar dengan keras, dia mungkin memutuskan tidak akan menerima hasil pemilihan. Siapa yang tahu apa yang akan dilakukan oleh seorang otokrat terpojok?”

Ketakutan Nance didasarkan pada catatan masa lalu Trump, seperti gagal mengambil langkah apa pun untuk menekan penyebaran COVID-19. “Dia akan memaafkan dirinya sendiri. Sama sekali tidak ada pertanyaan tentang itu. Dia berharap Mahkamah Agung melindunginya. Dia selalu memperbaiki banyak hal dalam hidupnya, dan dia sekarang percaya bahwa dia memiliki sistem peradilan Amerika.”

Para analis percaya bahwa Trump yang kalah akan kurang termotivasi oleh politik, tapi akan lebih fokus pada dirinya sendiri. Misalnya pemerintahan Trump di sisa masa jabatannya, akan lebih mengurangi regulasi lingkungan dan industri. Sorotan utama Nance adalah kemungkinan terjadinya kerusuhan sipil dari para pendukung Trump termasuk milisi bersenjata, supremasi kulit putih, dan aktivis lainnya yang termakan oleh berbagai pernyataan provokatif Trump.

“Semua konvoi 100 truk ini mungkin mulai berbaris seperti mereka pergi ke Mosul,” kata Nance. “Ini seperti pemberontakan. Kami akan mencari tahu… apakah mereka bangkit secara massal dan mengatakan kami tidak menerima ini, Donald Trump adalah orang kami, dan mereka mulai berpawai dan mengambil alih dewan pemilihan.”

Rekan Trump yang dipermalukan yang telah melanggar hukum juga bisa menjadi penerima manfaat dari perbuatan baik presiden yang akan keluar, di antaranya mantan ketua kampanyenya Paul Manafort, mantan penasihat keamanan nasional Michael Flynn, dan Steve Bannon, arsitek kemenangan Trump tahun 2016 yang saat ini menghadapi tuduhan penipuan.

Akan ada pengawasan baru pada urusan keuangan Trump sendiri. Kantor jaksa wilayah Manhattan telah menyelidiki Trump dan kerajaan bisnisnya atas kemungkinan penipuan bank dan asuransi kriminal, tetapi belum bisa mengambil tindakan sama sekali saat dia masih menjabat.

Trump akan segera kehilangan perlindungan Bill Barr, jaksa agung yang dituduh para kritikus bertindak seperti pengacara pribadi presiden. Itu berarti Trump memiliki peluang yang lebih pendek untuk bersiap menghadapi konsekuensi hukum apa pun yang mungkin menunggu.

Sementara itu, Garry Kasparov, mantan juara catur dunia dan ketua Yayasan Hak Asasi Manusia, dalam sebuah opini untuk CNN, juga sepakat dengan Nance. Menurutnya, Trump kemungkinan akan menghabiskan bulan-bulan terakhirnya dengan kesibukan mengurus urusannya sendiri.

“Trump juga bakal mencoba mendiskreditkan lawannya dan sistem itu sendiri,” kata Garry. “Orang Amerika yang ingin melihat supremasi hukum dipulihkan dan diperkuat harus siap untuk memperjuangkannya, di pengadilan dan di jalanan jika perlu, dengan damai tetapi terus menerus, karena ada sedikit keraguan bahwa Trump dan para pendukungnya tidak akan pergi dengan diam-diam.”

Namun, tidak semua ahli percaya bahwa kepresidenan Trump akan benar-benar tidak stabil. “Apa yang akan menghentikannya adalah ketakutan akan penjara,” kata Stuart Stevens, seorang konsultan veteran dari kubu Republik.

“Mengapa kepala kantor pos AS mundur?” Stevens bertanya tentang Louis DeJoy (kepala kantor pos AS), donor dari Partai Republik yang dipercaya banyak orang, sengaja dipasang dalam upaya untuk melumpuhkan pemungutan suara. “Dia tidak mau masuk penjara. Dia bersedia melakukan banyak hal untuk Trump, tetapi dia tidak ingin masuk penjara. Ketakutan itulah yang akan menghentikan Trump.”

Pada akhirnya, para pengamat menilai Trump akan menghabiskan hari-hari terakhirnya di Gedung Putih dengan mencoba untuk tidak terlihat seperti pecundang. “Saya memiliki banyak pengalaman dengan otokrat, lalim dan penguasa dunia ketiga, jadi saya harus melihat bagaimana orang-orang ini berperilaku,” kata Nance.

“Ada perubahan dalam cara para otokrat dan otokrat yang menginginkan orang seperti Donald Trump mengakhiri karier mereka. Di masa lalu, jika Anda tidak dibunuh oleh musuh politik Anda, Anda mengambil satu miliar dolar, pergi ke French Riviera, dan menghilang. Mereka baru saja turun dari panggung.”

“Sekarang mereka tidak mau lagi melakukan itu. Mereka ingin memiliki semua uang mereka dan tetap berkuasa, dan membelanjakan uangnya. Siapa yang tahu dengan Donald Trump?”

Share: Bencana Bisa Terjadi di Akhir Masa Jabatan Donald Trump